Share

Bertahan atau Memisahkan? 2

Pradnya bicara menggebu-gebu. Air matanya nyaris jatuh saat mengatakan semua hal itu. Baik, dia dan Danish memang tidak dekat untuk mengaku sebagai sahabat. Tapi Danish adalah keluarga barunya, saudara laki-lakinya, dan Anya sayang padanya. Di keluarga mereka—Ranajaya, pantang sekali ada yang terluka meski hanya seujung kuku saja. Apalagi ini, bocor di kepala. Danish sudah gila kalau masih menganggap ini semua tidak apa-apa.

“Gimana keadaan Sayna?” Dya buka suara.

Suasana yang cerah dan menyenangkan tadi sudah tidak ada sejak Anya melampiaskan kekesalannya. Anya memang begitu, dia ekspresif, tapi gadis itu baik, dia hanya khawatir pada Danish.

“Iya, Nish. Sayna ada yang luka juga?” Hamam menimpalinya.

“Ini nggak kayak yang kalian pikir. Gue sama Sayna memang berantem tapi bukan yang pukul-pukulan atau gimana, ini kecelakaan.”

“Iya.” Dya mengangguk, berusaha mengerti ucapan Danish, tidak melihat sesuatu dari satu sudut pandang saja. “Jadi Sayna nggak apa-apa?”

Danish menggeleng. Secara fisik Sayna baik-baik saja meski mungkin dia juga merasa nyeri karena Danish memaksa gadis itu memberikan ponselnya. Tapi secara mental, Danish tidak tahu. Sayna pasti masih terguncang.

“Dia nggak akan kenapa-kenapa, tahu kan siapa antagonisnya?”

“Anya, please...” Pramudya menenangkan saudarinya.

Anya tidak pernah bisa lupa, setahun yang lalu saat mereka punya niat baik merayakan ulang tahun Danish bersama disalahartikan oleh Sayna. Gadis culas itu melotot marah ketika Anya memberikan bingkisan untuk Danish sebagai hadiah, dan akhirnya terjadilah insiden kopi tumpah. Kopi panas, bukan es kopi kekinian. Sayna jelas ingin mengarahkannya pada Anya andai tidak ada Dya yang menghalau kekacauan di sana.

Kalau kena, perut Anya adalah sasaran utama, tapi berhubung meleset, tangan Pramudya terkena imbasnya. Sampai detik ini Pradnya tidak pernah lupa, bagaimana ekspresi Sayna saat mengatakan maaf tanpa rasa bersalah di wajahnya. Dia selalu ingin menangis kalau ingat wajah Pramudya yang meringis menahan panas.

“Jahat,” desisnya pelan. “Dia nggak pantes dapat orang kayak lo, Nish.”

“Anya, udah.”

Mereka berdua benar-benar kembar yang berbeda. Yang sama hanyalah, keduanya menyukai Danish, sayang padanya, sebagai saudara. Meski Sayna pernah berbuat begitu, Anya dan Dya tidak pernah mengasingkan gadis itu, mereka ikut berjuang membuat Sayna senang agar Danish juga tenang, agar dia bahagia.

“Setiap orang, baik untuk sebagian lain tapi jahat untuk yang lainnya.” Hamam buka suara. “Kita semua begitu, tergantung dengan siapa kita ketemu, dan sudut pandang siapa yang diutamakan. Maafin Sayna ya, Anya?”

“Kenapa deh malah Mas Hamam yang minta maafnya?” Pradnya sudah berkaca-kaca, gadis itu mengucek mata yang mulai memerah dan mengipasi wajah. “Dia aja nggak pernah ngerasa bersalah ke aku sama Dya.”

Danish tidak pernah tahu dia disayangi sebanyak itu hingga hari ini melihat air mata di wajah Pradnya. Dua orang baru yang masuk ke hidupnya berkat pernikahan Dinara dan Arya. Anak kembar yang sebenarnya menyenangkan dijadikan teman, tapi sering Danish abaikan. Dia tidak mau Sayna marah, hubungan mereka perlu dijaga, jadi Danish mengesampingkan hal-hal tidak penting.

Padahal mungkin, bagi keluarganya Pradnya dan Pramudya adalah harta yang berharga, sementara Danish sering menyepelekan mereka berdua. Demi menjaga perasaan Sayna-nya.

“Sini...” Danish meraih kepala Anya dan menariknya ke bahu, memberi sandaran pada gadis itu. Sementara sebelah tangan Pramudya mengusap rambut saudarinya, padahal kepala Anya baik-baik saja, kepala Danish yang luka. Momen ini membuat mereka terkenang masa lalu, saat Anya putus cinta dan menangis di pundaknya seperti itu.

Dia seperti adik perempuan yang tidak pernah Danish miliki.

“Ghue cuma sakit lihat lo sakit, Nish...” Anya si melankolis itu sudah menangis. “Sumpah ghue kira lo jatuh kenapa, pas outbond atau panjat tebing, bukan gara-gara Sayna. Ghue nggak ikhlas lo disakitin sama dia.”

Sial, kenapa suasananya jadi aneh begini? Danish juga ingin menangis, dia dikhawatirkan hanya karena luka kecil di kepala. Bagaimana jika Anya tahu kalau Sayna juga berbuat curang di belakangnya?

Sayna dengan Gio...

Entahlah. Danish bahkan tidak sanggup meski hanya membahas itu dalam kepala.

Keterlaluan sekali. Yang diperbuat Sayna padanya benar-benar keji. Secara hati, mungkin memang Danish tidak diselingkuhi, tapi Sayna, tubuhnya, kehormatannya... telah berkhianat begitu hebat. Danish tidak kuat, kepalanya terasa berat.

“Gue sama Sayna break dulu.”

“Putus?” Pramudya menyahut buru-buru.

“Bukan, cuma ambil jeda sebentar. Kita butuh waktu.”

Dya mengerjap pelan, ada banyak sekali luka yang Danish sembunyikan. Andai mereka cukup dekat, Dya bersedia memberinya pelukan, tapi Danish mana sudi, pemuda itu anti sekali padanya. Dia lebih suka pada Anya.

“Lo nggak usah balikan lagi sama Sayna.”

Anya pasti tidak tahu, justru itu yang sedang diusahakan olehnya. Apa pun yang terjadi, Danish harus kembali, dia sudah berjanji.

“Jangan lama-lama.” Dya memperingatkannya. “Jangan bikin Sayna nunggu lama.”

“Iya.”

Itu kenapa Danish lebih senang mengeluarkan unek-uneknya pada Dya, gadis itu jauh lebih mengerti, dia tidak seperti Anya. Dya tahu lebih banyak, Dya tidak banyak bertanya, dia mengerti Danish dan Sayna begitu saja.

“Sekarang, ayo kita pesta!”

“Hah?” Hamam terperangah.

Siapa yang barusan mengajak pesta setelah sebelumnya ber-mellow-ria ala sinetron Indonesia? Danish enak sekali dipepet oleh dua wanita muda, belum lagi Sayna. Hamam sempat terhanyut dalam drama keluarga di hadapannya sampai tidak mengeluarkan suara apa-apa.

“Lo sama Sayna kan break, itu perlu kita rayakan.”

“Iya, Nish, lo lajang sekarang!”

Kadang Danish lupa satu hal, bahwa dua gadis dengan nama belakang Ranajaya ini agak-agak gila. Mereka pasti tidak waras karena mengajak bujangan patah hati berpesta pora.

****

Sayna terengah-engah ketika tuntas mendapatkan apa yang ingin dicapainya dalam kegiatan itu. Dia lupa kapan terakhir kali merasa sehebat ini, sepuas ini, dan segila ini. Sayna merasakan kepuasan yang tidak bisa dia gambarkan, hal-hal yang biasanya hanya bisa dia imajinasikan seolah nyawanya tercabut langsung dari ubun-ubun.

Ini berbeda, sensasi panas, gatal dan membara dari ujung terluar tubuhnya mendamba pada seseorang. Dia merasa berkuasa. Melihat wajah itu dan mendengar napasnya yang terengah, Sayna merasa gagah.

Dia suka ide ini, karena biasanya dia yang selalu dimanjakan. Kali ini dia bekerja keras lebih dari biasanya. Berlagak seperti pelacur, pemuas nafsu. Sayna sendiri kaget karena ternyata dia punya sisi liar seperti itu, beda jika dia sedang melakukan persetubuhan dengan... kekasihnya.

“Sayna, ayo masuk. Kakak udah nggak sabar ada di dalam kamu.”

Gadis itu tersentak, keringatnya berserak, napasnya tersengal-sengal. Mimpi sialan.

Mimpi yang berulang kali datang mengusiknya dengan penggambaran berbeda. Tapi di sana, bukan Danish... tidak ada Danish yang mencumbui Sayna. Dia justru berkali-kali mimpi dijamah orang lain, dan Sayna melepas pakaiannya suka rela, menjajakan dirinya cuma-cuma, hanya demi menuntaskan imajinasi kotor dalam kepala.

Dalam mimpinya sendiri pun, Sayna begitu hina.

Dia tidak sedih saat Danish pergi, Sayna lega, dia pantas mendapatkannya. Sayna tidak kecewa Danish menjauh, dia tahu itu akan terjadi cepat atau lambat. Danish meminta Sayna untuk menunggu, jadi dia akan melakukan itu.

Namun, bagaimana jika Sayna rindu? Bolehkah dia menanyakan kabar lebih dulu?

Sudah satu minggu...

“Sayna, kadang-kadang kita butuh waktu, mau dipisahkan seperti apa pun kalau memang jodoh, pasti datang ketemu. Meski Danish butuh jeda lebih lama, kalau memang harus jadi, ya jadi. Kamu sabar dulu.”

Rafika bilang padanya waktu itu, sebuah penghiburan yang meyakinkan.

Baik, Sayna akan menunggu, dia siap dan pasrah menanti hari itu. Danish akan datang lagi, meski dia tidak bilang kapan, di mana, dan sampai kapan. Apakah Sayna akan menunggu dalam ketidakpastian?

Namun melihat apa yang sudah dia lakukan, mungkin ini memang pantas dia dapatkan.

Sayna sudah meminta maaf pada Giovanni secara terbuka di depan himpunan mahasiswa. Dia menjelaskan kesalahpahaman di antara mereka, Gio tidak hadir di sana, dan meski begitu, Sayna lega karena Gio tidak membeberkan apa-apa.

Kehidupannya di kampus sedikit lebih baik. Tidak ada lagi tekanan dan teror yang datang. Kadang, Sayna sudah bisa ikut tertawa dengan teman-teman meski dia tetap merasa kosong dan tersingkir begitu saja.

Kadang, saat sedang menulis laporan, ada sesak di dada yang tidak tertahankan, dia tidak tahu dirinya kenapa. Sayna hilang arah, meski tahu saat ini sudah tidak ada yang salah. Dia sudah mengatasinya. Semua sudah baik-baik saja.

Namun rasanya tetap aneh. Rasa sedihnya akhir-akhir ini tercipta tanpa air mata, tanpa kecewa, sedih tanpa nama yang datang tiba-tiba, tanpa aba-aba, melumpuhkan jiwanya.

Sayna kenapa?

“Ayah... Ibu... maaf...”

Mungkin karena terlalu banyak menumpuk dosa dan kesalahan pada orangtua. Terlalu banyak kebohongan yang Sayna hadiahkan untuk mereka.

Atau mungkin hanya karena sesederhana benda pipih di atas tempat tidurnya.

Sayna tidak tahu itu nyata atau khayalannya saja. Akhir-akhir ini dia sulit membedakan mimpi dengan kehidupan yang benar-benar terjadi. Semuanya saru dan membingungkan.

Kalau itu nyata, bukankah Sayna bisa memakainya sebagai alasan agar Danish cepat datang? Kembali ke pangkuan?

Lalu setelah itu apa?

Apa yang dilakukannya jika Danish datang dan Sayna menunjukkan kebenaran?

Benda itu, menandakan sebuah kehidupan baru, di tubuhnya.

Alat tes kehamilan bergaris dua.

To be continued.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status