Share

Bertahan atau Memisahkan?

Danish pasti sudah gila. Dia baru saja mengambil keputusan cepat tanpa memikirkan apa konsekuensinya. Mengambil jeda dengan Sayna? Memangnya bisa? Berapa lama? Berapa waktu yang dibutuhkannya? Dia sendiri tidak tahu. Pasti karena luka di kepala, Danish jadi mengambil keputusan gila, seenaknya.

Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana keadaan Sayna, seperti apa perasaannya. Danish pergi setelah mengatakan hal yang ingin dia lakukan. Apakah itu benar? Dia juga tidak tahu. Yang jelas tadi itu, Danish butuh waktu, dia harus tenang. Danish butuh ruang, dia hanya memikirkan diri dan perasaannya, lupa pada Sayna.

“Duh, Dek... bikin panik aja.”

Melia tampak panik sejak Danish pertama datang. Dia tidak sanggup menyetir sendiri dan menghubungi kakak iparnya untuk minta jemputan. Kemudian Arya Ranajaya dengan banyak sekali kekayaan mengirimkan sebuah helikopter untuk menjemput Danish di Hotel Singosari Bandung, dia menunggu di sana. Mobilnya diantar oleh salah satu pegawai kepercayaan Ranajaya, mungkin baru tiba nanti malam.

“Kamu kok bisa kecelakaan? Gimana ceritanya?”

Bukan luka yang besar memang, hanya robekan di bagian belakang kepala, tapi cukup membuat Danish pusing, ditambah masalah yang terjadi antara dirinya dan Sayna, dia tidak bisa menyetir sendiri untuk pulang.

“Tapi kok kecelakaan lukanya di belakang? Kamu gimana nyetirnya, Nish? Ngejengkang?”

Danish berdecak kecil, biasanya Melia tidak pernah banyak bertanya. “Aku nggak bilang habis kecelakaan mobil, kan?”

“Terus?”

“Ini jatuh.”

“Jatuh di mana?”

Dia tidak mungkin bilang kalau kejadiannya di kamar Sayna, karena pasti akan menimbulkan banyak spekulasi. Melia bisa saja menduga-duga, itu tidak boleh terjadi.

“Lagi main, Ma. Terus aku kepeleset, di belakang ada meja, kepalaku kepentok sama ujungnya.”

Melia meringis, membayangkan kepala anak kesayangannya terbentur lalu berdarah hingga harus menerima beberapa jahitan. Tapi cukup aneh karena tidak tahu seberapa keras Danish terjatuh hingga benturannya berakibat sefatal itu. Bukan rahasia lagi jika putra bungsu Melia adalah seorang pelatih taekwondo, apakah refleks mempertahankan dirinya sudah tidak berfungsi lagi?

“Bener udah nggak apa-apa?”

“Danish! Oalah, Nish...”

“Nish, kamu nggak apa-apa?”

“Irya bawa ke sana, bawa ke luar aja, jangan gangguin Om Danish, masih sakit ini.”

Sepertinya minta bantuan pada Arya untuk melakukan penjemputan bukan ide bagus. Danish baru tiba satu jam yang lalu, dan lihat sekarang, bukan hanya Dinara—kakak kandungnya, bahkan Ayudia Ranajaya pun hadir, datang menjenguk, wajahnya tampak panik. Ah, tidak. Semua orang panik.

“Kok nggak di rumah sakit? Sek, kita minta Sriwijaya kosongin lantai buat tempat Ninish dirawat, ya. Ibuk telepon sebentar.”

“Bu, nggak perlu.”

“Itu kepalanya, Bu Mel. Ada perban putih-putih ngeri, kasihan.”

“Nggak apa-apa, Bu. Itu buat menutup luka jahitan, dibiarkan terbuka lebih ngeri lagi.”

“Aduh, gimana ini? Sebentar ya tak suruh Mas Harjo beli kasur yang bisa dipakai tidur telungkup itu, sakit toh Nish kalau tidurnya terlentang nanti? Lukanya kehimpit gitu.”

Heboh sekali, Ayudia Ranajaya dan sifat berlebihannya tidak berubah sama sekali. Danish bisa membayangkan bagaimana kehebohan di Surabaya sana saat Pramudya dibopong turun dari pesawat karena pingsan selama perjalanan. Ayudia pasti melakukan penyambutan yang histeris ala serah terima jenazah.

Untung saja, ada Melia yang bisa mengimbanginya, jadi pawangnya.

“Kenapa, Dek?” tanya Dinara lembut. Tangan dan jari wanita itu bergerak mengelus rambut, memeriksa perban di kepalanya. “Kecelakaan di mana? Sayna mana?”

Hanya Dinara yang ingat kalau Danish ke Bandung untuk bertemu Sayna. “Dia nggak bisa ikut, besok harus ujian di kampusnya. Tapi tadi aku ke rumah sakit sama Sayna kok, Mbak.”

Dinara mengangguk. “Mas Arya ke sini sebentar lagi. Semua orang panik, Nish. Takut kamu kenapa-napa. Masih sakit kepalanya?”

“Udah enggak.” Danish menggeleng. “Aku sebenarnya nggak apa-apa, cuma nggak bisa nyetir mobil aja buat pulang.”

Tentu saja, Jakarta Bandung sama sekali tidak dekat.

Setelahnya hanya pertanyaan dan obrolan serta keributan yang berasal dari tiga ibu-ibu berisik itu bersahutan. Sementara dua gadis lajang—kembar—di sana, memilih diam saja, tidak buka suara atau mendekat ke tempat Danish berbaring, mereka berdua duduk di sofa, tidak terlihat khawatir atau apa. Hanya menjenguk sebagai basa-basi belaka.

“Nduk... Anya, Dya, mbok ya ini Danish disapa dulu, toh? Saudaranya sakit lho, lihat itu kepalanya bocor, duh... kasihan kamu, Le. Cepet sembuh, ya? Nanti ibu’e belikan mobil baru.”

Danish hampir tersedak, sedangkan Dinara terbahak-bahak, dan Melia buru-buru menolak halus tawaran menggiurkan itu dengan berbagai alasan.

“Kami turun dulu ke bawah, ada Om Tio mau jenguk. Boleh nanti Om Tio naik ke sini?” tanya Melia hati-hati. Tahu betul putranya belum bisa menerima kehadiran pria itu.

“Aku mau istirahat dulu,” tolak Danish. Dia membuang pandang, tidak menatap ibu atau pun kakaknya. Dinara mungkin sudah lupa kejadian masa lalu mereka dengan seorang ayah tiri yang menyebabkan trauma, tapi Danish tidak.

“Nggak papa, Ma. Mereka butuh waktu.” Suara Dinara menyahut, lalu para ibu itu pergi tanpa menutup pintu kamarnya, sebab masih ada Dya dan Anya bersama Danish di sana.

“Gue sampai bosen lihat kalian,” gerutu Danish sebagai sapaan. “Padahal Surabaya sama Jakarta jauhan, tapi kita sering banget ketemu.”

“Dya yang sering, ghue kan enggak.” Anya mengelak.

“Ya, lo berdua kan kembar, mirip, rasanya kayak ketemu kalian berdua meski cuma satu yang datang ke sini.”

Pramudya meringis, niat baiknya tadi langsung pupus begitu mendengar ocehan Danish. “Lo kayaknya udah sembuh, udah bisa ngomong seenaknya lagi. Gue pergi.” Gadis itu berdiri dan meninggalkan saudarinya di kamar Danish.

“Dya mau ke mana?”

“Ke laundry.”

“Hah?” Danish terperangah. “Heh, lo mau ngapain?”

“Nyuci baju.”

“Ghue ikut!” Anya menyahut dan dia juga menyusul Dya keluar dari kamar bujangan itu.

Danish memijit pelipis. Kenapa sih hari ini menjengkelkan sekali? Dia kira datangnya dua gadis itu bisa membuat harinya sedikit lebih baik. Buat apa pula mereka ke laundry? Di sana tidak ada siapa-siapa. Danish pemiliknya.

“Argh, sial!” Pemuda itu menggeram kesal, lalu meraih kunci mobilnya yang lain dan menyusul si kembar sebelum gadis-gadis itu pergi lebih dulu.

Dia sendiri tidak tahu kenapa hatinya tidak tenang dan merasa khawatir untuk hal yang tidak perlu. Perasaannya tidak menentu.

****

Hamam tidak tahu dia mimpi apa semalam, yang jelas ketiban durian runtuh bukan ungkapan tepat untuk itu. Entah sejak kapan Hamam menyukai Dya, mungkin sejak pertama kali melihatnya, hanya saja Pramudya itu seseorang yang istimewa, anak sultan asal Surabaya, jadi kesempatan Hamam sangat kecil untuk bisa bersapa dengannya. Butuh satu tahun lebih untuk dilirik oleh Dya sebagai seorang manusia, bukan hanya seonggok daging tidak bernyawa.

Dan ketika sedang senang-senangnya berhasil mencuri perhatian Dya, hari ini Hamam menemukan Dya yang lainnya. Tentu saja, mereka anak kembar, yang satunya memiliki wajah lebih tegas dan ada kesan galak, tapi dia malah lebih ramah dibanding Dya. Namanya Anya—Pradnya Paramitha Ranajaya, adik kembarnya Pramudya.

“Jackpot!” Hamam bersorak tertahan sambil meremat pundak Danish, berdiri di belakang bosnya itu. “Mungkin ini yang disebut pepatah, tak ada rotan akar pun jadi. Nggak dapat Dya, ada Anya yang jadi cadangannya.”

Danish melirik temannya sinis. Mana bisa begitu, kalau iya, apa kabar nasib suami Pradnya dan Pramudya di masa depan? Keduanya jelas tidak sama.

“Hai, Mas Hamam. Aku Anya, Dya bilang Mas Hamam baik, nggak berbahaya, aman dijadikan teman. Ayo kenalan!”

Sejak turun dari mobil pun, Anya sudah tersenyum lebar sambil melambaikan tangan padanya, justru Dya yang tersenyum tipis seadanya. Anya ternyata sangat ramah. Hamam suka padanya juga.

“Ha—Hamam,” ujar Hamam gugup sambil mengulurkan tangan. “Salam kenal, Anya.”

“Salam kenal, Mas Hamam. Nanti aku beliin jam tangan atau mobil baru sebagai hadiah perkenalan, ya.”

Danish dan Hamam tersedak berbarengan. Andai yang mengatakan itu bukan anak sultan, mereka bisa menganggapnya sebagai lelucon atau bualan belaka. Tapi kalau anak-anak Ranajaya yang bilang, maka jangan coba-coba mengiakannya.

“Nggak perlu sungkan, hadiah itu perlu untuk menghargai hubungan dan pertemuan. Dya kan udah kasih Mas Hamam hp baru, aku belum kasih apa-apa.”

Hamam menatap Danish panik. “Hadiah perkenalannya es krim aja boleh, nggak?”

“Oh, mau es krim?” Anya bersorak. “Boleh! Kebetulan aku juga suka.”

“Lo bakal dikirim es krim sepbarik-pabriknya, Mam. Lihat aja.” Danish berbisik pelan.

“Ya, masa gue pilih mobil? Gila aja, nyokap ntar nyangka gue jadi piaraan tante girang pula.”

Danish hanya mengangkat bahu acuh tak acuh.

“Gue pilih jam tangan aja apa, ya?”

“Jam tangan dari mereka itu seharga mobil.”

“Gila.” Hamam setengah bergumam dengan wajah meringis yang tidak mampu dia sembunyikan. Sementara Anya dan Dya tertawa berdua.

“Mas Hamam nggak balas chat-ku lagi semalam. Udah bobo, ya?” tanya Dya ketika mereka duduk di sofa laundry. Hanya ada dua sofa di sana, yang panjang berwarna khaki diduduki oleh Dya, Anya dan Danish, sementara di sisi kirinya Hamam duduk sendiri. Dia iri sekali melihat bosnya seolah-olah tengah dikelilingi dua istri.

“Maaf, Dya. Aku harus bangun pagi buat kerja, terus kuliah sampai jam 10 malam, kecapekan.”

“Nggak apa-apa.” Dya tersenyum ringan.

“Aku juga mau dong nomornya Mas Hamam, kita bisa chattingan, kan?” Yang satu lagi, menyodorkan ponsel ke arah Hamam.

Danish geleng-geleng kepala melihat tingkah keduanya. Pradnya dan Pramudya adalah fakir teman, sosialisasi mereka kritis, seringkali dimanfaatkan, makanya terlalu bersikap hati-hati jika bertemu orang baru. Tapi jika dua-duanya sudah mematikan radar pendeteksi bahaya andalan mereka, lihat saja yang dilakukannya. Anya dan Dya bisa memindahkan seluruh isi planet demi membahagiakan teman-teman yang mereka suka.

“Nish,” bisik Hamam pelan sambil mengetikkan nomor di ponsel Anya. “Cara ngebedainnya gimana sih? Gue mendadak blur gini, lupa yang mana Dya, mereka mirip soalnya.”

“Ya, mirip kan kembar, pea!” Danish bahkan tidak perlu merendahkan suaranya. “Nih, cara bedainnya itu lo denger aja pas mereka ngobrol sama gue. Yang ghue-nya medok itu Anya, kalau yang gue-nya normal itu Dya.”

“Lo sengaja ngeledek ghue, ya?”

“Nah, itu Anya.” Danish menunjuk gadis berbaju biru yang baru saja bicara. Aksen Betawi medoknya khas di telinga, Hamam suka.

“Oke, gampang!” Hamam menjentikkan jarinya, bangga karena dia tahu yang mana Dya dan Anya mulai sekarang. “Eh, topi lo bagus nih, Nish.”

Danish kira temannya itu tidak akan peka, dia sengaja pakai topi untuk menutup perban di belakang kepala. Hamam mulai curiga dan mengangkat sedikit topinya, melihat apa yang terjadi di sana.

“Woah!” Dia berseru lemah. “Kenapa lo?”

“Kepentok ujung meja.” Danish terkekeh. Tidak ingin tampak lebih menyedihkan.

“Njir, kok bisa? Memangnya sekeras apa?”

Pramudya yang awalnya tidak terlalu peduli mulai mencuri dengar percakapan itu. Hamam benar, memang sekeras apa sampai berdarah dan dijahit begitu?

“Jatuh,” jawab Danish pelan. “Terus kepentok gitu.”

“Nggak lucu.”

“Lo kecelakaan di Bandung, kan?” Anya akhirnya buka suara, tapi mulai merasa ganjil setelahnya. “Nish, kenapa?”

“Nggak apa-apa. Gue sama Sayna—”

“Sayna?” Dya ikut bicara. “Kenapa Sayna?”

“Dia mabuk?” Anya menambah rentetan pertanyaan.

“Nggak.” Danish mengibaskan tangan. “Dia nggak mabuk, Sayna bukan cewek kayak gitu.”

“Jadi kalian bertengkar secara sadar sampai lo celaka gini, Nish?”

Danish ingin kabur, dia tidak suka mereka membahas topik itu, apalagi beramai-ramai seperti ini. Pun dia juga bersalah pada Sayna karena memaksanya, merebut ponselnya, hingga memepet gadis itu ke dinding dan dia berteriak kesakitan.

“Gue nggak apa-apa,” jelasnya singkat.

“Nggak apa-apa? Seriously?” Pradnya menatap wajah Danish lekat-lekat. “Ini jelas kenapa-napa, Nish.”

“Sayna sama Danish jago beladiri, mungkin sesuatu kayak gini nggak bisa dihindari kalau mereka berdua lagi bertengkar.” Hamam memberikan pembelaan meski pada dasarnya pun dia tidak yakin.

“Nish, itu nggak baik.” Anya memasang ekspresi khawatir, beda dengan Pramudya yang wajahnya datar-datar saja, padahal dia yang paling Danish percayai. “Lo sama Sayna itu udah toxic banget.”

“Jangan sok tahu, Anya.”

“Ghue tahu!” Anya berang. “Ini buktinya.” Tangan gadis itu membuka topi yang Danish pakai sembarangan.

“Lo nggak bisa menyimpulkan begitu aja hanya dengan melihat keadaan gue sekarang. Lo nggak tahu apa yang gue lakuin ke Sayna, kan?”

“Nggak tahu, tapi yang jelas nggak baik-baik aja. Lo nggak bisa seenaknya bilang ini nggak apa-apa, ini baik-baik aja. Lo jangan gila, Danish! Lo dilahirkan sama Bu Melia susah payah, disayang sama semua orang, dibesarkan mati-matian bukan buat diperlakukan begini. Lo nggak tahu kan gimana khawatirnya kita sekeluarga? Gimana paniknya Mas Arya pas ngabarin kalau lo celaka di sana? Sendirian pula. Ghue, Ibuk sama Dya jauh-jauh dari Surabaya buat apa? Dan sampai sini lo yang cuma berantem sama Sayna bilang kalau ini nggak apa-apa? Nggak papa ndasmu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status