Share

Toxic

 “Gue beli ini di jalan tadi.” Danish menyodorkan sekotak rujak Thailand kekinian yang isinya hanya terdiri dari jambu biji non biji—maksudnya apa sih?—serta bubuk cabai dan bumbu manis asin seperti larutan oralit pedas.

“Kayaknya seger, ya? Bandung panas banget hari ini, dan gue pusing.”

Sayna menerimanya dengan senang hati kendati yang dia pesan tadi hanya sebungkus roti dan selai srikaya, perutnya protes minta diisi, Sayna juga kurang tidur karena harus latihan mati-matian untuk ujian tengah semesternya.

Kehidupan di kampus tidak bisa dibilang normal-normal saja. Sayna harus berusaha dua kali lebih keras dibanding sebelumnya, jauh berbeda saat di mana ada Gio yang membantunya. Terlebih kabar simpang siur terdengar di seantero fakultas tiga lantai itu. Kabar dengan cepat menyebar, Gio nyaris tidak melakukan apa-apa, Sayna tahu, dia sibuk coass.

Namun teman-temannya, para pendukungnya, orang yang simpati padanya, membuat Sayna merasa tertekan. Beberapa teror misterius hingga terang-terangan sudah dia terima. Semuanya menuntut Sayna untuk minta maaf pada Gio, tapi gadis itu lebih suka mengabaikannya.

“Mau makan siang ke mana? Eatery atau Karnivor? Biar gue reservasi.” Sayna memecah hening, melupakan gangguan-gangguan yang bersumber dari kepalanya sendiri. Sebentar lagi jam makan Danish.

“Uh, pacar gue perhatian banget!” Danish berujar senang. “Lo tuh kayak G****e tahu nggak, Say?”

“Karena gue tahu apa yang lo mau?”

Danish menggeleng. “Karena lo selalu punya semua hal yang gue cari.”

Mereka sama-sama tersenyum. Danish menggeser posisinya hingga mendaratkan kepala di pangkuan Sayna, berbalik arah dan menyembunyikan wajah di perut ramping gadis itu. Dia senang berada di sana, menghirup wangi parfum, sabun dan detergen dari tubuh dan pakaian Sayna yang bercampur jadi satu.

“Lo tahu, dari skala 1 sampai 10, kadar cinta gue ke lo cuma dua aja.”

“Kok sedikit?” Sayna mengernyit.

“Iya, dualeeemmmm banget!”

Keduanya terkikik. Terdengar menggelikan memang, di usia dua puluhan masih memakai gombalan murah meriah seperti itu. Tapi ada kalanya itu perlu, terutama karena hubungan mereka tegang akhir-akhir ini, bahkan sedikit canggung.

“Makan yuk! Nggak apa-apa steak lagi? Soalnya pagi udah makan roti,” kata Danish menginterupsi.

“Boleh deh, tadi udah makan pentol sih dari Mamang yang suka keliling deket sini.”

“Oh, ya? Abis makan pentol ternyata. Pentol borax, ya?”

“Ih, Danish hati-hati ah ngomongnya.”

“Kirain pake borax, soalnya gue heran kenapa cinta gue ke lo nggak pernah basi kayak gini.”

“Haha, apa sih?”

Danish semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Sayna. Melingkarkan kedua tangan dan mengait di punggung gadisnya, menyembunyikan wajah yang pasti sudah merona semena-mena.

“Masih lama ya lulusnya? Gue udah nggak tahan sebenarnya LDR-an, pengen deketan, ketemu tiap hari, Say. Kalau kata Hamam, cukup antartika yang jauh, antar kita jangan.”

Sayna tertawa, Hamam dan teorinya memang ada-ada saja. Tapi itu terdengar menggemaskan.

“Nanti mau stay di mana? Gue pengen mengabdi di kampung Ibu, Nish. Rumah sakit di Sumedang cuma sedikit, dokternya juga. Kita bisa pindah ke sana, kan? Urus bisnis jarak jauh, atau lo bisa pulang pergi kayak gini.”

Danish membuang napas, dia kira hubungan jarak jauh mereka akan segera berakhir. Sayna tahu dengan jelas bahwa setelah menikah, perempuan harus patuh pada suaminya, tapi itu terlalu berisiko untuk karier dan impiannya. Jadi sedari dini, dia sudah merancang masa depan mereka, dan Danish bisa apa selain mengiakannya?

Apa Sayna tidak pernah berpikir bahwa Danish pun bisa lelah? Jakarta Bandung sama sekali tidak dekat, apalagi Jakarta Sumedang.

Dunia orang dewasa ternyata sesulit ini. Danish tidak tahu kalau bertambah tua usianya, bertambah pula beban-beban di pundaknya. Dia punya banyak tanggung jawab, dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menyulitkan. Rasanya tidak enak, lebih baik kembali jadi anak kecil yang tidak tahu apa-apa.

“Nish,” panggil Sayna sambil mengelus rambut Danish yang halus. “Lo nggak punya mimpi?”

“Ada,” jawab pemuda itu pelan. “Jagain Mama, nerusin bisnis keluarga, banyak yang bergantung di sana, Sayna, mereka cari makan bareng gue di laundry, dan... hidup sama lo, sama-sama, bikin lo bahagia.”

Sayna tersenyum kecil, ternyata dia ada di urutan ketiga. Syukurlah, akal sehat Danish masih berfungsi dengan baik.

“Sebentar.” Gadis itu memanjangkan tangan untuk meraih ponsel yang tergeletak agak jauh dari jangkauan. Sebuah pesan masuk menginterupsi, siapa tahu Rafika yang menghubungi, mereka ada janji untuk meminjam boneka organ peraga sebagai bahan latihan.

0811xxx: Sayna, better kamu ikuti arus. Turuti tuntutan itu, minta maaf. Itu nggak akan membuat kamu lantas hina, semua orang akan melupakannya pelan-pelan.

Brengsek ini...

Berani-beraninya dia mengirimi pesan. Dia tahu dirinya banyak dukungan? Apa Gio pikir Sayna akan goyah? Minta maaf secara terbuka? Yang benar saja. Itu sama dengan mengakui semua tuduhan terhadapnya, kan?

“Say, kenapa?” Danish cukup peka. Sayna diam lama setelah memeriksa ponselnya. Air wajah gadis itu juga tidak terbaca, aneh sekali melihatnya tiba-tiba diam tanpa suara. “Siapa yang chat?”

“Bukan siapa-siapa.” Sayna buru-buru menarik ponselnya rapat ke dada, tampak antisipasi berlebihan, takut Danish benar-benar merebutnya. Dan tanpa sempat dia sadari, bibirnya gemetar.

“Say, kenapa? Sini gue lihat hapenya.” Danish berusaha merebut, pasti ada yang tidak beres, ini persis minggu lalu, Sayna gemetaran, tampak sangat mengkhawatirkan.”Sayna!”

“Nggak!” tolak gadis itu buru-buru. Dia menjauh dari Danish, menggenggam ponselnya kuat-kuat. Jangan sampai Danish berhasil mendapatkannya. Jangan sampai Danish tahu, Inara bilang itu berbahaya.

“Siniin!” pinta Danish setengah memaksa.

“Nggak! Danish jangan! Nish lo tahu yang namanya privasi nggak sih?”

“Gue khawatir sama lo!” Danish meradang. “Siniin! Gue tahu ada yang nggak beres!”

“Nggak ada apa-apa! Jangan ikut campur! Lo nggak tahu apa-apa! Lo nggak akan bisa ngapa-ngapain! Lo nggak bisa bantu melindungi gue!”

Danish merasa terhina mendengar ocehan gadis itu padanya. Dia berjalan tanpa ampun dan memepet Sayna ke dinding hingga tidak bisa ke mana-mana, lalu menarik paksa benda pipih sumber kekacauan itu. Semakin Sayna melarangnya, semakin Danish membabi-buta.

“Lepasin!” Sayna menjerit, lengannya sakit.

“Kasih ke gue hapenya. Cepetan!”

“Nggak! Lo nggak berhak! Lo bukan siapa-siapa gue, lo nggak berhak hancurin hidup gue lebih dari ini!”

“SAYNA!”

Terjadi perebutan tak terelakkan. Tenaga keduanya sama besar, mereka adalah atlet hebat, tidak ada yang berusaha mendebat, Sayna dan Danish beradu siapa yang lebih kuat. Danish menjepit gadis itu dengan tubuhnya yang berat, sementara Sayna memberontak, mempertahankan diri, hingga melepaskan diri susah payah dari gencetan Danish.

“Lo gila!” umpatnya pada pemuda yang telah membuat dirinya tergila-gila. Seluruh tubuh Sayna sakit, remuk, Danish jelas lebih kuat. “Sakit, Danish!”

“Kasihin ke gue!” paksa Danish pantang menyerah. “Say—”

BRUK!

“Arghhh... fuck you!” umpatnya keras pada gadis itu.

Danish baru berhenti dari kegilaannya saat kaki Sayna melakukan tendangan hingga dia terdorong jatuh. Tubuhnya terhempas, bagian belakang kepalanya membentur ujung meja marmer di samping tempat tidur. Danish meringis merasakan hangat lembab dan bau anyir mengalir dari sana. Ia mendadak pening.

“Nish...” Sayna langsung lemas melihat kekasihnya jatuh terdorong hingga bersimbah darah. “Maaf...”

***

Maksudnya tidak begitu. Sayna tidak ingin membuat Danish rendah diri sama sekali. Logikanya, jika Danish tahu, dia pasti akan marah besar, dia pasti akan mengamuk. Lalu kemungkinan mencari Gio dan membuat kakak tingkat Sayna itu babak belur. Urusan mereka jadi semakin panjang, terutama jika Gio melaporkannya. Kuliah Sayna jelas terganggu, imbasnya tidak jauh dari Ayah dan Ibu. Dia tidak mau hancur lebih dari ini, tidak mau sampai separah itu. Sayna masih bisa menahannya sendiri meski belum sepenuhnya teratasi.

Dia hanya berharap orang-orang akan cepat melupakannya.

“Sayna?” panggil suara yang asing di telinga. Gadis itu menoleh ke belakang, tirai rumah sakit tersibak bersamaan dengan sosok pemuda jangkung berjas putih di baliknya. “Siapa yang luka?”

“Ah, Kak Bintang.” Dia kakak tingkat Sayna juga, seangkatan dengan Giovanni, mereka cukup dekat. “Ini pacar aku, Kak.”

“Sakit? Oh, udah tindakan, ya? Cuma evaluasi aja, kayaknya nggak perlu rawat inap nih. Masih pusing?” tanya Bintang pada Danish.

“Udah enggak,” jawab pemuda itu sok kuat. “Saya bisa pulang sekarang, kan?”

“Satu jam lagi, ya. Lukanya di kepala, bagian belakang pula. Kena berapa jahitan tadi, Say?”

“Uh, tiga kayaknya, Kak.”

“Wah...” Bintang terperangah. “Kenapa? Jatuh apa gimana?”

“Jatuh,” jawab Danish buru-buru. “Kepeleset gitu, kena ujung meja.”

“Pantesan atuh. Eh, kapan hari itu si Gio juga digotong dari kos-kosannya, Say. Babak belur tuh, kamu tahu nggak? Kamu kan deket sama dia, kirain kalian pacaran, ternyata kamu udah punya pacar, ya.”

Sayna menggeleng. “Aku nggak tahu dia kenapa.”

“Oh, gitu. Oke deh, nanti satu jam lagi saya ke sini. Tenang aja, pacarnya anak kampus sini, Mas, nggak akan diganggu gugat kok, setelah aman baru boleh pulang, nanti izin sama dokter jaga dulu.”

Bintang yang berstatus dokter muda alias tenaga magang di rumah sakit hanya melakukan pemeriksaan singkat tanpa detail apa-apa. Untung saja yang berjaga di UGD hari ini bukan Giovanni, bisa mati kalau pemuda itu yang ada di sini.

“Mau minum?” tanya Sayna pada Danish, pemuda itu menggeleng pasrah. Bagian belakang kepalanya diperban untuk menutup luka jahitan.

Bodoh sekali, apa yang sebenarnya mereka lakukan? Ini jelas kecelakaan, bukan? Sayna tidak sengaja. Mereka hanya berebut ponsel, tidak berniat untuk saling melukai sama sekali. Sayangnya luka Danish cukup parah, dia bersimbah darah, banyak sekali, pertolongan pertama yang Sayna berikan tidak cukup, lukanya harus dijahit, terlalu lebar jika dibiarkan.

Pembuluh darah di kepala juga banyak sekali, darah tak kunjung berhenti. Sayna memutuskan membawanya ke sini, kebetulan bangunan kos dan kampus Sayna tidak jauh dari rumah sakit.

“Nish, maaf.” Sayna berbisik lirih, dia malu sekali, apa yang dilakukannya hari ini? Danish-nya terluka, ini bukan hal biasa. “Gue nggak sengaja.”

“Gue tahu.” Danish meraih tangan gadis itu. “Gue nggak apa-apa, Sayna. Sebentar lagi juga sembuh,” ujarnya. “Jangan terlalu khawatir atau pun ngerasa bersalah.”

Mana bisa, Sayna bukan orang seperti itu. Danish tidak tahu berapa banyak rasa bersalah bertumpuk dalam hatinya, ditambah kejadian ini, rasanya Sayna ingin mati saja.

“Mana? Siapa?” Ada suara di luar tirai bilik Danish. “Ah, kamu.” Seseorang dengan jas putih yang lain menyembulkan kepala dari sana. “Saya kakak tingkat kamu, Dek. Nggak mau salam dulu?”

“Heh!” Danish membentak orang itu.

“Kena bogem juga ya, Mas? Hati-hati deh berurusan sama cewek ini, salah dikit babak belur. Udah dua orang sama Mas yang jadi korbannya.”

“Fuck! Nggak bisa profesional sedikit apa?!”

“Nish, Nish, udah!”

Sayna segera menahannya, dia khawatir Danish membuat kekacauan di sana. Kendati kakak tingkatnya yang memancing, tapi imbasnya akan tetap mereka terima bersama. Sayna tidak sanggup membayangkannya. Menahan Danish adalah satu-satunya misi saat ini.

“Ada apa sih mereka?” tanya Danish geram, bahkan amarahnya saja belum reda karena insiden rebutan ponsel tadi. “Kalian ada masalah pribadi? Apa maksudnya tadi? Gio kenapa, Sayna?”

Gadis itu membeku, dia ketakutan, akhirnya Giovanni dipertanyakan. Minggu lalu mereka sudah membahasnya, Sayna kira akan selesai sampai di sana. Dia kira Danish tidak akan bertanya.

“Lo apain dia sampai babak belur, Sayna?” tanya Danish tak habis pikir. “Apa yang dia lakuin sampai lo gebukin kayak gitu?”

Jelas bukan hal yang sederhana. Danish tahu, Sayna terlalu rasional untuk melakukan kekerasan, dia pintar melakukan pertahanan. Jika jurusnya sudah keluar, pasti itu bukan hal kecil lagi, ada sesuatu yang besar.

“Lo nggak diperkosa, kan?”

“Nggak!” jawab Sayna buru-buru, dia memegangi kedua tangan Danish. “Nggak, Nish, bukan gitu. Nggak gitu ceritanya.”

“Terus? Dia niat perkosa lo dan lo gebukin duluan? Gitu, kan?”

“Bukan, bukan...” Sayna menggelengkan kepalanya segera. Tubuhnya gemetar, dia ketakutan.

“Lo bilang dia nggak akan gangguin kita lagi, apa karena ini?” Danish mulai menerima segala prediksi yang ada di kepalanya, mengeluarkan hal-hal yang sempat dia pikirkan. “Lo digangguin sama teman-temannya, Sayna. Ini udah nggak benar, kita nggak bisa diam aja. Lo pasti punya alasan yang kuat kenapa mukulin Gio, kan?”

“Nish, please...” Sayna menangkup dua tangan Danish dan menangis di sana. “Jangan lakuin apa-apa, gue mau kuliah, Nish, gue mau semuanya baik-baik aja, gue nggak mau hal ini menghambat, ganggu proses itu, kasihan Ibu, Nish... gue harus lulus tepat waktu.”

“Sayna—”

“Gue... gue yang salah.” Gadis itu menahan raungan, bagaimanapun ini rumah sakit, mereka berada di bilik unit gawat darurat. “Gue yang mancing dia, Nish, please... jangan lakuin apa-apa.”

Danish menggelengkan kepala, tak percaya pada pendengarannya sendiri. “Lo selalu bilang gue nggak akan bisa bantu apa-apa, padahal lo sendiri yang menutup semua kesempatan itu.”

“Gue takut... please... gue takut, Danish... tolong... jangan gimana-gimana... gue takut... please, Nish... peluk gue...”

Gadis itu merasakan dada yang hangat memayungi hujan di sekujur tubuh. Dia yang kedinginan akhir-akhir ini merasa nyaman dan aman dalam dekapan itu. Danish lagi-lagi merelakan diri, melebur seperti lilin dibakar api, memberinya perlindungan saat dirinya sendiri merasa hancur hingga ingin mati.

“Nish, maaf... gue takut...”

“Ssshh... ada gue,” bisik Danish pelan. “Ada gue di sini.”

Belum sepenuhnya lega memang, tapi Sayna yang menyerahkan diri seperti ini membuat beban di pundaknya diangkat. Sayna yang jujur dan mengutarakan ketakutannya membuat Danish lebih merasa dianggap manusia, bukan hanya teman senang-senangnya di atas ranjang.

“Sayna kenapa?” pancingnya. “Lo mau bilang sekarang?”

“Dia, Nish... gue... butuh bantuan...” Sayna terbata-bata. Gadis itu bergerak, meninggikan posisi, menyuruk ke leher kekasihnya, meredam suara tangisnya di sana. “Gue... di bawah... dia berdiri, Nish... gue... hoek!”

Sayna mual, sensasi ingin muntah itu menguasainya, dia tidak sanggup bicara lebih jauh. Tubuhnya dipaksa kembali ke masa itu, lidahnya menyecap bau karet dari kondom yang membungkus benda di sela kaki Giovanni, cairannya menyembur di mulut Sayna. Dia gila membayangkannya, Sayna tidak bisa. Dan sialnya—saat itu, dia sempat menginginkannya. Tubuh sialannya ini tidak menolak.

Sayna jijik pada dirinya sendiri.

“Nish, maaf... gue terpaksa... gue—gue sengaja... tapi gue terpaksa, Nish...”

Danish menahan napasnya sejak tadi. Sayna tidak perlu menjelaskan semuanya, apa yang terjadi akhir-akhir ini sudah seperti potongan puzzle yang tersusun di kepala, dan inilah bagian terakhirnya. Danish mungkin bodoh, tapi dia paham arah pembicaraan ini, apa intinya. Semuanya sudah lengkap, dia bisa melihatnya dengan jelas sekarang.

Pengkhianatan?

Perselingkuhan?

Tidak, bukan?

Sayna bahkan membuat Giovanni babak belur setelahnya. Dia juga melakukan hal itu karena terpaksa, bukan atas keinginan atau hasratnya.

Benar, kan?

“Nish...”

Anehnya, Danish tidak merasakan sesuatu seperti ditusuk di dadanya. Tidak ada yang sakit di sana. Tidak ada sesak. Hanya mencelos dan menarik napas dalam adalah semua yang dia butuhkan.

Aneh, seolah... alam bawah sadar Danish sudah mempersiapkan banyak kemungkinan. Termasuk yang terburuk, dan mungkin ini adalah salah satunya.

Apakah ini berarti Danish ternyata sudah lama menerima pengkhianatan Sayna di belakangnya?

Kenapa perasaannya aneh sekali saat ini?

“Nish, please... gue akan lakukan apa pun. Sumpah, gue akan lakukan apa pun biar dimaafkan. Maaf, Nish... maaf...”

Tentu saja, Sayna. Danish sudah berjanji akan memaafkannya apa pun yang terjadi.

“Say,” panggilnya pelan, suara Danish sangat rendah, tanpa amarah. “Gue beliin gelang buat Dya, gelang yang waktu itu bukan hadiah buat Mbak Dinar.”

Entah kenapa, Danish merasa perlu mengakuinya, dia merasa curang jika terus merahasiakan hal itu dari Sayna.

“Hadiah ulang tahun?” tanya Sayna memastikan.

“Bukan.” Danish menggeleng. “Cuma hadiah biasa, gue mau kasih Dya hadiah, itu aja.”

Dada Sayna berdenyut, ada nyeri yang menggelanyut, tapi dia harus menahannya. Itu cuma gelang, berbanding jauh dengan apa yang dia lakukan. Tidak apa-apa. Danish hanya memberi Dya gelang, bukan tubuhnya, bukan kehormatannya, apalagi harga dirinya.

Entah kalau hatinya...

Apakah ada kepingan hati Danish di gelang yang dia hadiahkan untuk Pramudya?

“Oke.” Sayna menganggukkan kepala.

“Gue salut kalau ingat gimana Anya dan Dya nutupin hal itu demi bikin lo sama gue tetap aman.” Danish membuang napas pelan. “Tapi kenyataannya, Say, yang bikin kita bertengkar bukan orang lain, bukan faktor luar, itu diri kita sendiri.”

Air mata Sayna banjir, Danish menghapusnya dengan ibu jari, lalu bibir indah itu mendarat di dahinya. Sebuah kecupan dihadiahkan, manis, tapi sarat akan rasa sakit. Danish mati-matian menahan tangis.

“Gue janji nggak akan ke mana-mana.” Pemuda itu mengelus wajah kekasihnya, merapikan anak rambut yang berserak di wajah cantik Sayna. “Gue akan selalu menerima lo, Sayna, apa pun yang terjadi, apa pun yang lo lakukan, gue udah janji.”

“Nish...”

“Tapi gue butuh waktu kali ini.” Tangan Danish gemetar saat memegangi gadis itu, tangisnya hampir pecah, ada nyeri yang menjalar saat ini. Membayangkan dia tidak akan melihat Sayna dalam waktu dekat, Danish sekarat. “Kita butuh jeda, Sayna, perlu waktu. Kita harus sembuh dulu, baru nanti sama-sama lagi. Gue janji nggak akan ke mana-mana. Jangan takut, ya?”

Ini sakit sekali. Sayna lebih baik ditampar dan dicaci maki seperti dalam mimpi. Dia tahu kalau dirinya pantas untuk itu semua. Tapi ini apa? Danish sudah lebih dari kecewa padanya. Danish bahkan sudah tidak bisa marah lagi, dia tidak cemburu. Bukankah begitu?

Kenapa dia menerima Sayna lagi dan lagi? Memaafkannya terus menerus?

Benarkah itu cinta?

Atau hanya...

“Jangan ke mana-mana, tunggu aja.” Danish bermukim di ceruk lehernya, berbisik pelan di sana, napas hangatnya menyapu kulit terluar Sayna. “Gue nggak akan pergi, gue pasti balik lagi. Jaga diri baik-baik, jangan sampai sakit lagi, hm?”

Sayna bahkan belum sempat menjawab, saat tirai di belakangnya tersibak, dan pasien yang harusnya pergi satu jam lagi tidak bisa menunggu lebih lama.

Danish pasti sudah muak sekali padanya.

Dia tidak sudi lagi berada di sana dengan Sayna.

Sekarang dia harus bagaimana?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status