Share

Janggal Sekali 2

“Ngapa lo garuk-garuk helm, Mam?”

“Pala gue gatel.”

“Pala lo gatel terus kenapa helm-nya yang digaruk? Coba dibuka dulu biar afdol garuk-garuknya.”

“Heh, emang kalau pantat lo gatel lo harus banget garuk-garuk sampe buka celana? Enggak, kan?”

Danish memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Hamam jelas marah karena insiden pulangnya Pramudya tempo hari. Mereka baru sampai di Puncak tapi Dya buru-buru kembali ke Jakarta lagi setelah Danish mengadukannya pada Arya. Hamam yang merasa bertanggung jawab karena mengajaknya jelas ikut pulang, tidak jadi ikut pesta dengan teman-teman.

Dan sekarang Hamam marah padanya, itu ulah Danish memang, tapi dia juga tidak tahu kalau Arya sampai meminta adiknya pulang malam itu juga.

“Dya?” sapa Hamam dengan mata berbinar begitu dia masuk ke laundry dan menemukan gadis itu di lobi. “Kok ada di sini?”

“Dia minta ketemu sama lo sebelum balik ke Surabaya nanti malem,” jawab Danish.

“Besok aku UTS,” jawab Pramudya, mengabaikan sapaan Hamam. “Maaf ya ngerepotin Mas Hamam kemarin.”

What the fuck? Mas Hamam? Pramudya gila, ya? Hamam itu seumuran mereka!

“Ih, Dya... nggak apa-apa. Seneng banget kamu ke sini sengaja buat ketemu aku. Udah sarapan belum?”

“Belum. Aku lupa.”

“Kok gitu? Jangan lupa, sarapan itu lebih sehat daripada harapan.”

Dya tersenyum lebar. Dia suka Hamam karena pemuda itu lucu, Hamam juga sopan dan menyenangkan.

“Aduh, Dya... senyummu mengajakku berkembang biak.”

“Lo najis banget sih, Mam.” Danish susah payah menahan tawa dan sensasi menggelitik di perutnya. “Gue udah pesenin sarapan, bentar lagi dianter ke sini.”

“Gue mau nasi ya, Bos! Nggak mempan gue dikasih roti, itu cuma kudapan orang-orang lemah!”

“Iya, gue tahu!” Danish bergerak dan nyaris menyentil hidung Hamam. “Bawel anjir, gue pesenin nasi uduk lo!”

“Nah, gitu dong. Hehe, makasih!” Hamam menyengir. “Dya makan apa?”

“Nggak tahu.” Pramudya mengangkat kedua bahu. “Danish pesan nggak bilang aku.”

“Sandwich pedas kan, Dya? Gue lihat lo sering pesen itu buat sarapan.”

“Oh, iya ya?” tanyanya tak percaya. Dya bahkan tidak tahu kalau dia sering memesan menu itu, tapi sandwich pedas untuk sarapan tidak buruk juga.

Hamam terdiam, diam-diam menahan senyuman. Entah kenapa dia tahu ada yang berbeda di sana, cara Danish memperlakukan gadis itu—Pramudya, gadis yang disukainya. Ayolah, siapa yang tidak suka pada Pramudya? Mungkin kalau ada, lelaki itu buta, atau kena pelet cinta.

Dya gadis yang baik, dia baik pada orang yang dianggapnya tidak berbahaya, Dya juga menyenangkan, Dya bukan gadis seperti Juwi—pacarnya Arvin yang terlalu pendiam dan sulit berbaur, Dya juga tidak seperti Sayna yang bisa membuat Danish bertekuk lutut. Dya hanya Dya, sederhana yang mewah menguar dari seluruh tubuhnya, bahkan dari suara langkah kakinya. Hamam suka pada Dya, bukan karena dihadiahi ponsel mahal, hanya... suka saja.

Susah sekali menolak pesonanya.

“Lucu ya, lo bisa inget apa yang sering dimakan sama Dya. Biasanya lo kan pelupa,” komentar Hamam—sengaja.

“Itu care namanya, gue sama Dya kan saudara.”

“Saudara? Like... seriously? Terus kenapa gue nggak boleh macarin Dya?”

Danish terganggu mendengar ucapan itu, dia meletakkan ponsel dan siap menghajar Hamam buru-buru. “Lo nggak usah ngirebetin hidup lo sendiri deh, Mam.”

“Lo yang ribet,” tudingnya.

“Kalian berdua kenapa?”

“Si Danish udah nggak waras, Dya. Jangan temenan sama dia, sama aku aja, ya?”

“Heh!” Danish menarik tangan Pramudya menjauh dari jangkauan Hamam. “Lo tuh gue kasih tahu dari sekarang! Jangan macem-macem, lo yang bakal sakit hati, Mam! Jangan ngeribetin hidup, urusan lo banyak, ngejar-ngejar Dya bikin lo makan ati!”

“Tapi lo seenggaknya kasih gue kesempatan!” Hamam tak terima. “Gue baru tanya Dya udah sarapan apa belum, eh, lo malah udah beliin makan duluan. Lo kok gercep? Gue nggak suka.”

Danish tidak ingin berdebat, memangnya apa sih? Hanya membeli makanan, di mana istimewanya? Kenapa Hamam meributkan hal kecil seperti ini? Bahkan harga makanan itu tidak seberapa.

“Pas makananya dateng nanti lo yang bayar.” Dia memutuskan jalan tengah. “Lo pengen traktir Dya makan, kan?”

“Bukan, pea! Bukan soal bayarinnya, Dya punya duit yang lebih banyak dari gue. Ini soal perhatian dan pengertian. Gue kesel karena kalah gercep dari lo. Udah itu aja, makanannya tetep lo yang bayar.”

“Sinting,” umpat Danish sinis.

Sementara Pramudya hanya terkikik di antara keduanya. Mereka lucu, mengatakan hal-hal barusan seolah Dya tidak ada di sana. Ada-ada saja.

“Itu tangan Dya lo gandeng mulu, emangnya Dya buta? Lepasin!” Hamam bicara begitu sambil menarik tangan Danish agar terlepas dari Pramudya. Dua pemuda itu saling bertatap sinis.

“Iri kan lo?” tanya Danish sengaja.

“Nggak, ya! Mon maap aja nih gue jusru takut kalau punya gandengan karena yang gandengan itu rawan kecelakaan.”

Danish memberikan ekspresi dengan mata segaris, sedangkan Pramudya tertawa renyah sembari menatap Hamam. Dia tampak senang, dan itu membuat Danish tidak tenang. Kalau Hamam benar-benar jatuh hati padanya, maka drama keluarga Ranajaya season dua segera dimulai. Dan jika Dya membalas perasaan Hamam, Danish bisa membayangkan rentetan episode perjuangan mereka demi mendapat restu orang tua.

Namun yang paling masuk akal, Dya mempermainkan Hamam seperti pacar-pacarnya yang lain. Danish tidak rela, Hamam itu sahabatnya, Dya saudaranya, dia ingin hubungan mereka baik-baik saja, jangan sampai rusak karena perasaan tak terbalaskan.

“Dya aku pesenin kamu teh manis, aku pesennya teh tawar. Mau, kan?”

“Boleh.” Dya menjawab singkat.

“Tanya dong, kenapa Mas Hamam minumnya teh tawar?”

“Kenapa?” tanya gadis itu sambil mengulum senyuman.

“Soalnya minum teh tawar tanpa gula di sebelah kamu itu udah manis, Dya. Aku nggak mau kena diabetes melitus di usia muda.”

“Mam, jijik ah!”

Pramudya tertawa.

“Iri kan lo?” Hamam mendelik pada Danish. “Aku sedang menyukai hal-hal yang nggak perlu. Misalnya, kadar senyum kamu di hidupku. Hehe. Kita jauhan, yuk! Kasihan ini ada yang kepanasan. Itu di dadanya pasti udah ada yang berkobar kayak api neraka jahanam.”

“Hamam!” Danish meinggikan suara. “Kerja!”

“Gue mau sarapan dulu sama Dya,” ujarnya santai, Hamam mengisyaratkan Dya untuk bergeser, menjauh dari Danish dan gadis itu menurut. “Aku mau tanya, hal konyol apa yang pernah kamu lakuin pas SMA?”

Pramudya berusaha mengingatnya. “Pas aku lupa pake celana dalam ke sekolah kayaknya.”

Bukan hanya Hamam yang tertawa, bahkan Danish hampir jatuh dari kursinya mendengar jawaban dari Pramudya.

“Beneran itu? Kok bisa?” tanya Hamam penasaran.

“Bisa. Kan di rumah memang jarang pakai.”

Mendadak wajah kedua pemuda itu memanas. Pramudya memang agak tidak waras.

“Terus kamu di sekolah gimana?” Tahan, Mam, tahan... jangan mengatakan hal-hal mesum di depan gadis yang dia suka.

“Aku lupa deh. Kayaknya di lokerku ada, atau aku minta bawain ke Anya. Lupa ah. Kalau Mas Hamam apa? Ceritain pengalamannya pas SMA.”

Danish baru saja akan menyahut andai Hamam tidak segera memelototinya.

“Hm, apa ya? Aku dulu anak baik, Dya. Nggak macam-macam, nggak punya geng, nggak suka tawuran,” sindirnya pada seseorang. “Aku kayaknya cuma 3 tahun sekolah tapi nggak pernah paham sama Matematika aja.”

Dya tertawa renyah. “Itu bukan konyol, Mas, tapi bodoh.”

Tentu saja tawa Danish meledak lebih keras dari siapa pun yang ada di sana, padahal dirinya pun sama saja. Hamam dan Danish kan sebelas dua belas.

“Duh, untung Dya yang bilang.” Hamam tetap konsisten dengan senyum dan suara rendah yang sengaja dia persembahkan untuk Dya. “Tapi itu yang ketawa nggak ada otaknya, ya? Ngeledekin orang tanpa kontrasepsi lebih dulu.”

“Kontrasepsi?” tanya Dya bingung.

“Kontradiksi, Mam.”

“Kontaminasi.”

“Konsumsi.”

“Konstitusi.”

“Konspirasi.”

Dua pemuda itu bicara bersahutan dan tergelak setelahnya, candaan yang tidak masuk ke otak Pramudya. Entah siapa yang benar-benar bodoh di sana.

“Dya...”

“Udah, Hamam!” bentak Danish demi menghentikan gombalan Hamam yang meresahkan. “Lo dikit-dikit Dya, apa-apa Dya, di sini emang cuma ada lo sama Dya, sisanya rumput laut doang!”

“Gue baru tahu kalau iri dan dengki itu tidak hanya disebabkan oleh kekurangan uang.” Hamam menjawabnya tanpa menatap Danish dan pura-pura mengelus dada. “Eh, Dya nama panjangnya siapa?”

“Pramudya Gayatri.”

“Ranajaya.”

“Nggak pake Ranajaya, Nish.”

“Pake, Mas Arya bilang ke gue.”

“Duh, namanya bagus.” Hamam buru-buru menyela obrolan itu. “Aku harus hafalin dari sekarang biar lancar pas ijab kabul. Hehe. Artinya apa, Dya?”

“Nggak tahu.” Gadis itu mengangkat bahu. “Tapi Pramudya itu kebanyakan dipakai cowok, karena aku sama Anya kembar, jadi Ibu kasih nama itu biar aku jadi pelindung Anya, kan aku kakaknya.”

Hamam manggut-manggut. “Oh, gitu... tapi cocok loh di kamu, namanya bagus.”

Dya tersenyum. “Kalau Mas Hamam apa?”

“Hamam Syaif Rifa’i.”

“Artinya?”

“Hamam itu artinya kamar mandi,” sela Danish. Mulai jengkel menjadi obat nyamuk dua orang yang sedang pendekatan ini.

“Bukan ya anjir! Penulisannya beda!” kata Hamam tak terima.

“Kalau Syaif artinya apa?”

“Syaif itu artinya pedang, Dya. Kalau Syaiful Jamil artinya Pedangdut.”

Dya tertawa, lupa pada obrolan mereka yang sesungguhnya karena tahu dengan jelas bahwa Hamam hanya sedang mencari bahan lelucon untuk ditertawakan. Sayangnya, dia berhasil. Hamam semakin menarik semakin Dya mengenalnya.

“Lo nggak tanya nama panjang gue siapa?” tanya Danish pada Dya, heran kenapa di sini seolah-olah dia jadi orang ketiga.

“Gue udah tahu,” jawab Dya acuh tak acuh. “Bapak kan manggil lo tuh Adiswara, bukan nama depannya.”

Hamam di sana merasa menang, dia tertawa meremehkan. “Nish, mulai sekarang lo harus bersaing sehat sama gue,” ujarnya jumawa.

“Nggak ada yang mau saingan sama lo, Mam. Lo nya aja yang merasa tersaingi.”

Danish pasti tidak sadar kalau dia adalah saingan seluruh umat berbatang di dunia jika statusnya masih lajang alias belum sah dimiliki seseorang. “Dahlah, laper gue, abis ini mau kerja, Dya pulang ya ke Surabaya? Nanti sering-sering dong balesin chat aku di WA.”

“Iya, nanti aku balas.” Dya tersenyum lebar. Makanan mulai berdatangan dari kurir pengantar, ada roti isi daging dan roti telur pedas untuk Danish dan Dya, sementara Hamam memiliki seporsi nasi uduk dengan ayam goreng dan tahu-tempe lengkap.

“Tempe sama tahu adalah makanan enak buat hidup sehat, Mam. Nah, TAHU diri itu cara yang sehat buat hidup enak. Semoga lo ngerti.” Danish menyengir lebar setelah mengutarakan sindirannya.

“Dasar bos laknat.” Hamam mengumpat.

Sebetulnya Hamam juga tahu, Pramudya bukan gadis yang sepadan untuknya. Tapi kalau dia suka, mau bagaimana? Lagi pula Dya tidak terlihat keberatan digoda, dia tampak senang-senang saja. Kenapa Danish repot sekali sih? Mereka itu cuma ipar kuadrat, lebih seperti teman dibanding kerabat. Keduanya berstatus saudara karena ikatan hukum dari kakak-kakak mereka.

“Dya kalau dilihat-lihat mirip sama Irene Red Velvet, ya.”

Danish memutar bola mata, Hamam dan gombalannya itu tidak ada habisnya. “Beliin jus kiwi buat Dya, buruan,” titahnya.

Tampak ingin menolak, tapi Hamam dan Dya bertatap yang akhirnya membuat pemuda itu luluh dan pergi begitu saja setelah nasi uduknya tandas. Ini belum jam kerja, operasional laundry dimulai pukul 10 setiap harinya, dan pegawai lain belum bermunculan. Hanya Hamam yang terlalu rajin datang paling pagi dan pulang belakangan, bahkan libur pun dia masih sempat melongok ke laundry sebentar.

“Lo tahu gue suka jus kiwi,” kata Pramudya, dia memberikan potongan lain dari roti miliknya untuk Danish habiskan. “Gue harus sisain ruang buat jus kiwinya.”

Danish berdeham pelan, mendadak matanya tidak fokus. Dia juga bingung kenapa bisa hafal kegemaran gadis itu, Danish bahkan tidak pernah memperhatikannya.

Mereka sama-sama diam, seperti saat Hamam belum datang. Danish punya kegundahan yang dialaminya dengan Sayna sementara Dya sibuk dengan kemelut pikirannya sendiri tiap melirik ponsel dan melihat pesan yang dikirim seseorang.

Dia senang ada Hamam, merasa terhibur, Dya butuh seseorang seperti itu.

“Lo kasih Anya hadiah pas ulang tahun, kenapa gue nggak dikasih?” tanya Dya tiba-tiba. Teringat insiden gelang hadiahnya kemarin dengan Sayna.

“Gue nggak mungkin kasih hadiah buat orang yang berduka di hari peringatan kematian ibunya.”

“Gue justru butuh, buat penghiburan.”

“Gue cuma kasih Anya ciuman di pipi kanan.” Danish menatap gadis itu lekat, merinding kalau dia harus melakukan hal yang sama pada Pramudya juga.

“Kalau gitu gue minta sebuah pelukan,” jawabnya sambil menatap Danish datar. “Bisa, kan? Itu hadiah yang cocok buat hari ulang tahun bertepatan dengan peringatan kematian.”

“Sekarang?” tanya Danish tak percaya.

“Tahun depan.” Pramudya buru-buru mengibaskan tangan, duduk bersandar dan menatap ponselnya lekat-lekat. Sejak tadi dia melakukan itu kalau Danish perhatikan, bahkan saat masih ada Hamam, matanya melirik ponsel terus-terusan. “Hadiah ulang tahun gue, tahun depan. Sekarang sih udah telat.”

“O...ke.”

“Lo kenapa sama Sayna?”

“Ha?”

Tentu saja Pramudya peka. Memangnya apa yang membuat Danish galau setengah mati, kehilangan arah, kehilangan selera marah-marah, selain Sayna? Tidak ada. Hidup pemuda itu hanya seputar kuliah, laundry dan kekasihnya.

“Gue... nggak tahu.” Harusnya Danish menjawab tidak apa-apa, tapi pada Pramudya, dia tidak bisa. Jelas Danish dan Sayna ada apa-apa, meski tidak tahu itu apa. Yang jelas keadaan jadi aneh sejak kegiatan mereka malam.

Sayna yang aneh, dia aneh sejak dua minggu yang lalu dan lebih aneh lagi setelah mereka bertemu. Danish hanya bertanya—sambil menikmati kegiatan mereka, dari mana Sayna belajar hingga semahir itu saat mengulum kemaluannya?

Lalu tiba-tiba, push... dia langsung berubah, seperti orang yang hilang arah. Sayna bahkan tidak mengizinkan Danish mengantarnya ke Bandung dengan alasan akan diantar oleh ayahnya.

“Putus aja kenapa? Cari yang baru.”

Danish terkesiap. “Lo gila? Ngasih saran begitu amat.”

Pramudya menyengir. “Ya, habisnya galau terus. Memang nggak capek, Nish?”

Capek? Tentu saja. Tapi itu semua terbayar begitu melihat senyum Sayna, Pramudya tidak mengerti konsepnya, dia itu fuck girl, tidak setia.

Danish tidak ingin jadi cerdas mendadak. Tapi informasi yang diberi Sayna padanya seperti potongan puzzle dan harus dikumpulkan. Mulai dari sikapnya yang aneh, masalahnya dengan Gio dan... keahliannya yang mendadak mahir kemarin. Pasti tidak ada hubungannya, kan? Mana mungkin sih, Sayna mengkhianatinya. Danish percaya.

Ayo, enyahkan pikiran seperti itu dari kepala!

“Dya...” panggil Danish sambil mendadak memajukan tubuh dan bisa ikut melihat apa yang ada di layar ponsel gadis itu. “Hei, ini kan—”

Dia berusaha mengingat, foto seorang pria, dengan... istrinya? Terlihat seperti istrinya menebak dari roman dan usia di wajah mereka. Tapi pria itu, bukankah pria berjas putih yang mengobrol dengan Pramudya di pesta ulang tahunnya?

“Dya, itu siapa?” tanya Danish memastikan sekaligus tidak bisa menahan rasa penasaran. Tangannya menarik paksa ponsel Pramudya dan dengan cepat membaca pesan-pesan yang masuk ke sana.

“Danish!”

“Lo jangan gila!” Danish meneriakinya, dia menahan ponsel Pramudya. “Dia udah punya istri, lo jangan lebih gila dari ini, Pramudya.”

Dya tidak bisa berkata apa-apa. Dia merasa seperti sedang dimarahi oleh kakaknya.

“Balikin hp gue,” ujarnya dingin. “Nish...”

“Nggak!” Danish bahkan punya niat untuk melenyapkan benda pipih itu. “Lo mau ngapain ketemuan di hotel sama cowok itu?”

Di hotel, dengan seorang pria, tentu saja Danish tahu apa yang akan dilakukan Pramudya, dia hanya memastikannya. Gadis itu ternyata lebih gila daripada yang bisa dia duga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status