Share

Janggal Sekali

Pramudya mengerjap pelan saat merasakan cahaya yang masuk lebih daripada satu jam lalu. Sekarang sudah lebih terang, tirai kamarnya terbuka lebar, pasti salah satu dari dayang-dayang Dinara yang melakukannya. Dia tidak suka. Tapi apa boleh buat, ini bukan rumahnya, dia harus ikut peraturan yang ada di sana.

“Lho, ada kamu toh?” Sapaan pertama dia dengar dari Pradnya ketika membuka pintu kamar.

“Kamu ngapain? Bukannya jalan sama pacarmu?”

“Besok aku ke Solo,” jawab Pradnya acuh tak acuh. “Kamu kok tumben nginep? Bukannya Sabtu jadwal sama Mas Gum?”

Dya menyeringai, dia bahkan lupa kalau urutan kencannya di hari keenam adalah Gumelar, tapi Anya punya ingatan yang lebih bagus, dia sering tak sengaja mengingatkan itu.

“Aku habis dari Puncak, tapi Danish ngadu ke Mas Arya dan aku disuruh pulang malam-malam. Baru sampai sini jam 2 pagi.”

Anya terkikik, wajah saudarinya saat mengisahkan itu tampak jengkel setengah mati, dia pasti dikerjai lagi oleh Danish. Yang tidak diketahuinya adalah Arya murka sebab Dya pergi ke Puncak dengan teman-teman Danish tanpa pemuda itu di dalamnya, jelas Arya khawatir, Dya bahkan belum akrab dengan mereka, sudah sembarang pergi saja.

“Jadi apa jadwal Presiden kita hari ini?” tanya Anya. Mereka berkerumun di tablet yang tersedia, melihat rincian jadwal sang keponakan—anak sultan, yang meski masih bayi tapi sudah punya schedule tertata.

“Dia free jam 10, kita bisa ajakin main sampai jam 11.”

Sebab sekarang jadwal bayi itu adalah spa, berenang, sarapan, dan melakukan banyak tetek bengek dengan tiga pengasuh cerewet super protektif yang tidak ada habisnya.

Dua gadis kembar itu turun ke lantai tiga, tempat kakak dan ipar mereka tinggal, siap merecoki apa saja yang ada di sana, termasuk mengacaukan jadwal harian keponakannya. Namun begitu keluar dari lift yang berada di ruang tamu, keduanya dikejutkan oleh kehadiran Danish dan Sayna. Anya langsung menaikkan sebelah bibir begitu melihat mereka, diam-diam menjuluki Danish dan Sayna sebagai couple haram.

“Lo balik jam berapa?”

“Dya, kalau ada yang nyebelin ajak gelud aja.”

Suara Anya menyahuti Danish dan memberi semangat pada saudarinya sambil menepuk-nepuk pundak gadis itu. Dia sangat tidak suka pada Sayna dan terang-terangan menunjukkannya, Anya tidak tahan berada di sana, dia segera pergi dari hadapan mereka semua.

“Jam dua,” jawab Pramudya sambil melirik sekilas pada Sayna meski dia sedang menjawab pertanyaan Danish.

Danish menaikkan alis, tidak terlalu peduli sebenarnya, hanya dia merasa perlu bertanya saja. “Udah, pergi sana,” usirnya pada Pramudya.

Bukan Pramudya namanya jika dia tidak bersikap menyebalkan. Gadis itu terang-terangan membantah dengan duduk di seberang Danish dan Sayna sambil menaikkan sebelah kakinya. Seolah sedang melancarkan aksi balas dendam atas kelakuan Danish semalam.

“Apa lihat-lihat?” Sayna baru mengeluarkan suara. Sebenarnya yang paling aman adalah tidak bicara sama sekali saat berada di tempat yang sama dengan si kembar, tapi jika salah satunya menyodorkan diri untuk diajak baku hantam, apa boleh buat, kan?

“Hari ini jadwal gue dan Anya ngasuh Irya.”

Sayna memutar bola mata. “Bisa ngalah nggak sih? Gue jarang-jarang ketemu Irya, sebulan sekali juga enggak.”

“Ya, memangnya lo siapa?” Dya membuang muka. Sikap tidak tahu diri Sayna karena punya kedudukan sebagai pacar Danish patut diacungi jempol memang. Dia bahkan merasa memiliki Irya hanya karena Dinara bersikap baik padanya. Merasa dirinya penting untuk Irya.

“Dya...” Danish menegurnya. “Kita punya satu jam, masing-masing ngajak main 30 menit aja.”

Tidak ada jawaban, Pramudya lebih suka menatap Sayna lekat-lekat.

“Tunggu...” Sayna menginterupsi keduanya. “Itu gelang yang ada di mobil Danish, kan? Gelang buat hadiahnya Mbak Dinar?”

Sontak saja Danish dan Dya melirik ke arah yang Sayna tuju, pergelangan tangan gadis itu. Ada benda tipis melingkar dengan bandul huruf D sebagai pemanisnya. Gelang yang sengaja Danish beli untuk Dya sebagai ucapan terima kasih, dan disalahpahami oleh Sayna. Tapi mengingat track record mereka yang tidak terlalu baik, Danish tentu saja panik.

“Kenapa memang?” Dya memutuskan untuk mengulur jawaban. Dia paham reaksi dan ekspresi nyaris ingin mati di wajah Danish.

“Gue yang harusnya nanya, kenapa lo pake gelangnya Mbak Dinar?”

“Suka-suka gue dong, dia kakak ipar gue,” jawabnya cuek. Walaupun jengkel dan tidak suka pada Sayna, tapi Dya tetap tidak mau pasangan itu bertengkar karena dirinya. Dia paham keadaan ini, tahu cara menutupinya. Meski begitu, matanya mendelik pada Danish, kenapa bisa-bisanya pemuda itu membuat kebohongan soal gelang Dinara yang diberikan pada Dya?

“Orang kaya bisa nggak tahu malu juga, ya?” sindir Sayna.

“Apa sih? Gelang jelek aja!”

Pradnya muncul dari arah dapur dengan mug putih besar di tangan, sementara satu tangan yang lain dia pakai untuk menarik gelang Pramudya hingga putus lalu melemparnya jauh ke belakang. “Lo ributin gelang? Ghue bisa beli sama pabrik-pabriknya, nggak usah heboh mulut lo!” cecar gadis itu pada Sayna.

Itu gelang Dinara, kan? Sayna hanya bertanya, dan kenapa dua gadis kembar sombong itu justru merusak dan membuangnya?

Anya duduk di sebelah Dya, tepat di seberang Danish dan Sayna, menatap pasangan itu dengan wajah bengis, siap untuk konfrontasi berikutnya.

“Lain kali, beli barang yang berkualitas,” sindirnya sengaja—pada Danish tentunya. Bodoh sekali karena membeli sesuatu untuk ulang tahun Dya tapi harus membohongi pacarnya yang seperti singa. Dasar Danish tidak peka!

Danish membuang muka, sementara Sayna masih kuat saling tatap—nyaris bunuh, dengan Anya. Masa lalu mereka karena insiden kopi tumpah itu membuat Anya tidak pernah bisa berbaik-baik pada Sayna. Padahal yang terkena tumpahan kopi di sana adalah Pramudya.

“Jahat banget lo buang gelangnya Mbak Dinar.” Sayna mulai mencecar. “Itu hadiah dari adiknya.”

“Iya, ghue jahat. Terus kenapa?” balas Anya. “Padahal sendirinya enak, kalau mau lihat setan tinggal ngaca. Nggak punya kaca? Mau ghue beliin, ha?”

“Anya!”

“Nggak tahu diri,” ujar Pradnya belum ingin berhenti. “Ghue sebagai istri pertama yang disia-siakan nggak terima ya madu ghue diperlakukan begitu tadi. Lo cuma pacar—selingkuhannya Danish, harus tahu diri!”

Pradnya memang ada unsur tidak warasnya. Membuat Danish pusing hingga geleng-geleng kepala.

Sayna tertawa mengejek. “Siapa istri pertama? Lo? Haha!”

“Oh, baru tahu, ya? Ya ampun, Sayna ke mana aja? Kok Danish nggak kasih tahu? Eh, ups.. kan lo cuma pacarnya, ya. Pacar itu abis dipake tidur terus ditinggal begitu aja. Beda statusnya sama kita berdua.”

“Heh, mulut lo dijaga!” Sayna jelas tidak terima. “Mulut lo derajatnya masih di bawah pantat, ya? Pantat aja kalau mau kentut mikir dulu, mulut lo main sembur aja nggak ada rahangnya.”

“Buodo amat ya, Sayna! Mulut punya ghue, hidup juga hidup ghue, kenapa lo yang jadi sutradaranya?”

“Heh, udahan kenapa sih kalian?”

“Lanjut aja. Udah lama kita nggak baku hantam.”

“Dya!”

“Di... itu anak-anak kamu yang empat ribut lagi. Tolong dilerai dulu, berisik banget suaranya sampai ke sini.”

“Dya, Anya, Danish, Sayna...”

Keempatnya langsung diam begitu si empunya rumah mengeluarkan suara dan merasa terganggu atas kegiatan mereka.

“Lo sih!” Danish melotot pada Pramudya, padahal yang bertengkar sejak tadi adalah Anya dan Sayna.

“Heh—”

“Apa perlu mbak ke sana?” tanya Dinara yang suaranya terdengar sayup-sayup dari ruang keluarga.

“Nggak perlu, Mbak....” jawab keempatnya serempak.

Lalu Anya menyeret Dya untuk meninggalkan Danish dan Sayna berdua. Mereka pergi ke ruangan lain, sementara Sayna berduaan dengan Danish dan kembali tidak mengeluarkan suara seperti sebelumnya.

Benar kata Dya barusan, meski melelahkan dan menjengkelkan, Sayna juga rindu kegiatan adu mulut hingga baku hantam mereka bertiga—Danish tidak termasuk. Sebab sejak dua gadis itu pergi, suasana jadi canggung lagi, Danish dan Sayna tidak baik-baik saja karena kejadian di hotel semalam. Kegiatan keduanya terganggu akibat pikiran yang berkelebat di kepala Sayna. Perasaan rendah diri dan rasa bersalahnya mendominasi.

Sulit sekali mengenyahkan Giovanni dari kepala.

Dan yang membuat Sayna semakin merasa bersalah adalah, ternyata dia menikmatinya, tubuhnya mendamba, dia terbayang atas yang Giovanni lakukan pada tubuhnya. Dan ingin Danish memberikan penebusan atas itu semua.

“Kenapa sih?” Dya menarik paksa tangannya yang diseret Anya ketika mereka sampai di pantry, cukup jauh dari jangkauan orang-orang. “Kenapa gelangnya dibuang?”

“Jangan dicari lagi!” Anya memperingatkan. “Nanti Sayna curiga sama Danish terus mereka berantem lagi gimana? Kasihan Danish.”

Dya manggut-manggut, Anya ada benarnya juga, lebih baik cari aman saja. Mereka memang tidak suka pada Sayna, gadis itu jelmaan iblis betina, tapi kalau Danish bertengkar dengannya, dia bisa stres ala orang putus cinta. Anya dan Dya tidak tega melihatnya.

“Lagian kok ya gelang Mbak Di dikasihin ke kamu, toh? Bikin ribut aja.” Anya menggerutu pelan. “Aku kira itu hadiah ulang tahunmu.”

“Aku nggak tahu.” Dya mengangkat bahu.

“Jangan dicari lagi. Sayna itu gila, kalau dia konfirmasi ke Mbak Di, Danish bisa mati.”

“Kenapa mati?”

Dua gadis kembar itu terperanjat saat mendengar suara Sayna di belakang mereka. Dia memang sudah dianggap keluarga oleh Dinara, bebas pergi ke mana saja tanpa merasa segan atau tidak sopan.

“Nih!” Dia menyodorkan gelang putus itu pada Pramudya, tergeletak tak jauh dari ruang tamu. “Benerin, terus lo balikin ke Mbak Dinara,” ucapnya pelan.

Sayna mulai berpikir, apa mungkin gelang itu memang hadiah Danish untuk Dya? Karena Pramudya meski memiliki inisial P lebih sering dipanggil Dya, yang inisialnya sama dengan Dinara. Terlebih, dia memang baru saja berulang tahun, bisa jadi itu memang kado dari Danish, kan?

Tapi kenapa hanya satu? Kenapa Anya tidak dapat hadiah yang sama?

“Sini, tak buang aja. Bikin ribut itu gelang!”

“Anya, jangan!”

Menyaksikan gadis kembar itu berdebat tentang gelangnya, Sayna mulai merasa bahwa mungkin itu benar-benar dihadiahkan Danish untuk Pramudya.

“Kenapa sih kalian berdua kelabakan terus sama gelang itu?” Sayna melipat tangan di dada. “Gue tadi cuma tanya. Gue nggak mikir apa-apa, tapi kalau reaksi kalian aneh begini ya gue nggak bisa buat nggak curiga.”

“Curiga aja. Kerjaan lo ke Danish itu cuma curiga!” Pradnya menjawab cepat, tapi setelahnya dia pergi dengan cepat juga, Dya ditinggal berdua dengan Sayna.

Reaksi yang benar-benar aneh. Ada apa sebenarnya? Apa ada sesuatu antara Danish, Pradnya dan Pramudya? Pramudya jelas menyukai Danish, tapi apakah dia punya harapan?

“Dya,” panggil Sayna saat tidak ada siapa-siapa lagi di sana. “You desserve better.”

Pikirannya sedang tak keruan, tapi Sayna ingat dengan jelas bagaimana Danish memperlakukan Dya. Buruk sekali. Sangat tidak benar. Dya pantas dapat yang lebih baik.

“Better than Danish?” tanya gadis itu tenang. “Sure, tapi kalau gue mau jadiin dia yang terbaik, gue nggak butuh yang lebih baik. Lo juga, Sayna.”

Maksudnya?

“Lo bisa jadi yang terbaik buat Danish sampai dia nggak butuh yang terbaik versi lainnya. Jadi berhenti ngucapin hal konyol kayak gitu terutama ke gue karena nggak akan mempan.” Dya menyentuh bahu Sayna dengan telunjuknya. “Nggak ada manusia yang sempurna, Sayna. Lo nggak akan nemu orang yang 100% cocok sama lo, itu kenapa ada yang namanya toleransi. Stop talkin’ about people desserve better with her life like a bullshit.”

Sebenarnya Pramudya tidak tahu Sayna sedang memperingatkannya dalam rangka apa. Yang jelas dia geram sekali dengan kalimat itu, dan sialnya Sayna menjadi pelampiasan. Tidak apa-apa, semoga gadis itu sadar bahwa Danish dan dirinya sudah cukup baik untuk satu sama lain. Dya tidak mengerti dengan konsep desserve better yang sering bergaung akhir-akhir ini.

Bukankah membangun sebuah hubungan berarti berkompromi dengan ekspektasi? Buat apa terus berpikir bisa dapat yang lebih baik lagi?

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status