Share

Eksekusi

“Teh, Ibu nikah sama Ayah pas umur 30 tahun,” kata ibunya waktu itu. “Jadi punya anaknya agak telat, apalagi Ayah sebentar lagi pensiun. Ibu bakal sendirian bertempur buat biaya kuliah Teteh. Yang prihatin ya, Nak? Ibu mau Teteh menikah selesai kuliah profesi, biar ibu tenang, perjuangan ibu sama Ayah kelihatan hasilnya.”

Tahun depan Ayah pensiun dari pekerjaannya, dan beberapa hal bisa jadi berbeda. Keluarga Sayna bukan pengusaha kaya atau keturunan konglomerat seperti Adiswara dan Ranajaya. Mereka bahkan tidak punya nama belakang yang keren, yang dipakai oleh seluruh keturunan generasi berikutnya. Keluarga Sayna hanya orang biasa, hidup berkecukupan, keduanya bekerja dan mengabdi pada negara.

Namun masa abdi itu memiliki masa aktif, dan ketika tenaga serta abdinya tidak dibutuhkan lagi, beberapa kompensasi dicabut, tidak didapatkan lagi. Sayna bisa membayangkan bagaimana sulit dan beratnya Ibunda berjuang seorang diri membayar kuliah di kedokteran yang tidak sedikit.

Jadi, karena beberapa pertimbangan itu, di sinilah dia sekarang. Berdiri mematung di depan seorang pemuda setengah telanjang sebagai konsekuensi karena meminta bantuannya. Sayna tidak punya pilihan lain, ini hari yang berat dan mendesak untuknya. Mungkin terdengar seperti sedang menceburkan diri dan basah sekalian setelah terkena cipratan air. Itu mungkin tidak benar, tapi dia bisa apa?

“Kamu pasti sering sama Danish, kan? Kakak tahu kok, Say.” Giovanni tersenyum miring, ingat sekali beberapa pertemuan dengan sepasang kekasih itu saat mereka keluar dari hotel-hotel mewah. “Kamu harusnya nggak perlu diajari lagi kalau begitu.”

Sayna berdeham dan menundukkan kepalanya. “Aku harus gimana?”

“Kenapa nggak kirimin foto aja, Say? Atau video gitu, biar kakak yang kerja.”

Gadis itu tersenyum miring. Apa Gio pikir dia bodoh? Sayna tahu itu justru lebih berisiko. Foto dan videonya akan disebar dan dijadikan ancaman terus-terusan. Nama baiknya dipertaruhkan. Kalau ibu dan ayah tahu, habislah dia.

“Ya udah kalau nggak mau.”

SRAK!

Sayna terkesiap ketika melihat orang itu—di hadapannya, menurunkan celana yang dia kenakan. Jantungnya memompa darah lebih cepat, dia berdebar hebat. Ingin lari, tapi Gio lebih pintar karena sudah mengunci seluruh aksesnya untuk kabur.

“Kamu tahu kalau berdiri kayak gitu aja nggak akan bikin kakak horny, kan?”

Gio mendekatinya, hanya satu benda yang menempel di tubuh pemuda itu. Matanya terpejam saat wajah Gio dan napasnya yang berbau mint menyengat indera penciuman. Dia memang benar-benar berniat untuk mencabulinya, Gio penuh persiapan, sempat-sempatnya menelan permen penyegar napas.

“Ja—jangan pegang,” tahan Sayna buru-buru, tangannya memegang bahu Giovanni. “Aku buka, kakak lihatin aja, seperti perjanjian kita.”

Sebelah bibir Gio tersungging naik. “Oke,” ucapnya. Dia pun tidak sudi menyentuh orang yang jelas-jelas tidak menginginkannya. Gio hanya butuh bantuan untuk berfantasi.

Satu persatu, kancing kemejanya dibuka, Sayna setengah mati menahan tangis, selain wajah kedua orangtuanya saat ini bayang-bayang Danish mulai menghantui kepala. Dia merasa berdosa setengah mati, kendati mereka sering tidur bersama. Tapi ini berbeda, Giovanni bukan siapa-siapa, bukan orang yang diinginkannya.

Sayna harus menahan diri untuk tidak melakukan apa-apa selama orang di hadapannya mengerang dan menatap cabul pada bagian tubuhnya yang terbuka. Dia tampak sibuk, alias tidak ada tindakan lainyang bisa dilakukannya. Tidak ada alat perekam, kamera atau apa pun, Sayna sudah benar-benar memastikan.

“Ini... bakal agak su...sah...” Giovanni dan suaranya yang menjijikkan kembali terdengar. “Bantu, Say... semalam udah heboh banget pas kakak sendirian. Ngebayangin diisap sama kamu... hhh...”

Dia pasti sudah gila, terjebak dalam situasi seperti sekarang tidak pernah sama sekali terbayangkan. Sayna sudah terlalu bodoh untuk ukuran manusia manapun.

“Ayo, Sayna...” Suara Giovanni menggodanya. Presensi pemuda itu mendekat, bahu telanjangnya bersentuhan dengan bahu Sayna yang terbuka. Dan selanjutnya tidak perlu dibayangkan, dada Sayna yang terbuka merekat dengan seseorang yang bukan siapa-siapanya, bukan orang yang dicintainya. Dan erangan Giovanni di telinga semakin membabi buta.

Sayna tersudut, sejak tadi punggungnya lekat dengan dinding, dia terjebak, tidak bisa ke mana-mana. Giovanni menuntun tangannya untuk memegang—meremas sesuatu di bawah sana. Dia meracaukan nama Sayna berulang-ulang. Gadis itu sudah bersimbah air mata, namun Gio sudah tertutup kabut berahinya sendiri. Dia tidak punya akal sehat, tidak peduli. Bagaimana sikap Sayna padanya, itu urusan nanti.

Menjamah tubuh gadis itu adalah yang paling dia inginkan saat ini.

“Say, kamu udah nggak perawan, kan?” Gio menyeringai. “Pasti sering dipake sama pacar kamu.” Ucapannya bersamaan dengan remasan di salah satu dada Sayna. “Kayaknya dipake sekali sama kakak nggak akan kentara, nggak akan kerasa sama dia.”

Bajingan. Sayna mengumpat dalam hatinya.

“Kamu tahu, ini udah biasa sebenarnya. Jangankan sama kating ganteng kayak kakak, teman-teman kamu yang lain pasti udah berkali-kali diajak main sama dosen demi perbaikan nilai, Say. Dan dosen-dosen tua itu, kamu tahu kan... err... buncit, bau.” Giovanni membuat tawa yang mengerikan. “Kamu beruntung.” Dia merentangkan kedua tangan, seolah tubuh telanjangnya adalah anugerah yang harus disyukuri oleh Sayna.

“Jangan nangis, Sayang... kamu imut banget tahu, nggak?”

Sudah berapa menit yang terbuang? Sayna pening karena terus merasa gamang. Dia sudah dijamah meski tidak benar-benar dimasuki seperti yang Danish lakukan. Sudah basah, tinggal tercebur saja sekalian agar bisa langsung bersih-bersih setelahnya.

“Aku harus gimana, Kak?” tanya Sayna menahan getar di ujung tenggorokan. “Jangan sentuh...” pintanya, merujuk pada helaian kain yang masih menempel erat di sekitar kaki.

“Kamu bisa bikin puas tanpa disentuh, kan? Silakan.”

Gadis itu memejamkan mata, air di wajahnya banjir dan keluar semena-mena. Pikirannya tidak keruan. Dia turun, menumpu tubuh dengan lutut untuk melakukan sesuatu. Hal yang menjijikkan. Yang pada Danish pun... tidak pernah dia lakukan.

Sayna bekerja keras dan mengabaikan rasa sakit, ngilu, sesak di seluruh bagian kepala. Racauan itu benar-benar seperti mimpi buruk. Mungkin mirip dengan panggilan kiamat. Sayna ingin muntah saat Gio mengerang hebat.

Dan mengabaikan rasa tidak keruan yang sibuk menggeluti pikiran, dia buru-buru menarik plastik di benda yang Gio kenakan untuk langsung diamankan.

“Kamu hebat, Sayna. Sekarang kaka tahu kenapa Da—”

BUGH!

Sebuah tendangan melesat dan mendarat di bawah dagu Giovanni, berasal dari kakinya. Sayna masih mengancingkan kemeja saat kakinya melayang ke wajah pemuda itu. Dia sudah melakukan hal yang bodoh, Sayna keterlaluan, dia mengaku. Tapi dia berjanji tidak akan memberi Gio kesempatan lagi, dalam hal apa pun.

“Lo tahu apa bedanya lo sama anjing?” tanya gadis itu setelah urusannya selesai. Dia berdiri di atas Giovanni yang telanjang dan kedapatan mengerang kesakitan. Sebelah kaki Sayna ada di dadanya. “Nggak ada. Lo kan anjingnya,” geram gadis itu dengan amarah menggelegak.

“Sayna!”

BUGH!

Gadis itu kembali melakukan serangan. Kendati kakinya lemas bukan main, tapi untuk pemegang sabuk hitam taekwondo, tenaga Sayna masih sangat bisa diperhitungkan. Hal yang sejak awal ingin sekali dia lakukan, dia tahu terjebak dengan Gio tidak baik, dan ini adalah puncak dari segala hal yang dia pendam selama ini. Sayna sangat mampu menghajar Gio sejak tadi andai dia mau, tapi... buat apa diperlakukan cabul dan tidak mendapat apa-apa setelahnya?

Dia sudah basah, jadi tercebur pun tidak apa-apa.

“Fuck! Buat semua pikiran kotor yang lo imajinasikan diam-diam ke gue selama ini!” Sayna kembali melakukan pukulan bertubi.

“Sok suci.” Suara Giovanni masih berani-beraninya terdengar saat tubuhnya sudah terkapar.

“Gue memang sok suci, gue memang sering ngewe sama cowok gue, itu karena dia cowok gue. Kalau bukan sama dia, gue nggak sudi.”

Sayna menekan—meremas ujung tubuh pemuda itu, bergerak brutal di dadanya, melakukan cakaran hingga meninggalkan bekas luka. Membalas dendam atas apa yang Gio sudah lakukan—pada tubuhnya, barusan. Memberi tahunya bahwa itu sama sekali tidak menyenangkan. Itu menyakitkan. Karena Gio bukan kekasihnya, semua berbeda andai Danish yang meminta. Sayna akan melakukan segalanya.

“Silakan, teruskan. Gue cuma tinggal ke rumah sakit buat visum semua bekas kekerasan ini.” Gio menyeringai, sudut bibirnya berdarah. Dia tidak melakukan perlawanan, padahal sangat bisa melakukannya. Pasti sengaja, agar Sayna bebas melakukan serangan.

Bekas pukulannya tentu bisa dijadikan bukti untuk diadukan ke pihak kepolisian.

“Masih berani mikir gitu, ya? Lo yakin masih gue biarin hidup sebelum gue keluar dari sini?”

“ARGHHH!”

Giovanni memekik hingga ada kegaduhan di luar pintu kamarnya. Cengeng sekali dia. Sayna hanya meremas benda di selangkangannya keras-keras. Kalau bisa dia pecahkan dua telur menggantung itu sekalian.

“Burung lo kecil, Kak. Nggak ada setengahnya dari punya cowok gue.” Dia menyeringai senang, puas karena selain kesakitan, harga diri Giovanni juga terluka.

“Lo bakal nyesel, Sayna!”

“Gue nyesel karena nggak ngelakuin hal ini sejak lama.” Gadis itu memelototi pemuda yang meringkuk di bawahnya. “Lo nggak tahu gimana muaknya gue selama ini terjebak hubungan sialan bareng lo. Sekarang gue nggak peduli.”

Dia tidak peduli reputasinya lagi. Sayna tidak peduli bahwa dirinya tidak akan dapat bantuan apa-apa lagi. Dia akan berusaha sendiri, kendati itu tidak mudah.

Sekarang dia hanya lega karena mengakhiri hubungan kotornya dengan Giovanni. Meski caranya sangat salah hingga Sayna tidak tahu bagaimana cara memaafkan dirinya sendiri. Terutama karena mengkhianati hubungannya dengan Danish selama ini. Dia melakukan hal yang sangat kotor hari ini. Sayna tidak tahu bagaimana caranya agar dia diampuni.

To be Continued.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status