“Nish, tahan....”
Sayna mendengar suara erangan tertahan dari kekasihnya yang dalam hitungan detik akan menjemput bola. Ini sudah kali kedua mereka mencoba, Danish bahkan minum obat penguat agar bisa kembali bermain setelah mendapatkan jatah wajib tiap minggunya.
“Nish, angkat!”
“Argh!”
Danish berhenti bergerak, napasnya tersengal-sengal, kakinya nyeri, nyaris kram. Sayna ingin dia orgasme dua kali dalam kurun waktu beberapa jam. Mungkin bisa, nafsunya masih membara, tapi tubuh Danish lelah. Dia belum istirahat sejak menyetir dari Jakarta ke Bandung, malah langsung bersenang-senang.
“Capek?” tanya Sayna pelan. Jemarinya menyusuri punggung dengan kulit yang amat lembut, wangi parfum Danish bercampur keringat membuat Sayna berdebar-debar. Padahal ini bukan kali pertama untuk mereka.
“Sebentar.” Danish berbisik pelan di telinga gadisnya. Dia suka kegiatan ini, hal yang dinanti-nanti tiap jadwal kencan mereka seminggu sekali. Tapi Danish lelah, kakinya kebas saat ini, padahal tinggal sebentar lagi, satu hentakan lagi.
Sayna mengerti, tangannya berpindah menelusuri leher, naik ke kepala dan meremas helaian rambut Danish yang berkilau serta lembut karena baru saja menerima treatment dari salon. Dia senang karena Danish tidak membiarkan rambut keritingnya lebih lama.
“Cakep banget sih, Nish.” Sayna berbisik lirih, ketika netra mereka bertemu dan jarak keduanya amat dekat, lekat, rapat. Danish dalam jarak yang sedikit justru semakin memesona. Tulang hidung dan lubang hidungnya indah, berada tepat di atas Sayna. Gadis itu menarik sedikit helaian rambut kekasihnya demi merapatkan bibir mereka.
“Cantik,” balas Danish lembut. “Yang paling cantik di dunia,” ucapnya merujuk keindahan di bawah sana. Wajah bulat yang mungil dengan mata cokelat dipayungi alis melengkung sempurna. Indah sekali, Sayna-nya.
Dia turun, menyusuri rahang hingga titik kecil kecoklatan di leher gadisnya, memberi kecupan di sana, tempat kesukaannya. Sama seperti Sayna yang suka pada tanda coklat di leher kirinya, gadis itu memiliki tanda yang sama. Di leher depan, di tengah-tengah antara tulang selangka, di atas dada. Indah. Danish sangat menyukainya.
Sayna melenguh, ketika Danish menyapukan hangat di sana, bergerak membuainya, memuja dalam diam, suara mereka teredam. Pegangannya terlepas, berubah menjadi tautan erat, mengisi kosong di antara sela jari, lalu mengerang tak henti-henti. Gerakannya mulai tak terkendali.
“Nish, i love you...” Sayna meracau, seolah memberi motivasi. “Nish, di situ...” Dia mengerang lemah, melenguh pasrah, menyerahkan diri, memancing kekasihnya bergerak dengan seluruh tenaga terkerah. Menyatukan ujung terluar tubuh berkali-kali, tak kenal henti.
“I love you more... Sayna....” Danish meracaukan namanya, dia bergelora.
“Nish, tahan...”
“Fuck!”
Danish mengumpat, sementara Sayna di bawahnya tidak bisa berbuat apa-apa. Tenaganya tidak seberapa dibanding orang yang tengah menggagahinya. Dia tidak sanggup mendorong Danish menjauh agar tidak melakukan pelepasan di dalam sana—lagi. Tapi sekarang apa mau dikata, semuanya sudah terlanjur, Sayna merasakan hangat mulai menjalari sela kakinya. Tidak ada yang bisa diselamatkan di sana.
“Nanti...” Danish bergumam lirih. “Di ronde ketiga, gue janji.”
Dia juga mengatakan hal yang sama terakhir kali.
Sayna bisa apa? Dia tidak mungkin marah disaat seperti ini, suasananya tidak mendukung. Dirinya senang berada di bawah pemuda itu, terkukung.
“Yang ketiga langsung pakai kondom, ya?” bujuknya lembut. Sayna membiarkan Danish tetap di dalamnya lebih lama, dia tahu pemuda itu menyukainya. “Cuma butuh 1 klep aja kok, Sayang.”
Danish merona jika mendengar Sayna dengan suaranya yang menggoda. “Kita coba, ya.” Meski dia sendiri tidak yakin bisa mendapatkan pelepasan atau tidak saat mengenakan benda itu untuk memasuki Sayna.
Janjinya di percobaan kedua Danish akan mengeluarkan cairannya di luar tubuh, tapi tidak bisa, dia tidak pernah bisa melakukannya. Berapa kali pun Danish mencoba, dia selalu bablas, ingin bebas tanpa batas.
“Kalau gagal terus, coba main sendiri aja, Nish.”
Danish mengernyit, tangannya menopang tubuh, menatap gadis polos tanpa sehelai pun benang di bawahnya. “Gimana caranya?”
“Sambil nonton.” Sayna mencicit pelan. “Atau... sambil liatin foto gue.” Wajahnya merah hingga ke telinga, dan Danish tertawa.
“Belum pernah, tapi ayo kita coba,” janjinya.
Sepasang manusia baru dewasa itu melepas tautan tubuh mereka dan pergi ke kamar mandi untuk masing-masing membersihkan diri. Tidak bisa berdua karena kalau itu terjadi bisa-bisa ronde ketiga dimulai lebih awal daripada seharusnya. Jadi setelah keduanya masing-masing berpakaian kembali, mereka terlantang di tempat tidur berukuran super besar itu.
Hotel yang dipilih Danish hari ini tidak jauh dari kosan Sayna, jaraknya beberapa ratus meter saja, mereka bahkan bisa jalan kaki ke sana. Memang sengaja karena pagi nanti—hari Sabtu, Sayna harus pulang dulu. Bersih-bersih, memeriksa jadwal ke kampus akhir minggu, baru sorenya jalan-jalan lagi. Dia ingin ke Lembang seperti rencana mereka minggu lalu.
“Akhir bulan kayaknya gue pulang ke rumah, kita ketemu di sana aja, ya? Nggak usah ke Bandung.”
“Gue jemput.” Danish sigap menjawab, tangannya bergerak memeluk gadis itu. “Jangan pulang sendiri.”
“Gue dijemput sama Ibu.” Sayna tersenyum saat ujung hidung mereka beradu. Wangi tubuh Danish menguar, enak dihirup, menggoda kewarasannya. “Jadi Ibu sama Ayah ke Sumedang dulu, nanti lewat sini buat bawa gue pulang.”
“Oh, gitu...” Danish merasa lega karena ternyata Sayna pulang dengan orangtuanya. “Nanti gue main ke rumah.”
“Gue juga mau main ke rumah lo. Kangen sama Tante Melia.” Gadis itu menyuruk di lehernya, menggoda Danish dengan endusan pelan di sana, memuja tiap inchi kulit dan tanda kecil coklat favoritnya. “Kangen sama Bolu, anak kita.”
Danish tertawa, saking sibuknya mereka berdua, seringkali bahasan soal Bolu terlewat begitu saja.
“Mama nanyain terus, katanya kangen sama lo.” Meski Melia pun sebenarnya menanyakan Arvin, Herdian, Hamam tidak karena mereka sering bertemu, Sayna serta Pradnya dan Pramudya. Teman-teman dekatnya.
“Gue juga kangen sama Tante, pengen ngajak masak bareng kayak waktu itu.”
Sayna pasti tidak tahu, ibunya tidak sesenggang itu. Selalu ada pria setengah baya datang ke rumah, dan mereka banyak menghabiskan waktu untuk mengobrol di ruang tengah. Tampak sangat seru, sangat sibuk dengan dunianya yang baru. Kadang pria itu baru akan pulang menjelang subuh.
Sayna tidak tahu, Danish belum cerita pada siapa-siapa soal itu. Bahkan Arvin atau Hamam sekalipun.
“Nish, ada apa?” tanyanya peka mendapati Danish tidak bereaksi ceria—seperti yang seharusnya.
Danish hanya menggelengkan kepala, dia belum siap menceritakan hal itu pada siapa-siapa. Dia tahu bahwa pemikirannya keliru, sikapnya tidak baik, tapi Danish tidak mau, dia tidak mau ayah yang baru. Dia tidak butuh itu. Dia punya kakak laki-laki sejak Dinara menikah, Arya baginya sudah seperti orangtua, kakak ipar, saudara, ayah angkat, segalanya. Jadi, itu saja sudah cukup.
Namun Sayna, pasti punya pemikiran yang berbeda. Sayna bisa mengatakan hal-hal masuk akal untuk menyadarkannya, dan saat ini Danish tidak mau sadar. Belum. Nanti.
“Ada kaitannya sama obrolan kita Jumat minggu lalu?”
“Nggak kok.” Danish tersenyum kecil. “Nggak ada apa-apa.”
Sayna mengerjap, dia harus menanyakannya sendiri pada Melia. Akhir-akhir ini reaksi Danish selalu berbeda jika topik mereka mulai melebar ke keluarga. Dan selain Dinara, yang dia miliki hanya Melia. Jadi pasti tidak salah lagi.
“Besok jalan-jalan, ya? Kangen banget jalan sama lo, Sayang.”
Danish tersipu. “Oke, mau ke mana? Ke Lembang kayak rencana kita waktu itu?”
“Iya.”
“Kita cari villa, ya. Nginep di sana.” Danish bisa merasakan kepala Sayna mengangguk. “Kelonan aja, nggak usah ke mana-mana, jalan-jalan itu capek, nanti kakinya sakit, Sayna.”
“Ih, kaki gue nggak kenapa-napa.” Sayna mengerang tak terima. Dia ingin melihat hijaunya pemandangan The Lodge Maribaya, atau duduk di dekat Curug Maribaya, makan di restoran terkenalnya dengan kaki yang basah terkena genangan air terjun di sana. “Kaki gue itu sama kayak lo sebenarnya.”
“Oh, ya?” Danish menaikkan alis. “Sama di mananya?”
“Sama-sama nggak bisa bikin gue melangkah kalau kehilangan keduanya.”
“Dih, gombalnya nyebelin banget demi ngajakin jalan-jalan.”
“Ah, Danish... ya? Ya? Ya?”
Danish tidak gampang tergoda atau merona. Mungkin karena dia makin dewasa, beberapa hal sudah tidak lagi sama.
“Nish, boleh minta tolong nggak?”
“Apa?” tanya Danish sigap.
“Jangan nyerah perjuangin gue, ya?” Sebab Sayna tidak bisa kehilangan dia. Sayna tidak tahu seperti apa hidup ini tanpa Danish di dalamnya. Dia mau Danish tidak menyerah, seperti apa pun keadaan mereka. Seperti apa pun Sayna membuatnya tersiksa.
“Nish?”
“Iya.”
****
Danish melamun saat mengingat kembali percakapannya dengan Sayna tadi malam. Aneh sekali rasanya mendengar gadis itu bicara begitu. Meminta yang tidak-tidak, seolah dia akan melakukan sesuatu. Semoga saja tidak, semoga itu hanya perasaannya.“Gue tahu kok, kalau gue egois banget selama ini. Maaf, ya? Mulai sekarang kita main adil, lo juga bisa berlaku sama ke gue, Nish. Maaf karena gue terlalu mencekik lo selama ini.”Berlaku adil itu, bagaimana? Danish tidak punya orang yang membuatnya bergantung seperti Gio pada Sayna. Dan dia memakai istilah mencekik, bukan lagi mengekang atau mengukung. Sayna menyadari bagaimana kerasnya hubungan dan peraturan mereka selama ini. Dia bilang, ajaib sekali Danish bisa bertahan selama itu. Dia pasti tidak tahu sebesar apa Danish menyukainya.Lalu maksud Sayna itu apa?Kalau Sayna mau Danish memperlakukannya sama seperti dia memperlakukan Danish selama ini, sudah pasti hubungan mereka tidak akan bertahan lama.
Minggu berlalu dengan cepat setelah pagi-pagi sekali Danish dan Sayna harus pulang dari Lembang. Sementara kekasihnya meneruskan perjalanan hingga ke Jakarta, Sayna berada di kamar kosnya. Sejak sampai hingga malam hari dia tidur nyenyak sekali. Sudah jelas kecapaian, karena kegiatan yang dihabiskan dengan Danish bukan main. Sayna kelelahan.Kendati yang, em.... lebih banyak bergerak adalah pemuda itu, tetap saja sebagai objek yang dituju Sayna pun merasa capek, lemas dan letih. Berat badan Danish sepertinya naik akhir-akhir ini, dia makin berat saja saat bertumpu di atasnya.Ibunda: Teh, jangan lupa sarapan, ya. Ibu doakan apa pun yang Teteh jalani hari ini lancar.Sayna melihat ke luar jendela kamarnya, masih gelap, dia yakin ibunda pasti baru selesai beribadah dan langsung menghubunginya di awal minggu ini. Tidak ada drama bangun kesiangan Senin pagi karena minggunya Sayna tidur nyenyak sekali. Dia menggeliat bangun, memotret dirinya sendiri lalu mengirim fot
“Gue pengen pergi,” gumam pemuda itu pelan dengan kelopak mata yang terbuka perlahan. “Gue nggak suka dia ada di sini.”Danish melirik ke samping, Pramudya duduk seperti patung hidup di sebelahnya, tidak memberi reaksi apa-apa.“Tiap dia ada, gue nggak mau pulang.” Danish menambahkan, kendati Pramudya mungkin tidak mengerti apa maksudnya. “Tapi Mama suka banget sama orang itu, Dya.”Dan perasaan ibunya tidak bisa dicampuri, Danish tahu dengan pasti.“Dya...”“Ayo pergi!”“Gue nggak betah kalau dia ada di rumah.”“Jangan pulang.”Entah kenapa, meski itu terdengar tidak baik, Danish tersenyum dibuatnya. Dya memberikan hal-hal yang ingin Danish dengar. Sejujurnya, Danish tahu dia harus bagaimana, bersikap seperti apa, menerima keadaan dan membiarkan ibunya bahagia. Tapi nanti. Saat ini, dia hanya ingin dibenarkan oleh seseorang, dibela,
Hujan deras mengguyur siang menuju sore hari itu. Danish yang awalnya hanya berencana mengajak Pramudya membeli pakan Bolu terpaksa harus meneduh lebih dulu. Mereka pergi ke laundry Melia terdekat dari komplek perumahan, ada Hamam dan para pekerja di sana, mereka tidak berduaan selama menanti hujan. Danish memeriksa ponsel, tidak ada pesan dari Sayna seharian—selain tadi pagi untuk menyemangatinya.Dia rindu. Kenapa tetes hujan selalu membuat suasana menjadi sendu? Padahal baru kemarin mereka bertemu.“Bahasa Jawanya apa tuh? Kan kalau Sunda Neng, Dya maunya dipanggil apa?”Danish melirik Hamam yang suaranya sayup-sayup ditelan angin dan hujan di luar sana, deras sekali. Dia jadi membayangkan yang tidak-tidak, apa yang dilakukan ibunya bersama seorang pria di rumah? Danish jelas tahu kalau Melia rindu belaian dan sentuhan. Dia mengerti itu, usianya 20 tahun sekarang.“Dya aja.” Suara Pramudya baru terdengar kendati H
“Teh, Ibu nikah sama Ayah pas umur 30 tahun,” kata ibunya waktu itu. “Jadi punya anaknya agak telat, apalagi Ayah sebentar lagi pensiun. Ibu bakal sendirian bertempur buat biaya kuliah Teteh. Yang prihatin ya, Nak? Ibu mau Teteh menikah selesai kuliah profesi, biar ibu tenang, perjuangan ibu sama Ayah kelihatan hasilnya.”Tahun depan Ayah pensiun dari pekerjaannya, dan beberapa hal bisa jadi berbeda. Keluarga Sayna bukan pengusaha kaya atau keturunan konglomerat seperti Adiswara dan Ranajaya. Mereka bahkan tidak punya nama belakang yang keren, yang dipakai oleh seluruh keturunan generasi berikutnya. Keluarga Sayna hanya orang biasa, hidup berkecukupan, keduanya bekerja dan mengabdi pada negara.Namun masa abdi itu memiliki masa aktif, dan ketika tenaga serta abdinya tidak dibutuhkan lagi, beberapa kompensasi dicabut, tidak didapatkan lagi. Sayna bisa membayangkan bagaimana sulit dan beratnya Ibunda berjuang seorang diri membayar kuliah di kedokt
“Keterlaluan!”Sayna langsung menggigil ketika suara itu menyentak gendang telinganya. Bukan hanya kaget, dia juga ketakutan. Baru kali ini dia merasa sangat tersudut, tidak mampu membela diri sama sekali, tidak mau.“Lo nggak tahu apa aja yang udah gue lakuin buat bertahan, Sayna.” Pemuda itu terengah dengan wajah dan mata yang memerah. “Gue bahkan... saking nggak maunya ngasih Dya celah, sering jahat sama dia.” Napasnya terengah. “Demi lo,” lanjutnya. “Cuma lo satu-satunya.”Gadis itu semakin menundukkan kepala, dia kira menggigil hanya karena ketakutan, tapi ternyata Sayna juga sangat kedinginan, padahal tidak sedang hujan. Dia tentu ingat beberapa waktu yang lalu, saat keluarga Danish panik mencari keberadaan Pramudya usai ditinggal begitu saja demi segera menemui Sayna. Danish tidak hanya asal bicara, dia membuktikan dengan tindakan bahwa kesetiaannya tidak boleh diragukan.“Maaf, Nish
Jhare sopo aku nggak iso, jhare sopo aku nggak iso? Eyeliner-ku nggak roto lho, terus opo’o?Makeup-ku jan uaneh yet my friends say, hiiiii... apike!Raimu raiku do whatever you wanna doBuenci pol body shamming jan garai cryingGendat gendut kura kuru lambemu lambemuI love my body and... you should tooSiji loro telu Hi, all i love you!Suara Pradnya diiringi hentakan musik ketika menyanyikan kembali lirik andalan dalam lagu Pretty Real menggema di seluruh ruangan. Malam ini adalah pesta ulang tahun si kembar, suasana kediaman Ranajaya begitu meriah. Tamu sudah berdatangan sejak sore, sementara si empunya acara hanya terlihat salah satunya saja. Saudari kembarnya justru baru kembali dari halaman belakang rumah, lapangan golf pribadi keluarga, mengendarai Boogy, menerobos masuk ke ruang pesta, masih mengenakan pakaian kasualnya.
Hamam telah mengubah subjek dari “Berkat Doa Ibu” menjadi “HBD RAFID” Rafid: Selamat ulang tahun buat gue...Arvin: Ikan hiu makan tomat, hahaha tua amat!Hamam: AJG!Herdian: Heh, dateng-dateng langsung ngomong kasar lo. Jempol tuh dididik dulu ngapa?Hamam: AJG (Astagfirullah Jangan Gitu)Danish: Baru tahu gue *laughHamam: Ngumpul kuy, biar bos gue yang traktir.Danish: TAI!Hamam: TAI (Tak apa, Aku Ikhlas)Herdian: Ngarang banget lo, setan *laughArvin: Kuy, kapan kumpul? Pada ke Bandung aja, gue siapin villa. Kalian berangkat bareng Danish.Rafid: Gue sih lagi pengen dinner dulu sama cewek gue minggu ini, tapi masalahnya gue nggak ada duit. Sue banget ul