Galih menggeleng pelan. "Gue pusing," jawabnya singkat.
Mau tidak mau Davin mengambil kertas yang disodorkan Galih. Dia bisa apa, jika para sahabatnya saja tidak ada yang mau. Jika bukan karena penasaran dengan isinya, dia tidak akan mau. Karena dia sendiri juga merasa cukup pusing.
"Hai-hai, aku harap kalian masih sehat sampai permainanku selesai," ucap Davin membaca kalimat yang menjadi pembuka.
"Halo, Orang Gila," balas Luna yang balik menyapa dengan wajah malasnya.
Davin hanya bisa mengusap dadanya sabar dengan tingkah sahabatnya itu. Ingin sekali dia memukul kepala Luna yang tidak pernah benar. Dia sudah memasang wajah serius dan ditambah dengan suasana yang menegang, eh dengan bodohnya Luna malah membalas sapaan si pelaku.
"DIa memang pandai menyembuhkan rasa sakit yang dirasakan Orang lain, tetapi tidak dengan aku. Tidak terlalu terkenal bukan berarti anak baik. Aku membencinya, karena tidak ada kata teman di antara kami," lanjut Davin
Halo, Kakak-kakak, happy reading ❤️ Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komen yaa biar aku makin semangat.... Sayang kalian 🤗
Mereka yang mendengar pertanyaan Bella pun saling pandang dan menggeleng pelan dengan kompak. "Kurang tahu juga, Bel. Kita aja enggak tahu motif dia melakukan ini apa, jadi ya kita cuma bisa berdo'a aja semoga kita bukan targetnya," jawab Davin apa adanya. Di dalam hati Bella mengiyakan perkataan Davin yang benar adanya. Mereka belum menemukan petunjuk apa pun tentang si pelaku. Karena surat sebelumnya hanya berisi kata-kata tentang Alvin dan Bima. Mereka di sini hanya bisa mengikuti alur dan tidak bisa memilih. Hanya ada dua kemungkinan, target atau bukan. "Gal, lo kenapa diam aja?" tanya Luna menatap Galih dengan mata yang memerah karena menahan kantuk. "Enggak papa," jawab Galih singkat yang membuat Luna mendengkus kesal. "Kayak cewek aja lo. Ditanya kenapa jawabnya enggak papa, padahal mah ada apa-apa," ketus Luna. Galih hanya diam dengan mata menatap Luna tajam.
"Ini diacak," lanjut Galih. Melihat tatapan bingung dari para sahabatnya, dia menghela napas pelan. Jika bukan karena keadaan yang mendesak, dia tidak akan mau berdiskusi dengan mereka yang cukup menyebalkan. Ternyata yang benar-benar pintar di sini hanya dirinya. "Enggak mungkin ada yang namanya iok. Ini diacak supaya kita mikir dan enggak mungkin juga sebuah clue semudah itu. Kita harus cepat, entah itu dari otak atau fisik. Karena, jika kita telat sedikit saja maka nyawa taruhannya," jelas Galih lalu mengambil napas. Tenggorokannya terasa kering karena berbicara lumayan panjang. "Kalau diacak jadi apa? koi?" tanya Luna ragu. "Itu nama ikan," sahut Maya membuat Luna tersenyum lebar. Bella terdiam dengan mata terpejam, berusaha menggali ingatannya tentang nama teman sekampusnya yang terdiri dari tiga huruf, yaitu i, o dan k. "Iko!" seru Bella membuka matanya dan tersenyum senang karena bisa menemukan nama orang itu. "D
Jika seorang ibu yang biasanya lemah lembut lalu angkat bicara dalam keadaan emosi, maka seorang anak tidak bisa berkutik lagi. Tidak ada yang dapat dilakukan selain diam dan mendengarkan. Sama halnya dengan Bella, sedari tadi dia hanya duduk dengan kepala menunduk. Mendengarkan semua ucapan Mamanya yang sedang marah. Bella takut jika Papanya marah, tetapi lebih takut lagi saat Mamanya yang marah. Apalagi melihat air matanya yang menetes seiring dengan bertambahnya emosi, membuat dadanya terasa sesak. "Apa yang ada di pikiran kamu, Bella? Kenapa kamu melakukan hal senekat ini?" tanya Mama Dea tidak habis pikir. Bella tidak menjawab, tetap pada posisinya yang menunduk. "Kamu pikir dengan melakukan hal kayak gini, kamu jadi jagoan? Apa kamu enggak mikirin perasaan mama sama Papa?" tanya Mama Dea lagi seraya menghapus air matanya yang tiba-tiba mengalir. Sakit rasanya saat anak yang sela
"Iya, karena kalian enggak akan pulang kalau enggak penting," jawab Galih santai yang tanpa sadar menyentil hati Bunda Elsa. "Kalau sudah tahu kenapa kamu bikin ulah? Kamu tahu 'kan, kalau waktu kami sangat berharga?" tanya Ayah Ethan. Galih terkekeh kecil. "Tau. Bahkan saking berharganya kalian sampai enggak peduli sama aku." "Bicara apa kamu, Galih? Kami peduli sama kamu. Enggak ada orang tua yang enggak peduli sama anaknya," sahut Bunda Elsa dengan suara yang sedikit meninggi. Tentu saja dia tidak suka dengan kalimat yang dilontarkan anaknya itu. Bagaimana bisa, Galih berbicara dengan enteng kalau dia dan suami tidak peduli? "Bukannya pekerjaan lebih penting daripada anak?" Wajah Galih kembali datar dengan tangan terkepal. Brak! Ayah Ethan memukul meja dengan keras. "Kami bekerja juga untuk kamu. Kalau bukan karena kerja keras kami, hidup kamu en
"Daripada Papi marah lebih baik do'ain Luna. Pi, kalau bukan karena nyawa orang lain yang sedang terancam, Luna juga enggak akan masuk ke dalam hal berbahaya gini. Sekarang, hanya kami yang bisa memecahkan kasus ini, Pi," sahut Luna panjang lebar. "Kenapa harus kalian? Ada pihak polisi 'kan yang lebih pengalaman?" tanya Mami Lila heran. Masih berat rasanya untuk membiarkan anaknya terlibat dalam hal mengerikan. Apalagi pelaku itu sudah menghilangkan dua nyawa dalam waktu dua hari. "Karena kami mempunyai clue, Mi," jawab Luna jujur. Baiklah, tidak ada cara lain selain jujur daripada orang tuanya terus menyidangnya dan itu membuat pergerakan mereka terhambat. Raut terkejut terlihat begitu jelas di wajah kedua orang tua Luna. Bahkan Papi Fathee langsung menatap mata anaknya intens, berusaha mencari kebohongan tetapi nihil. Wajah dan tatapan Luna begitu serius. "Ka - lian da - pat dari mana?" tanya Papi Fathee terbata-bata karena masih terkejut.
Bella dan yang lain menoleh ke kanan dan kiri jalan, berharap Iko masih berada di sekitar sini. Meskipun banyak kendaraan yang lewat, tetapi tidak menyurutkan semangat mereka untuk menemukan laki-laki itu. "Vin, Iko pakai baju apa dan ciri-cirinya gimana?" tanya Maya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. "Pakai kemeja sama topi warna putih. Dia juga bawa tas," jawab Davin membasahi bibirnya yang terasa kering. "Ke sana aja yuk! Siapa tahu dia ke sana," ajak Luna menunjuk ke arah kanan. Tanpa membuang waktu mereka mulai berjalan ke kanan dengan perasaan yang semakin tidak karuan. Bahkan Bella melupakan pertengkarannya dengan orang tuanya dan pergi tanpa pamit. Yang ada di pikiran mereka saat ini hanya Iko, Iko dan Iko. Laki-laki pendiam yang sangat susah mereka temukan dan sekalinya bertemu, mereka justru kehilangan jejak. Brak! Suara seperti or
"Lebih cepat, sebelum kita keduluan sama polisi," celetuk Galih tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel yang menampilkan video kecelakaan tadi. Setelah Galih mengatakan bahwa Iko meninggal, mereka bergegas menghampiri tempat kejadian yang sudah terdapat beberapa polisi. Iko memang meninggal dikarenakan hantaman dari mobil yang begitu kuat. Ditambah kepala bagian belakangnya terhantam pembatas jalan. Awalnya Bella ingin mendatangi rumah Iko. Rasa bersalahnya begitu besar. Namun Galih dan Davin melarang, lebih tepatnya menunda. Karena yang lebih penting sekarang adalah mencari bukti untuk petunjuk selanjutnya. Dan ya, mereka meminta rekaman cctv dari toko yang berada di depan tempat kejadian. Ini gila, benar-benar gila. Di dalam cctv tersebut, sebuah mobil taksi yang menabrak Iko memang sengaja. Pasalnya, mobil yang awalnya berada di sebelah kanan tiba-tiba berbelok ke kiri, tepat posisi jalan Iko dan langsung menabrak dengan kecepatan penuh.
Gerakan tangan Luna yang akan membuka pintu mobil terhenti saat matanya tidak sengaja melihat ke seberang jalan. Dia memaksa otak kecilnya untuk berpikir, berusaha mengingat siapa laki-laki yang tengah menatapnya itu. "Lo yakin pernah mencium aroma itu?" tanya Maya entah yang ke berapa kali. Rasa penasarannya menggebu-gebu. Pasalnya Bella tidak terlalu suka parfum, tetapi tadi tiba-tiba berkata bahwa aroma itu tidak asing. Galih memasukkan tangannya ke saku celana. Tatapannya tidak lepas dari wajah Bella. "Coba lo ingat-ingat lagi. Di mana dan siapa yang pakai parfum kayak tadi." "Sayangnya gue lupa. Gue sama sekali enggak ingat, tetapi gue benar-benar enggak asing sama aromanya," ungkap Bella menggaruk pelipisnya kesal. "Yaudah kalau enggak ingat, mau gimana lagi. Lebih baik sekarang kita pulang aja dulu. Untuk masalah Iko kita lanjut nanti kalau udah istirahat." Davin membuka suara saat melihat Maya