"Iya, karena kalian enggak akan pulang kalau enggak penting," jawab Galih santai yang tanpa sadar menyentil hati Bunda Elsa.
"Kalau sudah tahu kenapa kamu bikin ulah? Kamu tahu 'kan, kalau waktu kami sangat berharga?" tanya Ayah Ethan.
Galih terkekeh kecil. "Tau. Bahkan saking berharganya kalian sampai enggak peduli sama aku."
"Bicara apa kamu, Galih? Kami peduli sama kamu. Enggak ada orang tua yang enggak peduli sama anaknya," sahut Bunda Elsa dengan suara yang sedikit meninggi.
Tentu saja dia tidak suka dengan kalimat yang dilontarkan anaknya itu. Bagaimana bisa, Galih berbicara dengan enteng kalau dia dan suami tidak peduli?
"Bukannya pekerjaan lebih penting daripada anak?" Wajah Galih kembali datar dengan tangan terkepal.
Brak!
Ayah Ethan memukul meja dengan keras. "Kami bekerja juga untuk kamu. Kalau bukan karena kerja keras kami, hidup kamu en
Yuhuu, double up nih.... Happy reading, Kakak-kakak ❤️
"Daripada Papi marah lebih baik do'ain Luna. Pi, kalau bukan karena nyawa orang lain yang sedang terancam, Luna juga enggak akan masuk ke dalam hal berbahaya gini. Sekarang, hanya kami yang bisa memecahkan kasus ini, Pi," sahut Luna panjang lebar. "Kenapa harus kalian? Ada pihak polisi 'kan yang lebih pengalaman?" tanya Mami Lila heran. Masih berat rasanya untuk membiarkan anaknya terlibat dalam hal mengerikan. Apalagi pelaku itu sudah menghilangkan dua nyawa dalam waktu dua hari. "Karena kami mempunyai clue, Mi," jawab Luna jujur. Baiklah, tidak ada cara lain selain jujur daripada orang tuanya terus menyidangnya dan itu membuat pergerakan mereka terhambat. Raut terkejut terlihat begitu jelas di wajah kedua orang tua Luna. Bahkan Papi Fathee langsung menatap mata anaknya intens, berusaha mencari kebohongan tetapi nihil. Wajah dan tatapan Luna begitu serius. "Ka - lian da - pat dari mana?" tanya Papi Fathee terbata-bata karena masih terkejut.
Bella dan yang lain menoleh ke kanan dan kiri jalan, berharap Iko masih berada di sekitar sini. Meskipun banyak kendaraan yang lewat, tetapi tidak menyurutkan semangat mereka untuk menemukan laki-laki itu. "Vin, Iko pakai baju apa dan ciri-cirinya gimana?" tanya Maya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. "Pakai kemeja sama topi warna putih. Dia juga bawa tas," jawab Davin membasahi bibirnya yang terasa kering. "Ke sana aja yuk! Siapa tahu dia ke sana," ajak Luna menunjuk ke arah kanan. Tanpa membuang waktu mereka mulai berjalan ke kanan dengan perasaan yang semakin tidak karuan. Bahkan Bella melupakan pertengkarannya dengan orang tuanya dan pergi tanpa pamit. Yang ada di pikiran mereka saat ini hanya Iko, Iko dan Iko. Laki-laki pendiam yang sangat susah mereka temukan dan sekalinya bertemu, mereka justru kehilangan jejak. Brak! Suara seperti or
"Lebih cepat, sebelum kita keduluan sama polisi," celetuk Galih tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel yang menampilkan video kecelakaan tadi. Setelah Galih mengatakan bahwa Iko meninggal, mereka bergegas menghampiri tempat kejadian yang sudah terdapat beberapa polisi. Iko memang meninggal dikarenakan hantaman dari mobil yang begitu kuat. Ditambah kepala bagian belakangnya terhantam pembatas jalan. Awalnya Bella ingin mendatangi rumah Iko. Rasa bersalahnya begitu besar. Namun Galih dan Davin melarang, lebih tepatnya menunda. Karena yang lebih penting sekarang adalah mencari bukti untuk petunjuk selanjutnya. Dan ya, mereka meminta rekaman cctv dari toko yang berada di depan tempat kejadian. Ini gila, benar-benar gila. Di dalam cctv tersebut, sebuah mobil taksi yang menabrak Iko memang sengaja. Pasalnya, mobil yang awalnya berada di sebelah kanan tiba-tiba berbelok ke kiri, tepat posisi jalan Iko dan langsung menabrak dengan kecepatan penuh.
Gerakan tangan Luna yang akan membuka pintu mobil terhenti saat matanya tidak sengaja melihat ke seberang jalan. Dia memaksa otak kecilnya untuk berpikir, berusaha mengingat siapa laki-laki yang tengah menatapnya itu. "Lo yakin pernah mencium aroma itu?" tanya Maya entah yang ke berapa kali. Rasa penasarannya menggebu-gebu. Pasalnya Bella tidak terlalu suka parfum, tetapi tadi tiba-tiba berkata bahwa aroma itu tidak asing. Galih memasukkan tangannya ke saku celana. Tatapannya tidak lepas dari wajah Bella. "Coba lo ingat-ingat lagi. Di mana dan siapa yang pakai parfum kayak tadi." "Sayangnya gue lupa. Gue sama sekali enggak ingat, tetapi gue benar-benar enggak asing sama aromanya," ungkap Bella menggaruk pelipisnya kesal. "Yaudah kalau enggak ingat, mau gimana lagi. Lebih baik sekarang kita pulang aja dulu. Untuk masalah Iko kita lanjut nanti kalau udah istirahat." Davin membuka suara saat melihat Maya
Mendengar ucapan Davin, sontak ketiga sahabatnya mengikuti arah pandangnya. Matanya membulat sempurna dengan tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering. Kecuali Galih yang memang sudah tahu. Perlahan Maya menoleh ke arah Bella dengan wajah khawatirnya. "Bel, gimana?" Bella tersadar dan langsung menormalkan raut wajahnya. Senyum manis terukir di wajah cantiknya. Berharap bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa khawatir sahabatnya. "Enggak papa, May. Gue pasti baik-baik aja. Semarah-marahnya orang tua gue, mereka enggak mungkin melakukan kekerasan," ucap Bella memenangkan. Mobil berhenti di depan gerbang rumah Bella, tepat di samping pria paruh baya yang memasang wajah datar dengan tatapan tajam. "Kabur aja yuk! Gue ngeri lihat tatapannya," ajak Luna cemas. Davin membalikkan badannya ke belakang. Tatapan teduh yang memancarkan kekhawatiran dia lemparkan kepada Bella. Senyum Bella semakin mengembang. Dia menatap sahabatnya sa
"Davin?" Mata Bella membulat sempurna saat melihat sahabatnya berada di balkon kamarnya. Dengan tergesa-gesa Bella membuka pintu balkonnya dan melangkah mendekati Davin. Sebelum kembali menutup pintunya, dia menengok ke belakang untuk memastikan kalau pintu kamarnya masih terkunci. "Lo ngapain di sini?" tanya Bella dengan suara sepelan mungkin. "Gue khawatir sama lo. Apalagi tadi bokap lo kayak yang marah banget," jawab Davin dengan suara yang tidak kalah pelan. Bella mengintip ke dalam kamarnya lalu menarik Davin untuk sedikit jauh dari tembok pembatas. "Astaga, Davin. Sekarang udah jaman modern, lo 'kan bisa chat atau telfon gue," ujar Bella menggeleng tidak percaya. Sumpah demi apa pun, saat ini jantungnya berdebar kencang. Bahkan tangannya sudah berkeringat dingin sangking takutnya. Nyali Davin patut diacungi jempol. Sudah tahu papa Dion sedang marah, tetapi masih nekat memanjat balkon. Astaga! "Gue enggak tenang kalau engg
Dengan langkah pelan tanpa menimbulkan suara orang bertopeng keluar dari ruangan. Rahangnya mengeras. Siapa yang telah berani menganggu kesenangannya? Dia harus musnah. Ya, karena selama ini tidak ada orang yang berani mendekati tempatnya. Baru sekarang dan parahnya lagi seorang perempuan. Sangat terdengar jelas dari suaranya. "Woi, lo hantu ya? Kok udah enggak ketawa lagi?" tanya orang dari luar. Lebih tepatnya di samping jendela ruangan, tempat orang bertopeng tadi. Tanpa takut dia mendekatkan wajahnya pada jendela, berusaha mengintip ke dalam ruangan. "Gelap banget, enggak ke-" Brak! Perkataannya seketika terhenti dengan tubuh yang mendadak kaku. Sebuah batu melayang tepat di dinding sebelahnya. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Alarm bahaya di otaknya berbunyi, menyuruhnya untuk segera pergi dari sini. Namun apalah daya, kaki dan seluruh tubuhnya seakan mati ra
Kening Bella dan Davin tampak mengernyit. Terlihat jelas bahwa keduanya sedang dilanda kebingungan. "Maksudnya Luna bukan pingsan di sini apa ya, Tan? Cerita detailnya gimana? Soalnya otak Bella panas nih." Bella meringis tidak enak membuat Mami Lila terkekeh kecil. "Tadi, waktu tante lagi arisan tiba-tiba dapat telepon dari bibi dan bilang kalau Luna pingsan. Tante panik dong, karena 'kan anak tante ini jarang sakit apalagi sampai pingsan. Tante takut dia sakit parah kayak di film-film gitu, makanya tante langsung telepon dokter," jelas Mami Lila penuh semangat. Sebisa mungkin Davin dan Bella menahan tawa melihat ekspresi dan cara bicara dari ibu sahabatnya itu. Luna adalah duplikat Mami Lila. Selalu semangat dan ceria. "Terus dokternya bilang, Luna cuma shock. Tante lega luar biasa, karena Luna enggak sakit parah apalagi sampai meninggal." Mami Lila mengambil napas sejenak. "Waktu tante tanya ke bibi, katanya, Luna ditemuin pingsan di dekat pembuang