Kening Bella dan Davin tampak mengernyit. Terlihat jelas bahwa keduanya sedang dilanda kebingungan.
"Maksudnya Luna bukan pingsan di sini apa ya, Tan? Cerita detailnya gimana? Soalnya otak Bella panas nih." Bella meringis tidak enak membuat Mami Lila terkekeh kecil.
"Tadi, waktu tante lagi arisan tiba-tiba dapat telepon dari bibi dan bilang kalau Luna pingsan. Tante panik dong, karena 'kan anak tante ini jarang sakit apalagi sampai pingsan. Tante takut dia sakit parah kayak di film-film gitu, makanya tante langsung telepon dokter," jelas Mami Lila penuh semangat.
Sebisa mungkin Davin dan Bella menahan tawa melihat ekspresi dan cara bicara dari ibu sahabatnya itu. Luna adalah duplikat Mami Lila. Selalu semangat dan ceria.
"Terus dokternya bilang, Luna cuma shock. Tante lega luar biasa, karena Luna enggak sakit parah apalagi sampai meninggal." Mami Lila mengambil napas sejenak. "Waktu tante tanya ke bibi, katanya, Luna ditemuin pingsan di dekat pembuang
Happy reading ❤️
Davin mengangguk kecil mengiyakan saran Galih. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat rumah mana yang gerbangnya buka. Namun nihil, semuanya tertutup rapat. Bahkan tidak ada satu orang pun yang berkeliaran. "Di sini sepi banget sih, kayak komplek kosong," gumam Davin pelan tetapi masih dapat didengar yang lain. Maya ikut melihat sekitar. Di dalam hatinya dia mengiyakan perkataan Davin. Semakin lama di sini dia semakin merasa tidak nyaman. "Galih, lo ngapain? Kalau ada yang lihat entar kita dikira mau maling," celetuk Bella yang sedari tadi melihat Galih berkutat dengan gembok. Galih menoleh kemudian mengangkat tangannya yang memegang gembok. "Anjir, lo ngapain? Galih, kenapa lo copot itu gemboknya? Astaga, nanti kalau yang punya rumah tau bisa mampus kita!" seru Bella heboh membuat Davin dan Maya menoleh. Keduanya melongo tidak percaya. Bahkan matanya sudah
Melihat wajah Bella yang seakan bertanya siapa dirinya membuat laki-laki tersebut tersenyum tipis. "Kamu lupa sama aku?" "Ha? Em, maaf, apa kita pernah ketemu?" tanya Bella hati-hati. Pandangannya tidak lepas dari wajah tampan laki-laki di depannya. Berusaha mengingat apakah mereka saling kenal atau pernah bertemu, sampai laki-laki tersebut bertanya seperti itu. Namun nihil, Bella sama sekali tidak ingat. Bahkan dia merasa ini pertama kalinya mereka bertemu. "Ah, ternyata kamu sudah lupa. Enggak papa, enggak usah dipikirin. Sekarang kita kenalan aja," ucap laki-laki tersebut menyodorkan tangannya ke hadapan Bella. "Aku Gery." Bella menatap wajah dan tangan berurat laki-laki yang bernama Gery itu bergantian. Perlahan dia menjabat tangan Gery dengan diiringi senyum manisnya. "Gue Bella," balas Bella ceria. Senyum Bella menular kepada Gery. Dia merasa
Mereka masih terdiam, berusaha mencerna kalimat yang dilontarkan Bundanya Iko. Sedangkan Bella berpindah tempat ke samping Bunda Ina saat melihat wanita paruh baya tersebut semakin terisak. Tangannya bergerak pelan mengusap punggung Bunda Ina, berharap bisa membuatnya tenang. "Saya ... saya tidak sanggup hidup tanpa Iko. Dia anak saya satu-satunya," ucap Bunda Ina menutup wajahnya dengan telapak tangan. Tangisnya semakin keras, terdengar begitu pilu membuat hati mereka yang mendengarnya terasa sesak. "Tante, tenang. Ikhlasin Iko supaya dia bisa pergi dengan tenang," tutur Bella dengan suara bergetar menahan tangis. Bella saja yang hanya seorang teman tanpa pernah bertemu merasa sakit hati, apalagi Bunda Ina yang merupakan Ibunya. Terlebih lagi Iko anak tunggal. Hati orang tua mana yang tidak hancur? "Tante, apa Iko pernah cerita kalau punya musuh?" tanya Galih tiba-tiba yang mendapat tatapan tajam dari
Bukan hanya Bella, tetapi semua yang berada di dalam mobil ikut menoleh ke arah Maya. "Ternyata semuanya namanya Bella," sindir Maya mengalihkan pandangannya ke samping. Sedangkan yang disindir hanya menunjukkan senyum lebarnya. "Kenapa, May?" tanya Bella. Mereka kompak menyibukkan diri tetapi memasang telinga selebar mungkin. Sifat Maya yang galak dan susah ditebak membuat mereka merasa takut. Namun, rasa penasaran lebih mendominasi. Tidak ada cara lain selain mendengarkan dalam diam. "Sini!" titah Maya menyuruh Bella untuk mendekat. Meskipun bingung, Bella tetap menuruti perkataan sahabatnya. "Kenapa?" "Lo harus hati-hati. Gue enggak mau lo kenapa-napa," bisik Maya sepelan mungkin supaya hanya bisa didengar oleh Bella. "Lo keluarga gue, adik kesayangan." Luna yang kebetulan duduk sejajar dengan kedua sahabatnya pun berusaha mendekatkan diri. Kenin
Di sebuah kamar luas yang bernuansa hitam dan merah, terdapat seorang gadis yang sedang duduk termenung di atas ranjangnya. Dia adalah Maya, sahabat Bella yang paling tertutup. Tidak ada yang mengetahui bagaimana kehidupan Maya yang sebenarnya. Bahkan sahabatnya sendiri tidak ada yang mengetahui alamat rumahnya. Maya begitu tertutup. "Huft!" Sudah terhitung puluhan kali Maya mengembuskan napas lelah sejak dia duduk di atas kasur, satu jam yang lalu. "Tidur aja deh," gumamnya hendak merebahkan tubuhnya. Namun gerakannya terhenti saat mendengar suara ribut dari lantai satu. Prang! Maya terlonjak kaget saat mendengar suara pecahan. Mendengar suara yang begitu nyaring, dapat Maya pastikan bahwa benda itu bukan benda kecil seperti piring. Apa mungkin vas bunga? Tanpa mempedulikan niatnya yang ingin tidur, Maya bergegas turun dari ranjang dan berjalan men
Setiap orang memiliki cerita hidup yang berbeda. Begitu pula dengan permasalahan yang mereka hadapi. Entah dalam hal percintaan, persahabatan, atau bahkan keluarga. Bahkan, cara penyelesaiannya pun beragam. Ada yang memilih menyimpan lukanya sendiri dan berakhir bersikap biasa saja, seolah tidak memiliki beban apa pun. Ada juga yang berbagi kepada orang terdekat, mengeluarkan isi hatinya tanpa ragu. Sekarang, opsi pertama tersebut sedang dilakukan oleh Maya. Dengan senyum manisnya, dia bersenda gurau bersama para sahabatnya, seolah kemarin tidak mengalami hal buruk. "Asal kalian tau aja, gue ini banyak yang suka," kata Luna mengibaskan rambutnya sombong. Galih berdecak kesal seraya memutar bola matanya malas. Menurutnya, Luna adalah perempuan paling lebay yang pernah dia kenal. "Tapi sampai sekarang masih jomblo." Gerakan Luna yang mengibaskan rambutnya terhenti. Matanya melebar sempurna dengan hidung yang kembang kempis menahan kesal, membuat tawa Be
"Gue duluan," lanjut Galih yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban para sahabatnya. Suasana canggung meliputi meja tersebut. Apalagi dengan Galih yang memotong acara perkenalan Davin dan pergi begitu saja. Tidak lama kemudian, Maya pergi menyusul Galih yang entah ke mana. "Maaf ya, Ger. Mereka berdua emang gitu kalau sama orang baru," ucap Bella meringis tidak enak. "Enggak papa kok, Bel. Wajar aja kalau mereka gitu, karena ini juga salah aku yang tiba-tiba gabung sama kalian. He he akunya aja yang sok akrab sama kamu," jawab Gery tersenyum lembut membuat ketiga orang di depannya tertegun merasa bersalah. "Lo jangan diambil hati ya kelakuan mereka berdua. Gue yakin, besok Galih sama Maya udah bisa akrab sama lo," sambung Davin. Laki-laki dengan tahi lalat di dagu itu mengangguk dengan senyum lebarnya. Terlihat begitu manis sampai membuat Bella dan Luna terpana. "Daripada bahas dua orang datar itu, lebih baik kita
Setelah pitanya terbuka, Galih dapat melihat kalau di dalam masih ada amplop lagi. Bedanya, yang sekarang berwarna hitam dengan ukuran lebih kecil. Maya yang sudah sangat penasaran pun merebut amplop tersebut, lalu mengeluarkan isinya. Menurutnya, Galih terlalu lambat. Galih berdecak kesal melihat tingkah sahabatnya itu. Tidak sopan! Raut bingung tercetak begitu jelas di wajah Maya. Dia membagi tatapannya antara amplop hitam, Galih dan juga pintu masuk perpustakaan. Tanpa membuang waktu lagi, Maya membuka amplop tersebut yang ternyata tidak diberi perekat. Melihat raut wajah Maya yang berubah, Galih berpindah duduk menjadi di samping gadis itu untuk ikut membaca isi surat yang berada di dalam amplop hitam. Keduanya saling pandang dengan raut yang sulit diartikan. Selanjutnya, Maya dan Galih berjalan cepat menuju tempat yang disebutkan gadis culun tadi, seseorang yang menjadi pengirim surat ini.