Kami memasuki kedai tersebut. Dia memesan semua jenis panganan yang dijual di kedai tersebut."Banyak banget yang di pesan," kataku protes."Kau harus mencicipi semua, enak semuanya," katanya mengerling padaku.Tak lama pesanan datang, ada Pempek kapal selam, lenggam, tekwan dan berbagai bentuk pempek dan kuah cuka yang aromanya menggoda."Wah, apa dulu yang harus kumakan ini?" tanyaku dengan mata berbinar, wow makanan kesukaan hadir semua di depan mata."Coba dulu yang panas, nanti keburu dingin," katanya sambil menyodorkan semangkuk tekwan ditaruhnya sendok dan garpu ke mangkuk. Aku menikmati makan siangku dengan lahap. Tiga bulan di lokasi KKN tidak pernah menemui makanan itu. Mas Bayu hanya menatapku sambil tertawa, kalau soal makan aku tidak bisa ja'im di hadapan siapapun. Selama makan aku banyak bercerita, sedang dia mendengarkan sambil sesekali menimpali. Dia tidak banyak bercerita tentang kehidupannya, jika aku bertanya saja dijawab seperlunya. Aku hanya tahu dia bekerja di
"Lidiaaa!" panggil Rani berteriak histeris, aku kaget sampai cubitan di tangan Andre terlepas. Nampak Widya mengekor di belakangnya."Dari mana saja kamu? Dari semalam gak pulang?" tanyanya kemudian"Kau jadi ke rumah Bibik kau, Lid?" tanya Widya."Apa maksud, kalian?" Aku tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan."Hei, kau nginap di mana semalam gak pulang? Benar gak kata Widya kau ke rumah Bibik kau, Lid?" tanya Rani tambah berapi-api."Kalian ini ngomong apa, sih? Siapa yang gak pulang semalam?" tanyaku masih tidak mengerti."Kau itu pergi sejak kemaren siang, Lidia. Nih, baru pulang. Sudah sehari semalam kau dak pulang," kata Andre menjelaskan.Spontan kulihat HP-ku, di monitor menunjukkan hari Senin tanggal 7 Agustus. Padahal aku pergi hari Minggu tanggal 6 Agustus jam 10 siang. Haa? Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah di layar HP ini? Kalau benar berarti aku pergi selama sehari semalam, ah ... tidak masuk akal rasanya pergi selama itu. Aku nginap di mana, coba? Apakah
Sesampainya di Posko teman-teman menyambutku dan sekarung rambutan dengan antusias. Mereka berkumpul semua di Posko pesta makan rambutan. Kusisihkan dua plastik kresek untuk Nyai Rudiyah dan Pakdo Marlin. Aku pergi ke rumah Pakdo Marlin ditemani Rani. Kami bercengkrama di beranda rumah, Pakdo Marlin dan Makdo Halimah asyik memakan rambutan yang kubawa. Makdo Halimah sendiri menghidangkan pisang goreng dan lapek ubi. "Manis nian rambutannya, Lid!" kkata Makdo Halimah sambil menggigit buah rambutan. "Kenapa kau repot-repot nian belikan Makdo jilbab, Lidia ... elok nian jilbabnya, enak dipakainya," kata Makdo Halimah, jilbab yang kubeli sudah berada di kepalanya. "Iyo, kopiahnya pas pula di kepala Pakdo," kata Pakdo Marlin sambil meraba-raba kopiah di kepalanya. "Ai, Makdo nak ngasih apo yo? Oya, Lidia, Rani besok ajaklah kawan-kawan kau makan di sini, nanti Makdo masakin tempoyak ikan belido," kata Makdo Halimah. "Wah, cocok itu, besok kamis sore, yo?" kata Pakdo Marlin menimpali.
🖼🤵👰Kamis pagi kami membantu Makdo Halimah memasak untuk acara makan malam bersama. Anak-anak cowok fokus membuat panggung dan memasang tenda di halaman posko untuk acara perpisahan Sabtu besok dibantu oleh pemuda Karang Taruna. Pakdo Marlin ijin tidak masuk kerja."Pakdo, kok masang tenda di halaman?" tanyaku penasaran sambil melihat tukang tenda sedang bekerja."Nanti tamunya banyak Lidia, gak muat kalau di dalam rumah," jawabnya sambil menghitung tikar yang dipinjam dari para tetangga."Loh, emangnya Pakdo ngundang siapa saja? Bukan cuma kami, anak KKN?" tanyaku lagi, tidak menyangka Pakdo membuat acara yang cukup besar."Banyak yang Pakdo undang, Pak Camat, Datuk Kades, guru-guru SMA,SMP, SD. Semua pegawai kecamatan, pegawai Desa, Pengurus dan Anggota KUD. Semua warga RT sini," terangnya."Apa? Pakdo itu acara besar-besaran. Lebih seratus orang yang diundang, wah ... Pakdo, sumpah ... kami jadi dak enak hati, biayanya pasti banyak kan, Pakdo?""Aih, tenang saja Lidia ... Pakdo
Terdengar suara seseorang tengah membaca doa, para jamaah serentak menyahut dengan kata "Amiiin" disetiap jeda doa tersebut. Aku terbangun, sepertinya aku tengah tertidur di salah satu kamar Pakdo Marlin. Kulihat di lantai, Rani dan Widya tengah menengadahkan tangan ikut berdoa. Apakah aku tertidur di sini? Ah, tidak ... setelah melihat foto pria di sebelah Pakdo Marlin, aku langsung pusing, tiba-tiba pandanganku gelap. Sepertinya aku pingsan.Bayu Arya, benarkah dirimu adalah Aslan? Ini sungguh tidak masuk akal. Logikaku terus bekerja dan memastikan jika semua ini hanya kebetulan belaka. Siapa tahu Bayu Arya bukanlah Aslan, bisa jadi orang lain. Tapi kenapa wajahnya sama persis? Namanya juga sama Bayu Arya, cuma beda di tambah Bagindo di awal dan Aslan di akhir namanya. Bisa jadi Bagindo adalah nama gelar kebangsawanannya, sedangkan Aslan nama keluarganya. Jadi nama sesungguhnya adalah Bayu Arya. Aduh ... pusing kepalaku memikirkan ini.Jika dia Aslan tentu dia sudah tua, waktu Pakd
Para tamu berangsur-angsur pulang dari rumah Pakdo Marlin. Kami anak KKN masih bertahan di sini untuk membantu beres-beres. Anak-anak cewek segera ke belakang membantu mencuci piring dan menata perkakas masak dan makan. Anak-anak cowok membereskan tempat acara, menggulung tikar, terpal dan memunguti sampah. Aku mengawasi mereka dari beranda rumah, mereka benar-benar melarang aku membantu. Yah, aku hanya mengawasi mereka seperti mandor. Mereka tidak ingin aku kecape'an dan pingsan lagi. Tiba-tiba seorang pria paruh baya datang mencari Pakdo Marlin. Pakdo Marlin segera menemuinya. "Pakdo, keadaan Cepi sudah parah, tapi Bapaknya belum jugo balek, sebaiknya sekarang kita bawa ke Buya Amran sekarang," kata lelaki itu. "Kalau gitu, saya panggilkan Ustaz Soleh, ya? Biar ustaz Soleh yang ngantar ke Buya Amran, Ustaz Soleh akrab dengan Buya Amran. Pakwo, dah siapain mobilnya?" Kata Pakdo Marlin sambil mengeluarkan motornya dari bagasi di kolong rumah. "Sudah, Pakdo. Sayo lah dapat mobilny
Suara Azan Subuh lamat-lamat terdengar dari Masjid Raudatul Jannah. Aku segera bangkit menuju kamar mandi dengan langkah lesu. Segarnya air yang membasuh muka, telinga dan sebagian kepala membawa kesadaranku pulih sepenuhnya, kuguyur organ kaki dan memijat di sela-sela jarinya.Sebelum salat Subuh kubangunkan teman-teman, namun mereka sulit sekali untuk bangun pagi ini, sepertinya udara dingin di subuh ini yang tidak seperti biasanya membuat mereka lebih nyaman meringkuk dalam selimut. Baiklah, selepas salat nanti kubangunkan lagi. Selesai salat kuraih Alquran yang terletak di atas meja, kubuka surat ke 18, Al kahfi. Hari jumat terakhir di desa ini akan kuawali dengan bacaan surat Al Kahfi, semoga aku kuat menjalani hari-hari terakhir di sini, terutama dari peristiwa tidak terduga seperti yang sering kualami.Suasana hening ini membuatku lebih khusuk, lebih mendalami membaca ayat-ayat suci. Bahkan tiap ayat aku baca juga arti terjemahannya. Baru membaca ayat ke sepuluh, terdengar suar
"Jam berapa jenazah mau dikuburkan, Lastri?" tanya wanita pelayat kepada Mamaknya Cepi. "InsyaAllah nanti sebelum salat Jum'at, Wak," katanya, sepertinya air matanya sudah cukup terkuras, matanya bengkak, tapi Bu Lastri benar-benar tabah, dia tidak meratap sekarang. "Iyo, sabar kau yo, Las. Tak perlu kau pikir tentang selamatan, kami galo (semua) yang nak ngerjokan. Kau dak usah ngapo-ngapo, yo. Biaya juga nanti kami urunan ( iuran)," kata ibu pelayat tadi. Wah, sepertinya adat di sini tentang tradisi kematian bagus juga, tidak memberatkan keluarga si mayit yang tengah berduka. "Mokasih, Wak. Mokasih banyak,"kata Bu Lastri kepada ibu pelayat tadi "Sayo jugo nak bilang terima kasih sama adik-adik KKN," kata Bu Lastri. Spontan perkataan Bu Lastri membuat kami heran, buat apa Bu Lastri mengucapkan terima kasih pada kami."Maaf, Bu Lastri. Ibu berterima kasih untuk apa?" tanyaku, aku benar-benar heran, kenapa dia berterima kasih. "Ya, untuk bantuan kalian semua tadi pagi, saya pula