"Kau benar-benar dak tahu keberadaan laki-laki itu, Lid?" tanya Mamak di rumah, selepas salat Magrib berjamaah denganku. Bapak dan Andika pergi ke masjid."Kalau tahu aku gak mungkin kena TBC, Mak.""TBC? Bengek maksud kau?""TBC, singkatan tekanan batin cinta," kataku sambil melipat mukena dan sajadah."Ado-ado bae. Gagah nian apo orangnya, Lid? Kerjo di mano orangnyo?" tanya Mamak penasaran kayaknya"Gagah sih, Mak. Dulu dio kerjo di WWF." "WWF itu apa?""Kayak lembaga konservasi hutan gitu.""Ooo. Pantasan kau dak mau Mamak jodohin sama Fadli." Aku mendelik mendengar perkataan Mamak. "kalau orangnya gak ada juga percuma, lupakan saja dia, berusaha membuka hati untuk orang lain," lanjutnya"Lidia sudah berusaha melupakannya setahun ini, Mak. Coba Mamak do'akan Lidia, jika memang jodoh Lidia, mohon pada Allah untuk dipertemukan, jika tidak mohon untuk dienyahkan perasaan ini. Do'a ibu kan mustajab, Mak," kataku sambil memegang tangan Mamak."Iyo, pasti Mamak do'akan. Tapi, jika dala
Aku melangkah dengan dada berdebar, hari ini hari pertamaku bekerja di sebuah perusahaan finance kendaraan bermotor. Setelah naik ojek selama 15 menit akhirnya sampai juga di sebuah ruko yang dipakai untuk kantor. Sepertinya kantor ini baru buka, aku melangkah ke meja resepsionis, seorang wanita cantik menyambutku dan langsung membawaku ke ruang Manager, di sana duduk menungguku seorang pria berumur sekitar empat puluh tahunan dengan busana rapi, dialah Manager kami."Mbak Lidia Khairunnisa?" tanyanya"Benar, Pak," jawabku sopan, sambil menangkupkan kedua tangan di dadaku."Oh ya, saya Abdurahman, Manager di sini. Mbak Lidia bekerja di staf keuangan, selama tiga bulan masih dalam posisi magang, ya. Setelah tiga bulan baru kami evaluasi, layak diangkat jadi karyawan tetap, kontrak atau tidak kami pakai sama sekali," katanya tegas berwibawa, aura sebagai pimpinan benar-benar terpancar dari wajahnya."Baik, Pak. Saya mengerti," kataku mengangguk dengan sopan."Oke, kalau begitu silahkan
Pulang kantor kali ini tidak seperti biasanya, aku sudah ngabari Mamak kalau pulangnya jam 7.30 malam. Di halaman kantor, Andika sudah menunggu untuk menjemputku. Sesampainya di rumah, kuserahkan amplop gaji pertama untuk Mamak."Nih, Mak. Gaji pertama Lidia."Mamak hanya mengamati amplop itu tanpa membukanya."Besok siang kami dari kantor mau jalan-jalan ke pulau Mentawai di Sumbar, habis ini mau nyusun baju, semua karyawan di suruh ikut semua sama pak Bos." "Wah, enak nian jalan-jalan, Yuk. Andika boleh ikut, dak?" kata Andika menatapku dengan tatapan penuh haràpan."Kau nak bikin malu Ayuk kau? Kerja masih magang sudah bawak personil ngarep gratisan pulak," kataku sambil menjewer telinganya."Auuh, kalau dak boleh, tinggal bilang bae. Ngapolah pakai jewer segàla, sakit tahu!" pekiknya sambil menepis tangànku."Kalau kau nak jalan-jalan, bawalah duit gaji kau ni. Tidak usah kau bagi Mamak," kata Mamak sambil menyerahkan amplop itu kembali. "Gaji Lidia dua juta, Mak. Lidia bawa 500
Tiba-tiba tempat kami duduk, tergoncang dengan hebat. Jendela yang terbuka juga menutup dan membuka dengan kuat, barang-barang di atas lemari berjatuhan, suara-suara gaduh terdengar di mana-mana. Dari Marcusuar terdengar sirene berbunyi nyaring dan lama. Orang-orang berebut ke luar gedung atau bangunan dengan berteriak."GEEMPAAA!"Dengan susah payah aku berdiri, sebentar-sebentar terjatuh, begitu juga dengan Mbak Ros."Cepat, Lid. Kita keluar ... sebentar lagi plafon kamar ini akan terjatuh!" Teriak Mbak Ros.Tanpa kami bisa berpikir, kami terus berlari hingga di tanah datar, jauh dari bangunan dan pepohonan. Tampak banyak pohon kelapa yang bertumbangan. Aku dan Mbak Ros saling berpelukan. Ya, Allah ... untung saja kami belum menanggalkan jilbab atau pakaian luar kami. Banyak orang-orang di sekitar kami yang berpakaian ala kadarnya, bahkan hanya memakai pakaian dalam.Dalam waktu kurang satu menit, goncangan gempa-pun berhenti. Namun akibat yang ditimbulkan sungguh luar biasa. Resort
Kakhk ... akhk ....Aku membuka mata, suara teriakan itu sangat mengganggu. Ah, di mana ini? Teriakan itu datang bersahut-sahutan. Kubuka mata lebar-lebar, berkelebatan di atasku makhluk berwarna hitam yang jumlahnya banyak sekali. Aku berusaha bangkit, namun akh ... badanku sakit tak terkira, kakiku juga sakit tidak bisa di gerakkan. Namun, alhamdulillah tanganku masih bisa bergerak. Ya, Allah ... ya Rabbi ... di mana ini? Apakah ini alam barzah, atau neraka? Apakah aku masih di dunia? Pemandangan di sekelilingku sungguh mengenaskan. Bergelimpangan mayat, ah di kakiku juga terdapat mayat, ku seret kakiku menjauhi mayat itu, namun aku kepegang seorang mayat laki-laki yang matanya telah pecah. "Aaaarggh!"Aku berteriak, namun tenggorokanku tidak mengeluarkan suara, tenggorokanku sangat sakit, kering dan kehausan. Aku berjuang dengan sekuat tenaga menggerakan badanku, namun ketika kelelahan telah mencapai puncaknya, aku hanya bisa bergeser sekitar lima meter.Aku pasrah ... kurebahkan
Seorang perawat lagi mendekati aku, di copotnya beberapa alat di tubuhku, sepertinya alat untuk mengontrol jantung, mengganti kantong keteter dan botol infus yang tinggal sedikit sekali isinya. Krettt ... pintu ruangann terbuka, aku tidak percaya dengan yang kulihat, keluargaku .... "Alhamdulillah, Nak. Kau lah sadar" kata Bapak sambil mengelus kepalaku yang di balut perban, air mata tampak menetes di sudut matanya. Mamak hanya menangis sambil memegang tanganku, Bang Yudi dan Bang Yuda terdiam di belakang Bapak. Andika ikut menangis disamping Mamak. "Aku gak papa," kataku, namun suara yang keluar hanya bisikan saja. "Tak perlu bicara dulu, kau pasti masih sakit," kata Bapak setelah mendengar ucapanku hanya bisikan yang tidak jelas. "Pak ...," kataku berbisik, bapak segera mendekatkan telinganya ke mulutku. "Aku haus, mau minum," bisikku. "Kau nak minum?" tanya Bapak, aku mengangguk. Bapak tampak bingung dengan ucapanku, dia menatap perawat yang tengah meng
"Wah ... tidak perlu repot-repot. Oya, kita belum kenalan yo? Saya Mamak Muliani. Panggil saja Mamak, nah ... bujang ganteng nih, siapa?" Mamak sambil menyodorkan tangan, disambut dengan hangat pria itu, senyum manisnya mengembang di wajah itu."Saya Bayu, Bayu Arya ...," kata pria itu, kemudian beralih menjabat Bapak. "Saya Mustofa, Bapak Lidia ... kita pernah ketemu, ye ... Nak Bayu ini, kenalkah dengan Lidia?" tanya Bapak mulai menyelidik"Yah ... satu tahun lalu, saya bertemu dia di lokasi KKN," kata pria itu.Aku hanya mampu mengamati dari ranjang, mata kami beradu pandang, duh ... dadaku berdetak dengan cepat, tatapan mata itu ... aku sangat merindukannya. Tiba-tiba pintu dibuka dengan kasar, Abang-abang dan adikku muncul dari pintu."Siapa Mak yang___" Andika spontan membeku, menghentikan perkataannya ketika melihat ada orang asing di kamar."Hmmm," Bapak berdehem untuk mencairkan suasana, "ini ... Bayu, orang yang telah menolong adik kau, Yud," lanjut Bapak."Oh ... makasih
Lelaki itu diam beberapa saat, dia menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kujelaskan, tarikan napasnya yang panjang-panjang mungkin tengah menenangkan diri. Aku hanya balas menatapnya, kucari jawaban di mata itu, namun tak kutemukan."Apakah karena itu?" tanyaku sekali lagi."Dari mana kau mengetahui semua ini?" tanya pria itu gusar, menatapku dalam."Seseorang menceritakan kisah tentang dirimu di desa Manau, sebelum aku pulang dari sana, aku menemukan sebuah foto pernikahan seseorang, dan kau berada di sana, berfoto dengan pengantin itu, aku juga melihat buku nikah pasangan itu, namamu ada di sana sebagai saksi." "Sumarlin?" tanya lelaki itu, aku mengangguk."Ah, kenapa aku seceroboh ini? Apa yang kau tahu selain itu?" lanjutnya, lelaki itu menatapku dengan tatapan yang lagi-lagi tak bisa kumengerti."Tolong, Mas Bayu ... siapapun dirimu, genggamlah tanganku, jangan kau lepaskan diriku." Kuraih tangannya, dia ingin melepasnya namun kugenggam tangan itu lebih erat."Jadi, kau suda