Kakhk ... akhk ....Aku membuka mata, suara teriakan itu sangat mengganggu. Ah, di mana ini? Teriakan itu datang bersahut-sahutan. Kubuka mata lebar-lebar, berkelebatan di atasku makhluk berwarna hitam yang jumlahnya banyak sekali. Aku berusaha bangkit, namun akh ... badanku sakit tak terkira, kakiku juga sakit tidak bisa di gerakkan. Namun, alhamdulillah tanganku masih bisa bergerak. Ya, Allah ... ya Rabbi ... di mana ini? Apakah ini alam barzah, atau neraka? Apakah aku masih di dunia? Pemandangan di sekelilingku sungguh mengenaskan. Bergelimpangan mayat, ah di kakiku juga terdapat mayat, ku seret kakiku menjauhi mayat itu, namun aku kepegang seorang mayat laki-laki yang matanya telah pecah. "Aaaarggh!"Aku berteriak, namun tenggorokanku tidak mengeluarkan suara, tenggorokanku sangat sakit, kering dan kehausan. Aku berjuang dengan sekuat tenaga menggerakan badanku, namun ketika kelelahan telah mencapai puncaknya, aku hanya bisa bergeser sekitar lima meter.Aku pasrah ... kurebahkan
Seorang perawat lagi mendekati aku, di copotnya beberapa alat di tubuhku, sepertinya alat untuk mengontrol jantung, mengganti kantong keteter dan botol infus yang tinggal sedikit sekali isinya. Krettt ... pintu ruangann terbuka, aku tidak percaya dengan yang kulihat, keluargaku .... "Alhamdulillah, Nak. Kau lah sadar" kata Bapak sambil mengelus kepalaku yang di balut perban, air mata tampak menetes di sudut matanya. Mamak hanya menangis sambil memegang tanganku, Bang Yudi dan Bang Yuda terdiam di belakang Bapak. Andika ikut menangis disamping Mamak. "Aku gak papa," kataku, namun suara yang keluar hanya bisikan saja. "Tak perlu bicara dulu, kau pasti masih sakit," kata Bapak setelah mendengar ucapanku hanya bisikan yang tidak jelas. "Pak ...," kataku berbisik, bapak segera mendekatkan telinganya ke mulutku. "Aku haus, mau minum," bisikku. "Kau nak minum?" tanya Bapak, aku mengangguk. Bapak tampak bingung dengan ucapanku, dia menatap perawat yang tengah meng
"Wah ... tidak perlu repot-repot. Oya, kita belum kenalan yo? Saya Mamak Muliani. Panggil saja Mamak, nah ... bujang ganteng nih, siapa?" Mamak sambil menyodorkan tangan, disambut dengan hangat pria itu, senyum manisnya mengembang di wajah itu."Saya Bayu, Bayu Arya ...," kata pria itu, kemudian beralih menjabat Bapak. "Saya Mustofa, Bapak Lidia ... kita pernah ketemu, ye ... Nak Bayu ini, kenalkah dengan Lidia?" tanya Bapak mulai menyelidik"Yah ... satu tahun lalu, saya bertemu dia di lokasi KKN," kata pria itu.Aku hanya mampu mengamati dari ranjang, mata kami beradu pandang, duh ... dadaku berdetak dengan cepat, tatapan mata itu ... aku sangat merindukannya. Tiba-tiba pintu dibuka dengan kasar, Abang-abang dan adikku muncul dari pintu."Siapa Mak yang___" Andika spontan membeku, menghentikan perkataannya ketika melihat ada orang asing di kamar."Hmmm," Bapak berdehem untuk mencairkan suasana, "ini ... Bayu, orang yang telah menolong adik kau, Yud," lanjut Bapak."Oh ... makasih
Lelaki itu diam beberapa saat, dia menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kujelaskan, tarikan napasnya yang panjang-panjang mungkin tengah menenangkan diri. Aku hanya balas menatapnya, kucari jawaban di mata itu, namun tak kutemukan."Apakah karena itu?" tanyaku sekali lagi."Dari mana kau mengetahui semua ini?" tanya pria itu gusar, menatapku dalam."Seseorang menceritakan kisah tentang dirimu di desa Manau, sebelum aku pulang dari sana, aku menemukan sebuah foto pernikahan seseorang, dan kau berada di sana, berfoto dengan pengantin itu, aku juga melihat buku nikah pasangan itu, namamu ada di sana sebagai saksi." "Sumarlin?" tanya lelaki itu, aku mengangguk."Ah, kenapa aku seceroboh ini? Apa yang kau tahu selain itu?" lanjutnya, lelaki itu menatapku dengan tatapan yang lagi-lagi tak bisa kumengerti."Tolong, Mas Bayu ... siapapun dirimu, genggamlah tanganku, jangan kau lepaskan diriku." Kuraih tangannya, dia ingin melepasnya namun kugenggam tangan itu lebih erat."Jadi, kau suda
Menjelang Magrib Mamak, Andika dan Mas Bayu pulang dari Pasar. Mereka memborong banyak sekali barang-barang, hingga kamar rumah sakit penuh. Setelah mengantar Mas Bayu permisi pulang ke Hotel tempatnya menginap, katanya mau mandi dulu, sudah gerah. "Banyak nian yang di beli, Mak. Bukannya duit kita pas-pasan, ya?" kata Bapak."Ini semua yang beliin Nak Bayu, Pak. Duit kita manalah cukup," kata Mamak sambil memilah-milah kantong belanjaan dan beberapa paper bag."Kau itu jangan manfaatin orang macam itu, nanti dikira mertua matre." "Aku sudah nolak, Pak. Dia malah milih-milih sendiri. Nih ... Lidia, kau di belikan sepuluh gamis, jilbab dan lima blus sama roknya. Mamak suruh beli dalamannya, Mamak belikan yang biasa, dibalekkan sama dia, dibelinya lagi yang mahal-mahal," kata Mamak memperlihatkan peper bag itu padaku.Aku hanya melongo melihat pakaian yang dikeluarkan Mamak dari paper bag."Katanya kau butuh banyak pakaian, kan pakaian kau sudah lenyap waktu bencana kemaren," kata Mam
"Oya, Bang ... Abang kuliah di mana dulu?" tanya Andika.Aku mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan Andika, ya Ampun kenapa anak ini musti menanyakan pertanyaan ini? Secara apa ya, dia kuliah?"Aku baru selesai kuliah empat tahun yang lalu di Harvard," jawab pria itu."Apa?" Kataku menatapnya tak percaya"Harvard, Bang? Harvard Amerika?" tanya Andika melongo penuh kekaguman"Wah, Amerika?" timpal Bapak."Iya, aku ngambil Biology degree program," katanya sambil menggigit daging rendang.Aku menatapnya tidak percaya, tapi dia acuh tak acuh."Wah ... luar biasa ternyata Abang lulusan Amerika, dapat beasiswa atau biaya sendiri, Bang?" tanya Andika lagi, kulihat matanya sangat mengagumi sosok di depannya."Biaya sendiri," jawab pria itu"Wah, Tidak salah dugaan Dika, Abang ini anak sultan yang tajir melintir. Biaya kuliah di Harvard kan mahal, Bang? Dika juga punya cita-cita ngambil S2 di sana kalau lolos beasiswa. Kemaren habisnya berapa biayanya, Bang?" "Kalau semua-semua dengan biaya
Mereka tertawa bahagia, ya Allah ... aku juga ikut tertawa melihat adegan itu, Mas Bayu benar-benar bisa mencairkan suasana. Sudah itu Pakcik Solihin, Mamang Umar, Mamang Syafi'i dan Om Burhan memperkenalkan diri. Kini giliran para Bibik yang disapanya, tak disangka para Bibik itu berebut duluan menyalami, ya Ampun, itu Makwo Ijah yang biasanya kalem juga ikutan? Masyaallah ....Tiba di tempat Nenek, lelaki itu mencium tangan Nenek dengan takzim. "Subhanallah ... ternyata orangnya seperti ini yang selalu ditunggu cucuku, pantas cucuku tidak bisa pindah ke lain hati," kata Nenek sambil mengusap punggung lelaki itu. Deg! Aku terkejut mendengarkan perkataan Nenek, spontan kutatap Mamak dengan mata membulat sempurna, ternyata Bapak juga melakukan hal yang sama denganku. Ini dia pasti biang gosipnya. "Iya, Mamak yang bilang," kata Mamak salah tingkah dipelototi kami berdua. "Kapan kau bilangnya?" tanya Bapak "Ya, waktu dulu ... waktu Lidia cerita punya gebetan sampai minta di-rukiya
POV Bayu AryaAh, harus dari mana kuceritakan hidupku yang tiada artinya ini. Selama bertahun-tahun ragaku hidup tetapi rasanya tidak bernyawa. Aku tidak tahu tujuan hidupku untuk apa. Aku hanya sendiri, tidak memiliki teman, tidak bisa berbagi apapun dengan siapapun. Apa yang harus kukatakan padamu, Lidia ....Matamu yang dihiasi bulu mata lentik itu menatapku penuh ketulusan, berbinar seperti bintang fajar menyambut awal hari penuh harapan. Aku tidak bisa menyembunyikan apapun lagi padamu, kau sudah tahu segalanya, hatiku serasa melebur, luruh, tenggelam pada tatapan bola matamu.Aku hanya pria biasa yang memiliki perasaan, luka lama yang terus menghantui, kenapa aku tidak bisa hidup normal seperti orang lain?Waktu usiaku lima belas tahun, begitu terkejutnya diri ini saat Ayah bercerita, bahwa aku akan mendapat anugerah kekuatan saat usiaku tujuh belas tahun. Aku menantikan hari-hari itu dengan antusias, Ayah mengajarkan banyak kehidupan di tengah hutan, dia banyak mengenalkan aku