"Mark, aku akan berlibur ke Indonesia," ujar Alice dengan antusias saat Mark tengah berkutat dengan buku-buku di meja.Mark tak memperdulikan sang adik yang mengganggu acara belajarnya. "Kau akan mencari apa di sana? Kau pikir aku peduli," Mark membalas tak acuh. Mark memang tipikal orang yang tak pandai mengekspresikan perasaan. Alhasil selalu kata-kata pedas yang keluar dari mulutnya. Padahal dalam hati ia begitu menyayangi Alice.Hal itu membuat Alice mencabikan bibir kesal. Kakak laki-lakinya ini memang terlalu kutu buku. Bahkan di usianya yang menjelang dua puluh tujuh tahun, Mark belum pernah berpacaran. Menurut Alice kakaknya ini benar-benar kuno. Bahkan saking kupernya Mark hampir tak memiliki teman dekat. Hari-harinya hanya dihabiskan untuk belajar dan mengurus perusahaan keluarga."Aku ingin melihat kampung halaman pacarku. Kau ingat Nalendra, kan? Laki-laki berdarah campuran Indonesia itu. Dia sekarang kekasihku," ujar Alice semakin antusias."Ya, ya. Laki-laki yang kau bil
Safiyya menatap sebuah bangunan pesantren sederhana di depannya. Meski tak sebesar pondok pesantren Gibran saat di Bali, tapi Safiyya yakin tempat ini adalah tujuan paling tepat bagi hidupnya ke depan. Ia dan Gibran baru saja turun dari angkutan umum setelah melewati perjalanan berjam-jam lamanya. Sang adik terlihat menggendong Nafis yang tertidur. Beruntung letak pesantren tak jauh dari bandara. Tak berapa lama seorang wanita paruh baya terlihat menghampiri Safiyya di depan gerbang."Mbak Safiyya?" tanya wanita bertubuh gemuk itu memastikan.Safiyya mengangguk dengan senyum sopan."Selamat datang, semoga kerasan di sini. Saya Ibu Surti, yang bertugas mengurus semua makanan untuk anak-anak di pondok. Adik saya, Bu Mirah, sudah menceritakan tentang kamu sama saya. Mari saya antar masuk," sambung wanita itu sambil membantu Safiyya membawa barang bawaan.Bu Surti membawa Safiyya masuk ke bangunan paling belakang pondok. Melewati beberapa ruang yang biasa digunakan untuk menimba ilmu. Ia
Nalen terlihat gelisah dan mondar-mandir di depan meja kerjanya. Ia tengah menunggu kabar dari orang suruhan yang ia tugasi untuk mencari laki-laki asing asal Australia. Sudah lima bulan berlalu sejak Safiyya pergi, ia masih berusaha keras untuk bisa menemukan sang istri. Tanpa lelah ia terus menyuruh orang-orangnya mencari wanita itu,Tak berapa lama, Anna tiba-tiba masuk bersama Aidan. Nalen sedikit kaget saat melihat wanita itu di perusahaannya."Anna, untuk apa kamu di sini?" Nalen sedikit heran. Kehadiran wanita itu sama sekali tak diinginkan untuk saat ini. Mengingat Safiyya pasti akan terluka jika tahu. Nalen tak ingin menghianati cinta Safiyya."Hai," sapa Anna ceria. Ia berusaha bersikap sopan di depan ayah Nalen."Papa sengaja membawa dia ke sini untuk membantu kamu menemukan Safiyya sekaligus mengurus perusahaan. Papa harap dengan kehadiran Anna kamu bisa merasa lebih baik. Mulai hari ini dia akan jadi sekretaris kamu," ujar Aidan yang duduk di kursi roda. Ia menatap putran
Nalen melajukan mobilnya dengan kecepatan maksimal. Langit kota Sydney mulai berwarna jingga saat kendaraannya mulai memasuki wilayah Tamarama. Sekitar lima kilometer dari pusat kota. Daerah tepi pantai yang juga dikenal sebagai Glamarama ini, mengalami banyak perubahan sejak Nalen terakhir kali ke negeri kanguru.Tak berapa lama ia pun sampai di depan sebuah rumah mewah tiga lantai, dengan elemen bangunan menggunakan banyak panel kaca. Setelah menunggu beberapa saat pemilik rumah pun akhirnya mengizinkan Nalen masuk. Rupanya Mark memang bukan orang sembarangan.Bangunan bergaya era 70-an itu dikelilingi taman luas dilengkapi dengan kolam renang. Fasilitasnya pun sangat banyak dan mewah. Sepertinya Mark mendesain khusus rumah itu sesuai dengan seleranya. Rupanya Mark benar-benar bukan orang biasa.Tak perlu menunggu lama ketika Nalen sudah siap mengarahkan bogem mentah pada Marik, ia justru dikejutkan dengan kondisi laki-laki itu yang terlihat pucat dan tak berdaya. Kata-kata makian y
Nalen melajukan mobilnya ke arah pemakaman Waverley. Seperti rencananya kemarin saat bertemu Mark. Pemakaman yang Nalen tuju memiliki pemandangan pantai yang indah karena berada di atas tebing Bronte di pinggiran timur Sydney, New South Wales.Setelah lama mencari, Nalen akhirnya menemukan nisan bertuliskan Alicia Johnson. Ia tertegun saat melihat makam wanita yang pernah jadi bagian hidupnya, diapit oleh dua makan lain yang ia tahu adalah orang tua Alice. Kini ia memahami apa yang menyebabkan Mark begitu membencinya. Laki-laki itu telah kehilangan orang-orang yang dicintai, dan menyalahkannya atas kematian sang adik.Nalen meletakan buket bunga lili kesukaan Alice sebelum ia bicara. "Maaf karena baru sempat menjengukmu. Maaf karena membuatmu menunggu begitu lama untuk mengucapkan kalimat penyesalan ini." Nalen menundukan kepala, semua kata-kata yang ingin diucapkan seperti tertahan di tenggorokan. Lidahnya kelu."Maaf karena tak pernah tahu tentang keberadaan anak kita, dan membuatny
Safiyya tengah berkutat dengan dapur pagi ini. Seperti biasa tugasnya sehari-hari di pesantren adalah membantu Bu Surti menyiapkan makanan anak-anak pondok. Sesekali ia juga diminta menjadi guru pengganti mata pelajaran akuntansi, untuk anak yang bersekolah di yayasan itu. Safiyya tak pernah meminta bayaran, karena bisa diizinkan untuk tinggal di pesantren Ustaz Ghofur saja ia sudah bersyukur.Sudah lima bulan sejak ia datang ke pesantren, Safiyya mulai kerasan tinggal di sana. Ustaz Ghofur, sang pemilik pesantren itu juga sangat baik. Terlebih pada Nafis."Kamu nggak ada keinginan untuk mencari kerja yang lebih baik, Saf? Kamu kan sekolahnya tinggi, toh?" ujar Bu Surti suatu hari.Perkataan wanita itu membuat Safiyya yang tengah menghidupkan api di tungku tersenyum dan menjawab. "Saya nggak bisa meninggalkan Nafis, Bu. Dia masih terlalu kecil.""Walah, kan ada Ibu, Saf. Ada adikmu juga yang menjaga. Ibu cuman kasihan melihat kamu harus kerja seperti sini. Sayang sekali ijasah kamu k
Lima tahun kemudian ..."Gibran kamu cepat dong bangun! Mbak hari ini ada rapat penting, kita harus berangkat lebih pagi!" Safiyya berseru sambil berusaha menarik tangan sang adik agar lekas bangkit dari tidurnya.Jam sudah menunjukan pukul lima pagi, tapi Gibran sama sekali tak terusik dengan kegaduhan itu. Maklum saja, mahasiswa akhir semester tersebut tengah sibuk mengerjakan skripsi yang memaksanya lembur hingga dini hari."Eeng ... apa, sih, Mbak, ganggu aja deh," gumam Gibran kesal. Bukannya bangun, laki-laki dua puluh lima tahun itu justru semakin merapatkan selimut sampai ke dada.Tak ayal Safiyya semakin kesal dibuatnya. "Subuh udah mau abis, loh. Bapak sama Ibu pasti sedih kalau lihat kamu nggak mau sholat subuh."Mendengar perkataan Safiyya, Gibran pun akhirnya terpaksa bangun. Sambil menatap kakaknya ia berdecak kesal. Safiyya selalu saja menggunakan kalimat itu untuk memaksanya ibadah."Iya ... Iya, bawel," ujar Gibran sambil berjalan memasuki kamar mandi.Safiyya menghe
"Apa benar ini dia?" Aidan menyerahkan ponsel pada Ali setelah ia mengamati foto Safiyya yang diambil asisten nya ketika ia ke Surabaya. Keduanya tengah berbicara di ruang kerja Aidan."Saya yakin sekali itu dia. Saya juga sudah memastikan ketika kemarin ikut rapat dengan mereka.""Apa Nalen tahu soal Safiyya yang bekerja di perusahaan kita?""Tidak, Pak. Saya belum memutuskan memberi tahu dia, karena ingin meminta pendapat Anda dulu."Aidan menarik napas panjang. Ia tak menyangka takdir Allah lagi-lagi bekerja dengan cara yang luar biasa. Bisa-bisanya selama ini Nalen tak tahu bahwa orang yang ia cari justru bekerja di perusahaannya sendiri."Kalau begitu selidiki lebih detail lagi. Di mana dia tinggal dan dengan siapa. Apa dia sudah menikah lagi atau belum. Kalau semuanya sudah jelas dan Safiyya memang tak pernah menikah lagi, tolong atur bagaimanapun caranya agar wanita itu pindah ke kantor pusat." Aidan terdengar tenang tapi tegas.Perkataannya sempat membuat Ali tertegun. Sejujur