Pikiran Arun tak fokus pada pekerjaannya. Potongan lapis singkong yang telah di potong Mamanya masih utuh belum ada satu pun yang terbungkus plastik. “Ya ampun Arun dari tadi ngapain aja?” teriak Mamanya begitu melihat Arun.Seketika lamunan Arun pun buyar mendengar teriakan Mamanya. “Mama kalau ngomong enggak usah pakai teriak bisa enggak,” ucapnya sambil mengusap dadanya. “Habisnya kamu ini di suruh bungkusin malah melamun. Lagian pagi-pagi mikirin apa sih. Ini itu pesanan orang kamu enggak lihat itu jam berapa. Sebentar lagi jam sembilan pesanannya mau di ambil,” jelas Mamanya sambil dengan cekatan membungkus lapis singkong. “Bu Ijah mana, Ma?” tanya Arun sambil celingukan mencari Bu Ijah yang tak nampak batang hidungnya. “Bu Ijah ada perlu nanti agak siangan kesininya. Kue yang mau di bawa ke toko udah jadi kan?” tanya Arun dengan tak enak hati pada Mamanya. “Udah, nanti kamu berangkat sama Pak Atmo aja, biar
“Mbak Arun kenapa, ya. Kok tiba-tiba berubah setelah kamu sebut nama Pak Saka,” celetuk Winda. “Karena ada sesuatu pastinya,” jawab Asih sambil tersenyum. “Kayaknya kamu tahu sesuatu tentang Mbak Arun,” ucap Winda sambil melirik Asih dengan ujung matanya. “Karena aku mencari tahu,” jawab Asih singkat. “Udah aku bingung. Cepat kamu ngomong apa aja yang kamu tahu tentang Mbak Arun!” pinta Winda yang mengubah posisi duduknya menghadap ke arah Asih.Asih mengambil ponselnya. “Kamu perhatikan dua gambar ini,” perintah Asih sambil menyerahkan ponselnya pada Winda. “Dari mana kamu dapat foto ini,” tanya Winda sambil mengamati ponsel Asih dengan serius. “Itu foto yang aku ambil di album milik Pak Saka. Habis aku penasarana karena sejak lihat Mbak Arun aku ingat foto itu. Awalnya aku ragu, tapi setelah aku selidiki ternyata foto yang ada di kamar Pak Saka memang foto Mbak Arun,” jelas Asih. “Ssstttt, pelan-pela
Sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang masuk perumahan. Pak Senin yang merasa asing dengan mobil yang berhenti pun segera mendekatinya.“Permisi Pak,” sapa Bagas yang keluar dari mobilnya“Iya, Pak ada yang bisa saya bantu,” jawab Pak Senin dengan ramah.“Perkenalkan Pak saya Baguas,” ucap Bagas sambil mengulurkan tangannya dengan sopan pada Pak Senin.“Saya Senin, satpam di sini,” jawab Pak Senin sambil membalas uluran tangan Bagas.“Begini, Pak Senin saya sedang mencari rumah kalau boleh saya tahu apa di sini masih ada unit yang kosong?” tanya Bagas.“Kayaknya udah penuh, tapi nanti coba saya tanyakan karena di sini ada satu rumah kosong. Tapi iya itu pemiliknya pergi dan saya enggak tahu kemana,” jelas Pak Senin.“Tapi pasti sesekali pemiliknya pernah kesini ‘kan, Pak atau mungkin ada orang yang di suruh untuk menjaga rumahnya,” tanya Bagas yang tertarik dengan cerita Pak Senin.“Kalau itu sih ada, Pak, E... tapi dijual atau enggaknya saya kurang tahu. Karena pemilik rumah ko
Pak Senin menepati janjinya pada Saka untuk ngopi bersama di rumahnya, Beberapa makanan kecil dan kopi sudah tersaji di hadapan Pak Senin dan Saka. “Silahkan, Pak,” ucap Asih mempersilahkan mereka berdua. “Makasih, Sih. Kamu ikut ngobrol di sini aja, lagian ada yang mau saya bicarakan dengan kamu,” ucap Saka begitu melihat Asih hendak masuk kedalam rumah. Asih menghentikan langkahnya dan langsung ikut duduk bersama mereka. “Sih, kamu kenal Arunika ‘kan?” tanya Saka langsung tanpa basa basi.Asih menundukkan kepalanya. “iya, Pak,” jawabnya lirih.Pak Senin yang mendengar perkataan Saka hanya mengeryitkan dahinya. “Apa dia sudah tahu kalau kamu kerja sama saya?” Asih hanya mengganggukkan kepalanya merespon pertanyaan Saka. “Sebelumnya saya mau minta maaf,” ungkap Asih. “Minta maaf? Memangnya kamu melakukan salah apa?” tanya Saka penuh selidik mendengar permintaan maaf Asih. “Pak Saka ‘kan tahu kalau sa
Arun masih enggan beranjak dari tempat tidurnya, hari ini memang sengaja tak ingin kemana-mana.TOK! TOK! TOK! Terdengar suara ketukan dari pintu kamar Arunika. “Iya, jawabnya sambil melangkah dengan malas membuka pintu. “Mama, ucapnya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Tumben kamu jam segini masih di kamar, mana belum mandi. Kamu enggak lihat Run kerjaan di dapur banyak. Bu Ijah sampai kewalahan. Lagian mana Winda katanya mau bantu Mama,” ucap Mama tanpa henti.Arun menghembuskan nafasnya, ia pun berjalan dan duduk di tepi tempat tidur. Mama tanpa di suruh pun mengikuti langkahnya dari belakang. “Winda sibuk, Ma. Kalau harus ninggal toko kayaknya enggak mungkin. Mama ‘kan tahu sampai Arun cari karyawan lagi,” jelas Arun. “Gini aja Run, gimana mulai sekarang kita fokus buat roti aja, enggak usah kue tradisional. Tapi kalau ada pesenan kita baru buatin,” usul Mama. “Terserah Mama aja. Lagian Arun buka tok
“Sebentar lagi Pak Senin datang,” ucap Saka sambil meletakkan ponselnya.Mereak hanya terdiam sambil menikmati makanan yang di sajikan Saka. Arun sibuk memainkan ponselnya padahal sedari tadi ia hanya mengotak atik menu. Bagas yang sudah hapal dengan karakter Arun hanya mengulas senyum melihat tingkah sahabatnya itu. Sesekali Saka melirik Arun. “Ini kenapa mendadak jadi kena sariawan semua ya?” celetuk Bagas.Saka langsung tergagap mendengar perkataan Bagas. “Enggak juga, Gas. Oh iya kesibukan kamu apa aja. Kok kayaknya siaga banget jagain Arun?” “Gue kan pengacara, Ka,” sahut Bagas sekenanya. “Wah keren dong,” jawab Saka yang terkagum-kagum mendengar ucapan Bagas. “Pengacara maksudnya pengangguran banyak acara. Lagian omongan Bagas di percaya. Dia itu punya usaha, Ka. Makanya bisa seenaknya sendiri kerja.” “Wah, jadi yang bener yang mana ini. Serius aku tanya,” tanya Saka sedikit kesal karena melih
Asih masih terdiam tak berani menatap Arunika. Perasaannya tak menentu apalagi baru kali ini Asih melihat sikap Arunika. Sosok Arunika yang dikenalnya selama ini sangat ramah tak banyak bicara dan selalu santai mengahadapi apapun kini yang Asih lihat sangatlah berbeda. Tatapan Arun sangat tajam Asih tahu kalau Arunika marah. “Asih, saya bukan tipe orang yang suka ikut campur masalah orang lain. Selama ini yang aku tahu kerjaan kamu bagus, jadi kalau kamu ada masalah dengan Saka itu bukan urusan aku. Aku juga enggak akan memecat kamu.”Asih menghembuskan nafasnya lega, wajahnya sumringah setelah mendengar perkataan Arun. “Tapi...,” Arun tak melanjutkan perkataannya. “Tapi apa, Mbak,” ucap Asih memotong pembicaraan Arunika. “Kamu mau bantu saya?” tanya Arun penuh harap. “Mau, Mbak.” Jawab Asih dengan yakin sambil menganggukan kepalanya. “Apa yang kamu ketahui tentang rumah kosong itu, Sih?”Seketika Asih terperanjat
Asih berjalan mondar mandir di dapur rumah Saka, sebelumnya Asih sudah ijin kalau hari ini dia tak masuk kerja di toko roti. Arunika tak mempermasalahkan karena Asih tak masuk kerja. Ponsel Asih berbunyi dan sebuah pesan pun masuk. [Saya sudah ada di rumah kosong itu sekarang cepat kamu kesini] Dirga.Asih menghembuskan nafasnya dia berusaha menenangkan dirinya, Memang kali ini berbeda dulu Asih tak pernah setakut ini jika Pak Dirga mengajaknya bertemu, tapi tidak untuk kali ini. “Kamu tenang aja saya akan mengawasi kamu,” terdengar suara yang mengejutkan Asih. “Pak Saka buat saya jantungan saja,” ucap Asih sambil memegangi dadanya. “Dari tadi kamu kelihatan bingung, Sih. Memangnya ada apa, saya sudah bilang kamu enggak perlu takut saya dan Pak Senin serta Bagas akan mengawasi kamu,” ucap Saka meyakinkan Asih. “Saya pergi dulu, Pak. Pak Dirga sudah di sana,” Asih pun berpamitan pada Saka.Dengan langkah cepat Asih menuju ke ruamh kosong di ujung jalan perumahan. Tak lama Asih suda