Share

Misteri tegal Useng
Misteri tegal Useng
Penulis: Nurulasyrikania

Satu

Useng dijuluki juragan tahi di kampungnya. Hal itu bukan tanpa alasan, karena Useng memiliki hewan ternak yang melimpah. Dia pun salah satu pemasok kotoran domba untuk dijadikan pupuk bahkan sampai ke luar daerah.

Sayangnya, Useng sosok pelit dan perhitungan. Sebagai seorang muslim, sepatutnya dia mengeluarkan zakat untuk membersihkan harta apalagi ternak domba Useng sudah mencapai nisob.

Namun, Useng tak menggubrisnya. Jangankan mengeluarkan zakat, Useng pun perhitungan pada keluarganya sendiri.

Sedikit background Useng, dia bapak dari tiga anak. Tepatnya, dua anak perempuan dari istri pertama yang sudah wafat. Satu di antaranya sudah berkeluarga, sementara putri keduanya yang bernama Amira dia titipkan ke pondok pesantren sejak belia.

Useng memiliki satu putra dari istri keduanya yang bernama Sulastri. Selain masih muda, Sulastri sosok cantik yang bahenol. Di mata Useng, Sulastri tanpa cacat meski Useng akui minus wanita itu hanyalah matre.

Kala itu, Useng bersama Bargola--- domba jantan Garut miliknya memenangkan kontes hewan tingkat kecamatan. Di sanalah awal pertemuan mereka.

Namun, bagi Useng tak masalah. Tak mubazir dia keluarkan banyak duit demi mendapatkan Sulastri yang pada saat itu berstatus istri orang. 

Hal yang dinanti Useng ialah ketika bulan akhir islam yakni Dzulhijjah atau rayagung. Karena pada bulan itu, duit mengalir deras bagai hujan di bulan Desember.

Selain bulan qurban dan haji, di kampung-kampung bulan rayagung dikenal sebagai bulan pernikahan.

Useng mengipasi wajah Sulastri dengan gepokan duit ketika hewan ternaknya banyak yang membeli untuk acara hajatan. Bukan Useng namanya, jika semakin banyak duit semakin pelitlah orangnya.

Pada bulan rayagung, dari awal menuju akhir bulan sudah lumrah banyaknya acara pengajian atau hiburan berupa pencak silat, wayang golek, kuda renggong bahkan dangdutan memeriahkan kampung.

Siang itu, Useng memutuskan secara sepihak untuk menjemput Amira dari pondok pesantren. Jika bukan karena Sulastri yang tak menyukai dua anak perempuan Useng, dia tak rela berjauhan dengan Amira.

Useng terharu Amira mencium punggung tangannya ketika pertama kali bertemu. Useng tak menyangka, Amira sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik dan sopan.

Sekarang, Amira berusia delapan belas tahun dan Useng yakin akan ada banyak lamaran yang datang. Useng berpikir, dengan kecantikan dan kepribadian Amira, lelaki mana yang tak terpesona.

Useng tak ingin kecolongan seperti yang lalu, ketika putri sulungnya dinikahi pemuda biasa yang tak menguntungkan Useng. Pada Amira, Useng menaruh harapan agar bisa besanan dengan pejabat kaya raya.

Sulastri cemberut melihat Amira berada di rumah. Suami istri itu sempat cek-cok, tapi bulat keputusan Useng takkan mengirim Amira kembali ke pesantren. Useng beralasan, dirinya semakin tua dan Amira beranjak dewasa.

***

Di rumah besar milik Useng, lantunan ayat suci Al-Quran terdengar setelah sekian lama. Dulu, ibunya Amira rutin tadarus. Wanita itu pun tak lelah menasihati Useng agar tidak meninggalkan salat.

Suara mengaji Amira terdengar merdu. Sulastri hanya mencebik seraya menutup kuping. Sejak kedatangan Amira, Sulastri memecat asisten rumah tangga.

Katanya, mubazir membayar upah pada orang lain. Lebih baik Amira yang mengerjakan, itung-itung latihan sebelum menjadi ibu rumah tangga.

Amira mengangguk tanpa protes. Di pondok, selain belajar mengaji dia pun diajarkan memasak, menjahit, mengerjakan pekerjaan rumah tangga bahkan pergi ke sawah.

Amira tidak melanjutkan sekolah formal karena Sulastri menghasut Useng untuk tidak mengeluarkan banyak biaya.

Amira merasa heran, melihat Sulastri yang ngomel-ngomel dengan lembaran undangan di tangan. Katanya, sudah banyak duit yang dia habiskan untuk amplop pernikahan.

Sulastri jauh berbeda dengan ibunya. Jika dulu yang mengomel hanya Useng seorang sekarang bertambah Sulastri. Padahal, menurut Amira hal itu simbiosis mutualisme. Sama-sama menguntungkan.

Amira menatap kertas undangan yang ditujukan untuknya. Hanin--- teman sepermainannya besok akan menikah. Sebagai teman, Amira akan hadir.

Tibalah besok, di mana orang-orang kampung pangling melihat gadis cantik berkerudung menyapa ramah sepanjang berjalan.

"Siapa, neng geulis itu?" bisik seorang ibu.

"Itu ... neng Amira anaknya juragan tai," jawab ibu lain balas berbisik.

Kumpulan ibu-ibu itu menganggukkan kepala. Bukan ibu-ibu jika berbelanja tidak ada ujungnya yaitu mengghibah.

Tak satu atau dua, banyak yang tak menyangka juragan tahi cap 'meregehese' alias pelit seperti Useng memiliki putri seperti Amira.

"Semoga, neng Amira jadi jalan hidayah untuk pak Useng agar bisa zakat. Masa, ternaknya banyak gak pernah zakat ataupun qurban! Idiihhhh, Ceu Idah mah kalo di posisi pak Useng bakalan tiap tahun qurban," ujar Idah diangguki ibu-ibu lain.

Ibu-ibu masih mengghibah keluarga Useng, sementara Amira sudah sampai ke rumah Hanin yang didekorasi indah.

Amira melihat panggung megah menampilkan wanita-wanita berpakaian mini membuat ibu-ibu di belakang Amira membicarakannya.

"Itu jual badan atau jual suara? Cih!"

"Eh, yang penting mah duit namanya juga hiburan atuh Ceu! Jangan baperan!"

"Bukan baperan ceu! Masalahnya, anak-anak banyak yang nonton!"

"Awasi saja, asal jangan anak eceu yang nonton apalagi suami-suami eceu nyawer!"

Ibu-ibu di belakang Amira mendadak diam setelah Amira menoleh ke belakang. Gadis itu menggedikan bahu lalu menelusuri pelaminan untuk bertemu Hanin.

Setelah memberikan kado, Amira hendak pulang. Dia pusing berada di keramaian, apalagi biduan yang menyanyi seperti kambing tercekik.

Namun, melihat sosok Sulastri membuat Amira terkejut. Wajah Sulastri memerah dengan mata melotot.

"Aki-aki gelo!" Sulastri berteriak membuat perhatian para tamu undangan tertuju padanya.

Langkah Sulastri secepat kilat menuju panggung. Amira sampai memekik melihat Useng berada di sana dengan segepok uang lembaran hijau.

Amira meringis ketika Sulastri menjewer Useng serta memaki-maki. Sungguh dia tak tahu bapaknya berada di sana, seketika musik pun berhenti bahkan tak satu atau dua orang yang merekamnya.

Useng malu bukan kepalang. Dia turun setelah disoraki orang-orang. Sebenarnya, ini bukan kali pertama Useng nyawer biduan tapi nominal yang Useng keluarkan membuat Sulastri murka.

"Balikin!" Sulastri merebut uang dari tangan biduan lalu pergi begitu saja.

Sesampainya di rumah, Amira bisa melihat Useng dan Sulastri bertengkar hebat.

"Kamu sudah mempermalukan harga diri saya, Sulastri!" Useng melotot penuh amarah.

Amira sampai bergidig melihatnya. Amira pikir, ini bukan waktu yang tepat muncul di hadapan bapaknya. Meski Amira tidak menyukai tindakan Useng tapi dia pun menyayangkan cara Sulastri.

Sumpah serapah, makian dan lemparan barang tak pernah dia dengar ketika Useng masih bersama almarhumah ibunya.

"Apa, tidak bisa kamu menegur saya di rumah saja? Bukan di depan orang banyak Sulastri! Saya malu! Bagaimana, saya bisa bertemu orang-orang setelah ini? Lebih baik kamu tembak saya saja!" spontan Useng mengambil senapan berburu kemudian memberikannya pada Sulastri.

Amira yang tadinya bersembunyi lantas menghampiri Useng. Di ambilnya senapan itu sementara Useng terus mengatakan dirinya telah di permalukan.

"Istighfar, pak!" Amira menenangkan Useng. 

Useng menutup telinganya karena Sulastri terus saja mengomel. Sejurus kemudian, Useng pergi tanpa mengatakan sepatah kata.

"Pergi! Pergi!" usir Useng karena para tetangga berkerumun di halaman rumahnya.

Mereka kepo karena pertama kalinya si juragan dijewer istri saat nyawer biduan. Orang-orang mentertawakan Useng dengan mengatakan suami takut istri.

Itu yang Amira dengar dan dia hendak mengekor. Tapi Useng mengatakan dirinya ingin sendiri. Dalam hitungan detik, Useng menghilang dari pandangan mata.

Namun, Useng tak kunjung kembali padahal hari sudah sore. Amira sempat mengeluh pada Sulastri, tapi wanita itu memilih tak perduli.

Akhirnya Amira mencari Useng sendiri. Amira berjalan menelusuri jalan dan bertanya pada orang yang ditemuinya. Beruntung, seorang anak kecil melihat Useng pergi ke tegal.

Padang rumput dengan luas hektaran milik Useng dijadikan peternakan, letaknya pun tak jauh dari rumah.

Perasaan Amira tidak enak, sesampainya di sana matanya mengedar ke sekeliling. Hewan ternak berupa domba milik Useng saling bersahutan dan mencoba melepaskan diri dari ikatan tali.

Namun, jantung Amira seakan copot setelah melihat seorang lelaki memakai hoodie yang dia kenal tergantung di pohon nangka.

"Astaghfirullahal'adzhim! Bapaaakkk!" teriak Amira histeris.

***

Tegal Useng menjadi buah bibir, setelah sang pemilik ditemukan tewas menggantung diri. Kondisinya pun mengenaskan dengan lidah menjulur. 

Kedua tangan Useng memegang leher sepertinya sebelum menemui ajal secara spontan Useng berusaha melepaskan tali. Banyak orang yang melihat jasadnya mengaku tidak bisa tidur.

Kematian Useng pun sampai diliput berita. Kepolisian menegaskan tak ada tanda-tanda kekerasan. Semua tanda mengarah bahwa Useng murni gantung diri. Amira tak henti menangis menatap jasad bapaknya seraya tak henti memohon ampun.

Sebagai pelajar di pesantren, Amira tahu betul bahwa bunuh diri dosa besar yang takkan diampuni. Namun, sebagai seorang anak sudah tugasnya untuk mendoakan Useng.

"Ya Allah, pak. Kenapa sedangkal itu pikiran bapak? Bapak lebih malu sama orang-orang daripada takut dengan siksa neraka," Amira membisik lirih.

Amira tak bisa berbuat apa pun. Video Useng berjoget dan menyawer biduan sampai dipermalukan Sulastri menjadi viral.

Useng pun akan dikebumikan esok paginya. Tapi, sejak kematian Useng aura di kampung menjadi berbeda.

Sunyi senyap. Bahkan, warung yang buka sampai pukul dua belas malam mendadak tutup setelah adzan isya.

Biar bagaimanapun, kematian Useng tidaklah murni. Sama seperti yang orang-orang dengar, bahwa arwah pelaku bunuh diri tetap gentayangan. Mereka tidak mendapat ketenangan, karena jin qorinnya merasa tidak mati.

Entah benar atau tidak, yang pasti kejadian semacam itu selalu bikin merinding. Apalagi, di kampung ini kasus mengakhiri hidup baru pertama kali.

Setelah tewas suaminya, Sulastri menjadi irit bicara bahkan jarang ke luar rumah. Amira memperhatikan Sulastri yang belum makan apa pun lantas dia duduk di dekat Sulastri.

"Buk," panggil Amira sembari meletakkan makanan.

Sulastri tak menyahut. Amira pun menyentuh bahu Sulastri, sontak ibu tirinya menjerit.

"Ibuk jangan melamun. Istighfar," Amira tidak tega melihat keadaan Sulastri.

Sulastri menatap Amira dalam. Dari matanya, dia hendak mengatakan sesuatu tapi Sulastri bingung mengawalinya.

"Ibuk minum dulu," Amira menyodorkan segelas air namun ditolak Sulastri.

"Ibuk dengar, orang-orang banyak yang melihat hantu bapakmu," Sulastri menatap Amira.

Beberapa orang mendapat terror dari sosok yang menyerupai Useng. Bahkan, pengakuan teman dekat dan kerabat pun turut mengalaminya.

Sejak kecil, Useng sudah biasa menggembala ternak bahkan sampai dirinya menjadi bandar seperti saat ini. 

Sulastri menceritakan, salah satu pekerja di peternakan mendadak ke luar dari pekerjaannya setelah mengalami hal aneh.

Domba-domba ke luar kandang di malam hari setelah sosok mirip Useng mengeluarkannya sembari membawa pecut. Pekerja itu mengintip Useng menuntun Bargola lalu memberinya sayuran dengan tangannya sendiri. Hal itu, sama persis yang Useng lakukan semasa hidup.

"Tapi, Amira kenal betul bapak. Tak hanya pada duit, Bapak orang yang detail dan tidak gegabah dalam mengambil tindakan," komentar Amira. 

Dia menolak percaya bahwa Useng mati gantung diri. Beberapa malam, Amira mimpi bertemu Useng tapi dia menyimpannya sendiri. 

Bapaknya tak mengatakan apa pun, tapi menatap Amira penuh kesedihan seperti hendak mengatakan sesuatu.

'Oh, bapak. Amira dengar, di alam sana orang yang bunuh diri akan disiksa dengan cara mereka mengakhiri hidupnya. Benarkah demikian?' batin Amira lirih.

"Siapa yang tahu, Amira. Mungkin, bapakmu saat itu gelap mata," ucap Sulastri.

Amira terdiam. Tak ada yang bisa mengukur kekuatan mental dan keimanan seseorang. Satu yang pasti, Amira merasa bersalah karena tak bisa menghentikan bapaknya melakukan dosa besar.

Seseorang mengetuk pintu utama. Amira maupun Sulastri mengerjab kaget. Sejurus kemudian, Amira bangkit untuk membuka pintu.

Amira sampai kaget melihat seorang pria bernama mang Karta salah seorang pekerja bapaknya.

Mang Karta berkulit hitam, apalagi matanya yang tajam seolah memakai celak membuat yang melihatnya berpikir negatif.

"Ikut mamang neng, ayo kita ke tegal!" Mang Karta melotot membuat Amira sampai mengucapkan istighfar.

Amira langsung mengikuti mang Karta. Dia heran karena di tegal banyak orang berkerumun.

"Astaghfirullahal'adzhim," Amira menutup mulut setelah melihat beberapa domba milik bapaknya tepar tak bernyawa.

Hewan-hewan itu mati secara misterius. Orang-orang kampung mengatakan itu akibatnya karena Useng tidak pernah berzakat. Lantas, mereka meminta Amira untuk menyempurnakan kematian Useng.

"Aduh Gusti, kasihan sekali. Apa, segitu nelangsanya arwah pak Useng? Hiii, saya mah mau pulang! Ibuuu ibuuu! Bapaaakkk bapaaakkk!  tegal Useng makin menjadi euy!" teriak salah seorang warga sembari kocar-kacir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status