"Dasar cabul! Keluar!" Arisha melempar apa saja yang dapat dijangkaunya kepada Dareen dan semua itu mendarat dengan sempurna pada sasarannya. "Akh! Aduh! Aduh!" Dareen tak sempat mengelak. Ia terlalu terpana pada pemandangan indah di depannya. Sosok Arisha yang baru selesai mandi. Hanya berbalut sehelai handuk, hingga mempertontonkan betis nan mulus serta leher jenjang dengan tulang selangka yang menawan. Sebagai lelaki dewasa yang normal, tentu darah Dareen berdesir melihat pesona keindahan itu, apalagi biasanya seluruh tubuh Arisha tertutup rapat. "Akan kubuat matamu buta kalau terus berdiam diri di sana!" Arisha mulai kehilangan kontrol diri karena rasa malu yang luar biasa. "Iya, iya. Aku keluar!" Dareen bergegas meraih gagang pintu. Arisha terduduk lemas di atas ranjang. "Aish, sial! Kesucian tubuhku ternoda oleh mata mesum lelaki menyebalkan itu!" Dareen juga tersandar lemas di balik pintu sambil mengelus dada. Berulang kali ia mengembuskan napas kencang seraya berjuang m
"Kau sibuk?" "Kamu bercanda? Kamu tahu aku baru saja kembali jadi pengangguran." Terdengar tawa sumbang dari seberang telepon. Arisha merasakan keanehan itu. "Ada apa?" "Bisa kita ketemu? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu." Hening sejenak. Arisha melirik jam dinding. Pukul sembilan pagi. Tidak terlalu mepet dengan jam makan siang. Masih sempat jika ia pergi keluar sebentar. Kalaupun ia pulang terlambat, Bi Minah tentu tak akan membiarkan keluarga Dareen kelaparan. "Baiklah. Di mana?" Dalam waktu kurang dari satu jam, Arisha tiba di sebuah kafe yang menjadi tempat janji temunya dengan Rasyad. [Kamu di mana?] [Aku baru saja masuk] Karena pengunjung sangat ramai, Arisha mengirimkan pesan kepada Rasyad dan langsung mendapat balasan. [VIP 2] Arisha naik ke lantai dua. Semua ruang VIP pada kafe tersebut ada di lantai dua. "Maaf, aku sempat terjebak macet." Arisha duduk berhadapan dengan Rasyad. "Tidak apa. Aku juga belum lama." Suhu udara dalam ruangan itu terasa m
Kolam ikan di halaman belakang rumah Dareen selalu menjadi tempat favorit bagi Arisha untuk melepaskan segala gundah. Melihat liukan gemulai dari sekumpulan koi yang menari lincah di dalam kolam itu, sungguh mampu mengurai kekusutan pikirannya. "Apa yang kamu pikirkan?" tanya Dareen dari belakang Arisha. Sudah cukup lama ia berdiri di sana, memperhatikan segala gerakan Arisha. "Ikan-ikanku bisa mati karena keracunan makanan." Arisha terkesiap. "Astagfirullah!" Ia baru menyadari bahwa permukaan air kolam sebagian besar telah ditutupi karpet cokelat yang mengambang, kumpulan dari umpan ikan yang ditaburkannya tanpa sadar. "Aduh, bagaimana ini?" Arisha panik. Ia menaruh kotak umpan di tepi kolam dan segera meraih jala pembersih kolam yang tergeletak, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan sangat hati-hati, Arisha menjaring umpan-umpan itu agar ujung jaring tak menyentuh kulit ikan kesayangan Dareen. "Kamu bukannya membersihkan kolam, tapi justru membuat ikanku stress. Kamu ingin
"Daddy!" Silla berlari mengejar Dareen yang hampir mencapai pintu depan. Dareen berbalik. "Ada apa, Sayang?" "Daddy, mommy nggak bangun-bangun. Silla udah ketuk-ketuk pintu kamar mommy, tapi mommy nggak keluar-keluar." Silla mulai merengek, menarik-narik tangan Dareen. "Daddy, Silla takut mommy kabur lagi." Dareen terperanjat. Pikiran buruk itu juga mengganggu ketenangannya. "Silla sama Bi Minah dulu ya, Sayang! Daddy akan cek mommy di kamarnya." Dareen menoleh pada Bi Minah. "Bi, tolong jaga Silla!" "Ayo, Non!" Bi Minah membimbing Silla ke ruang bermain. "Non Silla jangan sedih ya? Mommy-nya Non nggak bakal kabur lagi kok." "Sungguh? Bibi nggak lagi bohongin Silla, 'kan?" "Ya, enggak dong, Non. Masa bibi tega bohongin Non Silla. Bibi bangun dari pagi. Burung-burung aja belum berkicau, bibi udah beberes rumah. Bibi nggak lihat tuh mommy-nya Non keluar dari kamar." "Benar ya, Bi?" "Iya. Mungkin mommy-nya Non Silla kecapekan. Habis sakit langsung main basah-basahan." "Oh iya,
"Mommy, Mommy udah sembuh?" Silla menengadah, memagut pinggang Arisha yang baru saja selesai berdandan. "Iya, Sayang. Sekarang mommy udah bisa masuk kerja." Entah kenapa Arisha ikut terlazim menyapa dirinya dengan sapaan mommy, seperti yang dilakukan Silla. Dia bahkan merasa Silla seperti benar-benar putri kandungnya. Ada ikatan batin yang tak ia mengerti, terjalin antara dirinya dan Silla. Silla cemberut. "Mommy, ngapain mommy harus kerja? Daddy punya banyak uang. Mommy sama Silla aja di rumah." Arisha melepaskan belitan lengan mungil Silla dari pinggangnya, ia membungkuk, menyamakan ketinggian wajahnya dengan Silla. "Sayang, nanti kalau Silla udah besar, Silla akan mengerti kenapa wanita dewasa juga harus bekerja." "Apa Mommy akan tetap pulang setelah bekerja?" "Tentu. Mommy udah janji akan nemenin Silla malam hari." Arisha mengelus pipi Silla. Gadis mungil itu meresponsnya dengan kecupan hangat. Keduanya lantas meninggalkan kamar Arisha sambil bergandengan tangan. Lambaia
"Kau habis minum-minum? Bukankah sudah jelas aturan di perusahaan ini bahwa karyawan dilarang menyentuh minuman setan itu selama jam kerja?" "Minum apanya? Kau bahkan memberiku pekerjaan yang menggunung. Kopiku sampai dingin karena tak tersentuh," gerutu James seraya meletakkan setumpuk dokumen di atas meja kerja Dareen. Dareen bangkit dan bertanya heran. "Benarkah? Atau itu cangkir yang ketiga?" James mengibaskan tangan. "Ah, sudahlah! Itu bukan urusanmu." James terlihat mengkhayal sembari geleng-geleng kepala. "Aku benar-benar kaget melihat bagaimana Arisha membuat sekretarismu mati kutu." "Sekretaris? Bukankah aku sudah memintamu untuk memindahkannya? Atau kalau perlu, pecat saja dia!" James menepuk jidat. "Ah, ya. Aku lupa." "Sepertinya kau terlena dengan bonus yang kuberikan akhir-akhir ini, huh? Kau keranjingan pesta?" "Akan kuurus sekarang!" Mendugas James meninggalkan ruang kerja Dareen. Dareen mengempaskan bokong ke atas kursi kebesarannya. "Ck! Sudah kubilang aku
Dareen mengeritkan gigi. Ia berbalik sambil melepaskan belitan lengan tamu tak diundang itu dari pinggangnya. "Sudah berkali-kali kuperingatkan, jaga sikapmu, Davina!" "Tapi, aku kangen, Kak …" Davina merajuk manja. "Kakak sudah lama sekali tidak mengirim kabar." Davina menyelipkan ujung rambutnya ke balik telinga. Ekspresi mukanya tersenyum malu-malu. "Tidak penting!" Dareen menyeret Davina ke ruang tamu, lalu mendorong wanita itu ke sofa. "Duduk di sini dan jangan melewati batasan ruang tamu!" "Kak, kamu kasar sekali!" Davina mengelus jejak cekalan Dareen pada pergelangan tangannya dengan mata berkaca-kaca. Keduanya saling bertatapan. Dareen dengan kilat kebencian dan Davina dengan perasaan terluka. Arisha menyaksikan adegan saling pandang itu dari undakan tangga. Dia memilih untuk pura-pura tak melihat dan terus melangkah ke dapur. Menyibukkan diri dengan menyiapkan hidangan untuk makan malam mungkin dapat mengusir keresahan yang tiba-tiba saja menyusupi hatinya. Davina me
Tuk! Tuk! Derap langkah bernada angkuh bergema memenuhi setiap sudut ruang tamu Dareen hingga terdengar ke ruang tengah. "Apa-apaan kamu, Dareen!" Dareen yang sedang fokus dengan tabletnya mendongak. Suara bentakan Rosalind memecah konsentrasinya. "Apakah Anda lupa bagaimana caranya bertamu, Nyonya?" tanya Dareen dengan nada dingin. "Aku yang seharusnya bertanya, apakah begitu caramu menyambut tamu yang rela jauh-jauh terbang ke sini hanya untuk menemuimu? Dengan mengusirnya? Di mana sopan santunmu, Dareen?" Dareen segera paham. "Aku tidak ingat pernah mengundang wanita itu untuk datang berkunjung." "Kamu—" Rosalind menggeram marah seraya mengepalkan tangan. Meski telah berpuluh tahun menjadi ibu sambung bagi Dareen, Dareen masih saja bersikap dingin dan cenderung membangkang kepadanya. Ia telah melakukan segala cara untuk meluluhkan hati Dareen, tapi Dareen tak pernah membuka hati untuknya. Malah lelaki muda itu menunjukkan kebencian yang tiada tara, walaupun tidak secara ter