"Daddy!" Silla berlari mengejar Dareen yang hampir mencapai pintu depan. Dareen berbalik. "Ada apa, Sayang?" "Daddy, mommy nggak bangun-bangun. Silla udah ketuk-ketuk pintu kamar mommy, tapi mommy nggak keluar-keluar." Silla mulai merengek, menarik-narik tangan Dareen. "Daddy, Silla takut mommy kabur lagi." Dareen terperanjat. Pikiran buruk itu juga mengganggu ketenangannya. "Silla sama Bi Minah dulu ya, Sayang! Daddy akan cek mommy di kamarnya." Dareen menoleh pada Bi Minah. "Bi, tolong jaga Silla!" "Ayo, Non!" Bi Minah membimbing Silla ke ruang bermain. "Non Silla jangan sedih ya? Mommy-nya Non nggak bakal kabur lagi kok." "Sungguh? Bibi nggak lagi bohongin Silla, 'kan?" "Ya, enggak dong, Non. Masa bibi tega bohongin Non Silla. Bibi bangun dari pagi. Burung-burung aja belum berkicau, bibi udah beberes rumah. Bibi nggak lihat tuh mommy-nya Non keluar dari kamar." "Benar ya, Bi?" "Iya. Mungkin mommy-nya Non Silla kecapekan. Habis sakit langsung main basah-basahan." "Oh iya,
"Mommy, Mommy udah sembuh?" Silla menengadah, memagut pinggang Arisha yang baru saja selesai berdandan. "Iya, Sayang. Sekarang mommy udah bisa masuk kerja." Entah kenapa Arisha ikut terlazim menyapa dirinya dengan sapaan mommy, seperti yang dilakukan Silla. Dia bahkan merasa Silla seperti benar-benar putri kandungnya. Ada ikatan batin yang tak ia mengerti, terjalin antara dirinya dan Silla. Silla cemberut. "Mommy, ngapain mommy harus kerja? Daddy punya banyak uang. Mommy sama Silla aja di rumah." Arisha melepaskan belitan lengan mungil Silla dari pinggangnya, ia membungkuk, menyamakan ketinggian wajahnya dengan Silla. "Sayang, nanti kalau Silla udah besar, Silla akan mengerti kenapa wanita dewasa juga harus bekerja." "Apa Mommy akan tetap pulang setelah bekerja?" "Tentu. Mommy udah janji akan nemenin Silla malam hari." Arisha mengelus pipi Silla. Gadis mungil itu meresponsnya dengan kecupan hangat. Keduanya lantas meninggalkan kamar Arisha sambil bergandengan tangan. Lambaia
"Kau habis minum-minum? Bukankah sudah jelas aturan di perusahaan ini bahwa karyawan dilarang menyentuh minuman setan itu selama jam kerja?" "Minum apanya? Kau bahkan memberiku pekerjaan yang menggunung. Kopiku sampai dingin karena tak tersentuh," gerutu James seraya meletakkan setumpuk dokumen di atas meja kerja Dareen. Dareen bangkit dan bertanya heran. "Benarkah? Atau itu cangkir yang ketiga?" James mengibaskan tangan. "Ah, sudahlah! Itu bukan urusanmu." James terlihat mengkhayal sembari geleng-geleng kepala. "Aku benar-benar kaget melihat bagaimana Arisha membuat sekretarismu mati kutu." "Sekretaris? Bukankah aku sudah memintamu untuk memindahkannya? Atau kalau perlu, pecat saja dia!" James menepuk jidat. "Ah, ya. Aku lupa." "Sepertinya kau terlena dengan bonus yang kuberikan akhir-akhir ini, huh? Kau keranjingan pesta?" "Akan kuurus sekarang!" Mendugas James meninggalkan ruang kerja Dareen. Dareen mengempaskan bokong ke atas kursi kebesarannya. "Ck! Sudah kubilang aku
Dareen mengeritkan gigi. Ia berbalik sambil melepaskan belitan lengan tamu tak diundang itu dari pinggangnya. "Sudah berkali-kali kuperingatkan, jaga sikapmu, Davina!" "Tapi, aku kangen, Kak …" Davina merajuk manja. "Kakak sudah lama sekali tidak mengirim kabar." Davina menyelipkan ujung rambutnya ke balik telinga. Ekspresi mukanya tersenyum malu-malu. "Tidak penting!" Dareen menyeret Davina ke ruang tamu, lalu mendorong wanita itu ke sofa. "Duduk di sini dan jangan melewati batasan ruang tamu!" "Kak, kamu kasar sekali!" Davina mengelus jejak cekalan Dareen pada pergelangan tangannya dengan mata berkaca-kaca. Keduanya saling bertatapan. Dareen dengan kilat kebencian dan Davina dengan perasaan terluka. Arisha menyaksikan adegan saling pandang itu dari undakan tangga. Dia memilih untuk pura-pura tak melihat dan terus melangkah ke dapur. Menyibukkan diri dengan menyiapkan hidangan untuk makan malam mungkin dapat mengusir keresahan yang tiba-tiba saja menyusupi hatinya. Davina me
Tuk! Tuk! Derap langkah bernada angkuh bergema memenuhi setiap sudut ruang tamu Dareen hingga terdengar ke ruang tengah. "Apa-apaan kamu, Dareen!" Dareen yang sedang fokus dengan tabletnya mendongak. Suara bentakan Rosalind memecah konsentrasinya. "Apakah Anda lupa bagaimana caranya bertamu, Nyonya?" tanya Dareen dengan nada dingin. "Aku yang seharusnya bertanya, apakah begitu caramu menyambut tamu yang rela jauh-jauh terbang ke sini hanya untuk menemuimu? Dengan mengusirnya? Di mana sopan santunmu, Dareen?" Dareen segera paham. "Aku tidak ingat pernah mengundang wanita itu untuk datang berkunjung." "Kamu—" Rosalind menggeram marah seraya mengepalkan tangan. Meski telah berpuluh tahun menjadi ibu sambung bagi Dareen, Dareen masih saja bersikap dingin dan cenderung membangkang kepadanya. Ia telah melakukan segala cara untuk meluluhkan hati Dareen, tapi Dareen tak pernah membuka hati untuknya. Malah lelaki muda itu menunjukkan kebencian yang tiada tara, walaupun tidak secara ter
"Mommy, lihat! Mainan itu cantik-cantik!" Silla berlari ke rak yang memajang beragam mainan. Tangannya berpindah dari satu mainan ke mainan lainnya. "Wah, boneka barbie-nya cantik." Silla bergeser ke sisi yang lain. "Yang ini juga." Silla gemas sendiri melihat ada begitu banyak mainan yang sesuai dengan seleranya. "Mommy, beli ini ya?" Silla mengambil boneka barbie paket lengkap. "Ini lagi. Ini juga!" Arisha geleng-geleng kepala melihat lengan mungil Silla telah dijejali dengan begitu banyak mainan. Pelan-pelan Arisha mengambil alih mainan itu dari tangan Silla dan menaruh kembali ke tempat semula. Silla tercengang. "Yaaa … Mommy … kok dibalikin sih mainannya?" "Sayang, tidak baik mengambil terlalu banyak. Silla boleh beli, tapi pilih satu yang paling Silla suka. Yang lain, mungkin nanti kalau memang sudah waktunya mainan Silla untuk diganti." "Mommy …." Silla mulai merengek. "Oke. Dua. Tidak ada lagi tawar-menawar. Kalau Silla mau, ambil! Kalau tidak, kita pulang!" Toko mai
Bugh! Arisha menghantam Alfian dengan siku. "Akh! Sialan! Kau berani main kasar sekarang, Arisha!" Alfian meringis. Hantaman siku Arisha bersarang tepat di ulu hatinya. Arisha berbalik. Jika dia tak bisa membuka pintu, maka dia harus berhadapan dengan Alfian. Mungkin memang sudah saatnya dia mempraktikkan ilmu bela diri yang diajarkan oleh Rasyad. Alfian tegak lurus setelah nyerinya agak berkurang. Ia menyeringai. "Rupanya kau memiliki banyak kemajuan setelah tinggal di kota, Arisha. Aku suka itu. Ayo bersenang-senang!" "Pecundang! Beraninya melawan wanita," ejek Arisha seraya meludah ke lantai. "Aku semakin membencimu, Alfian!" "Ssst! Jangan bilang benci, Arisha! Aku tidak suka itu. Sampai kapan pun, kau hanya boleh mencintaiku." Alfian merentangkan tangan. "Kemarilah! Aku sangat merindukan pelukanmu." Arisha memasang kuda-kuda. Sepertinya otak Alfian tak lagi bekerja dengan baik. "Kau tak mau?" Alfian meneleng. "Ah, kau mungkin malu. Baiklah, biar aku yang mendatangimu." A
"Apa kamu masih belum ingin bercerita?" Dareen mendongak setelah ruam merah yang melingkari pergelangan kaki Arisha mulai terlihat memudar. Arisha tetap bungkam. Dia tidak mungkin menceritakan bahwa dirinya nyaris menjadi korban kebiadaban Alfian. Belum tentu Dareen akan percaya pada ceritanya. Bisa jadi juga lelaki itu akan berpikiran buruk tentang dirinya. "Baiklah. Aku tidak akan memaksa." Dareen menyerah. "Mulai sekarang, belajarlah untuk lebih hati-hati dan menjaga diri dengan baik!" Dareen memberi waktu kepada Arisha untuk menenangkan diri. Dia sungguh tak menyangka bahwa dia akan melakukan hal konyol karena seorang gadis. Ingatannya menapak tilas kejadian di mall. "Silla? Kenapa dia sama sopir?" Dareen urung membuka pintu mobilnya kala melihat sosok Silla berdiri menatap pintu masuk mall, hanya ditemani oleh sang sopir. Dareen mendekat. "Sayang, kok belum pulang?" "Daddy! Daddy juga di sini?" Wajah Silla berbinar cerah melihat kemunculan Dareen. "Iya. Kebetulan daddy ada