Arisha berusaha menyikut seseorang yang membekapnya. Setitik bulir bening menetes di pipinya. Memikirkan kenapa hidupnya selalu berada dalam masalah. "Sst! Ini aku! Rasyad!" bisik lelaki yang di belakangnya. Seketika membuat Arisha berhenti memberontak dan merasa lega. Sementara Dareen masih sibuk mencari keberadaan Arisha, hingga langkah kakinya terdengar mendekat ke tempat persembunyian Arisha Jantung Arisha berdebar kencang. Bahkan, Rasyad pun dapat mendengarnya. Rasyad menyilangkan jari telunjuk di bibir tanpa suara. Ia melepaskan Arisha dan mengode wanita itu agar tetap bersembunyi di tempatnya. Arisha mengangguk, merapatkan punggung ke dinding. Tak lama kemudian, terdengar suara air mengalir. Arisha baru menyadari bahwa mereka bersembunyi di dalam toilet. Brak! Brak! Terdengar suara pintu toilet didorong dengan kasar satu per satu, hingga akhirnya tiba di tempat Arisha bersembunyi. Rasyad menoleh ke belakang dengan gerakan seolah-olah tangannya sedang terburu-buru menga
Semilir angin sore bertiup sepoi. Menghadirkan rasa sejuk yang menenangkan batin. Arisha berjalan menyusuri taman kota dengan langkah pelan. Di sampingnya, Rasyad berulang kali meliriknya tanpa ia sadari. Sesekali pria itu ikut tersenyum kala bibirnya merekah, menyaksikan keindahan taman dan lucunya tingkah polah burung-burung yang sedang bercanda atau berebut makanan dari pengunjung. "Enak sekali hidup mereka. Nggak ada beban dan bebas berkelana ke mana aja," ujar Arisha, seakan berbicara pada diri sendiri. Tatapannya tertuju pada sekumpulan burung yang sedang menikmati remah roti dari kemurahan hati para pengunjung taman. "Terkadang, apa yang orang lain rasakan, tak persis sama dengan apa yang kita lihat," timpal Rasyad, juga melabuhkan pandangan pada burung-burung yang kelaparan itu. "Setiap orang punya kisah hidup yang mereka simpan untuk diri sendiri. Tak sedikit dari mereka yang pandai menutupi luka dan pahitnya kehidupan dengan bersembunyi di balik topeng senyum kepalsuan."
"Kalian salah paham. Aku bukan wanita seperti itu." Arisha mencoba meluruskan pola pikir rekan kerjanya yang keliru. "Alah! Mana mungkin kamu mau mengakui sesuatu yang memalukan seperti itu." "Benar! Selama ini Pak Bos tidak pernah menerima koki baru tanpa melalui serangkaian tes. Kamu sendiri yang masuk ke sini lewat jalur ekspres." Arisha tersenyum kecut. Percuma ia membela diri mati-matian. Semua itu tidak akan ada gunanya. Golongan pembenci yang hatinya telah dikuasai oleh sifat iri dan dengki, tidak akan pernah mampu melihat kebenaran. Mereka hanya percaya dengan apa yang mereka yakini. "Terserah kalian saja. Yang jelas, aku bukan wanita seperti itu." Arisha menjauh dari loker. Seseorang dengan sengaja menjegal kakinya, hingga Arisha nyaris tersungkur. Beruntung Rasyad tiba tepat waktu. Lelaki itu sigap menangkap tubuh Arisha. "Maaf!" Cepat-cepat Arisha melepaskan diri dari dekapan Rasyad. Pemandangan itu membuat karyawan, yang masih berada di ruangan tersebut, saling le
"Arisha! Dipanggil Chef Danu!" seru seorang rekan kerja Arisha. "Sebentar! Tanggung nih." Arisha sedang menyiapkan menu pesanan pelanggan. "Sini! Biar aku yang teruskan. Chef Danu tidak suka menunggu." Lelaki itu mengambil alih wajan di tangan Arisha. "Terima kasih!" Arisha melepaskan celemek yang dikenakannya. Ia senang masih ada koki yang tidak ikut-ikutan membencinya. Ia pun meninggalkan dapur dengan bibir menyunggingkan senyum. Di antara berjuta hal buruk yang menabur duka, tetap ada satu hal baik yang patut untuk disyukuri. "Anda memanggil saya, Chef?" tanya Arisha, setelah Chef Danu mengizinkannya untuk masuk ke ruangannya. "Silakan duduk, Arisha!" Chef Danu menunjuk sofa mini di sudut ruangannya, lalu menyusul Arisha. "Kau tahu kenapa kupanggil kemari?" Arisha menggeleng. Mukanya sedikit tegang. "Santai saja! Aku tidak akan menghukummu! Justru aku akan memberikan penawaran yang menguntungkan," seloroh Chef Danu, berusaha mengusir ketegangan Arisha. "Penawaran?" Arish
Arisha melipat seragam kokinya dan menyimpan kembali ke dalam loker. "Heh, wanita murahan!" panggil Shinta, mendekat pada Arisha yang sedang mengunci loker. "Aku tak peduli kau tidur dengan siapa untuk bisa bekerja di sini, tapi kuperingatkan kau … jangan pernah merampas apa yang seharusnya menjadi milikku!" Arisha memasukkan kunci lokernya ke dalam saku. "Kamu salah paham. Aku tidak berniat untuk mengambil hak milik orang lain." Shinta mencibir. "Munafik! Kau kan yang mengambil alih tugas menyiapkan menu pesanan keluarga Tuan Muda Hart?" "Kalau kamu menginginkannya, kamu bisa memintanya pada Chef Danu. Aku telah menolak tawaran itu, tapi Chef Danu memaksa. Aku bisa apa? Aku hanya bawahan yang harus patuh pada atasan." Arisha menyahut, acuh tak acuh. Memperdebatkan sesuatu yang tidak perlu hanya akan buang-buang tenaga. Lebih baik ia segera pulang dan beristirahat. Mengisi kembali dayanya untuk aktivitas esok hari. "Kau!" Shinta menggeram marah. Terlebih saat Arisha melewatinya
"Kak, kok lama banget sih? Lapar nih!" Kepala Irsyad muncul dari celah pintu kamar Arisha yang tak tertutup rapat. "Kakak ngapain lama-lama di kamar kakak cantik?' Cepat-cepat Rasyad keluar sebelum sang adik mencecarnya dengan pertanyaan susulan. Hatinya sungguh tak tenang. Tidak biasanya Arisha terlambat untuk makan malam. "Ehm, Irsyad!" Rasyad mengerem langkah dan berbalik. "Kau … sempat ketemu Arisha tidak, sebelum turun tadi?" "Kenapa memangnya? Aku malah sempat mencicipi masakan kakak cantik sebelum mandi tadi. Dia benar-benar jago urusan dapur. Ekspresinya itu lho … saat fokus bekerja, dia terlihat sangat cantik dan bikin gemas!" Bak seseorang yang tengah dimabuk asmara, roman muka Irsyad penuh khayal dan memuja. Tak ketinggalan senyuman yang mendamba. Rasyad justru bertambah cemas setelah mendengar celoteh Irsyad. 'Ya Allah, jangan-jangan Arisha kabur dari rumah!' batin Rasyad, berlari turun mendua katak, menuju pintu depan. "Kak!" Irsyad garuk-garuk kepala melihat ting
"Arisha …." Dareen membisik lirih nama Arisha seraya tersenyum melihat seorang wanita berhijab, terpaku menatap punggung lelaki tua yang mulai menjauh, berjalan tertatih dengan sebatang tongkat kayu. Langkah Dareen terayun cepat mendekati wanita itu, seakan takut dia menghilang dalam sekelip mata. "Arisha!" panggil Dareen sembari menepuk pelan pundak wanita itu. Wanita itu berbalik. Dareen menapak mundur, lalu buru-buru membungkuk berulang kali. "Maaf, maaf! Saya … saya kira Anda seseorang yang saya kenal." Wanita itu tersenyum. "Tidak apa-apa. Dia pasti seseorang yang sangat spesial bagi Anda. Jika tidak, mustahil Anda melihat wanita lain menyerupai dia." Untung saja wanita itu memiliki pemikiran yang bijak. Kalau tidak, Dareen bakal malu setengah mati bila wanita tersebut murka dan menganggapnya laki-laki mesum. "Sekali lagi, maaf!" Dareen kembali membungkuk, lalu berjalan masuk ke Rumah Sakit. Sejenak Dareen mengatur napas kala tiba di depan pintu ruangan Silla. Setelah me
"Daddy! Daddy!" Tangan mungil Silla mengguncang-guncang pundak Dareen. "Arisha!" Dareen terlonjak, duduk tegap. "Daddy mimpi buruk?" Silla mengelus pipi Dareen. Dareen memijat pelipisnya. Rupanya dia hanya mimpi, tapi rasanya begitu nyata. Dareen tak menyadari bahwa saat ia lelah terperangkap dalam pikiran yang tak berujung tentang Arisha, ia akhirnya jatuh tertidur bersama Silla. Khayalannya terbawa hingga ke alam mimpi. "Maafkan daddy, Sayang!" Dareen memeluk Silla yang duduk bersimpuh di hadapannya. "Apa teriakan daddy yang membangunkanmu?" Silla menggeleng. "Silla haus." "Oh, baiklah. Tunggu sebentar!" Dareen langsung tegak, beranjak menuju nakas untuk mengambil sebotol air mineral. "Silla juga lapar?" "Enggak. Cuma haus." Dareen menuangkan air dari botol ke dalam gelas, kemudian meninggalkan nakas. "Minumlah!" Dareen mendekatkan bibir gelas ke mulut Silla. Gadis mungil itu benar-benar kehausan sampai-sampai ia menenggak minuman itu hingga tandas. "Lagi?" Silla mengg