"Arisha! Astaga! Kamu mau ke mana? Bukannya pulang ya?" Aji memburu Arisha, yang berbelok kembali menuju dapur setelah meninggalkan lokernya. "Huh?" Arisha menoleh bingung. "Iya. Ini baru mau pulang." Aji geleng-geleng kepala seraya mendecak. "Jalan pulang ke sana, Arisha …." Aji menunjuk koridor yang mengarah ke bagian depan restoran. "Huh? Aku salah?" Arisha memperhatikan lorong yang dilaluinya, lalu menoleh ke kiri, pada koridor lain yang ditunjuk oleh Aji. "Oh, ternyata memang salah." Arisha berbelok, mengikuti jalur yang benar. "Astaga, Arisha! Kamu kenapa sih? Dari siang tadi aneh banget." Aji menyejajari langkah gontai Arisha. "Tadi hampir bikin dapur kebanjiran, sekarang salah jalan. Besok apa lagi?" Arisha tak menyahut. Pikirannya masih dipenuhi dengan sejuta tanya tentang Alfian dan Rasyad. Ia masih belum percaya dengan berita yang didengarnya. Untuk bertanya pun rasanya malu. Takut nanti Rasyad mengira bahwa dia masih mengharap Alfian dalam hidupnya. Jadi serba salah
Bugh! Kepalan tinju Arisha mendarat, tepat di ulu hati Alfian, membuat lelaki itu terbungkuk. "Dan itu untuk penderitaanku yang nyaris kehilangan kehormatan!" Alfian melotot. "Arisha, aku … aku minta maaf." Akhirnya kata sakral itu meluncur juga dari bibir Alfian. Susah payah ia menahan sakit untuk bisa berdiri tegap, berhadapan dengan Arisha. "Aku melakukan itu, karena aku … sangat mencintaimu, Arisha! Aku ingin kau tetap menjadi milikku." Arisha menatap dingin pada Alfian dengan kemarahan yang tertahan. Tanpa diduga, kakinya melayang, menghantam senjata pusaka milik Alfian sekuat tenaga. Seketika kedua tangan Alfian menangkup aset paling berharganya yang terasa nyeri luar biasa. Ia melolong dan terempas ke lantai, meringkuk kesakitan. Aparat polisi, yang sedari tadi mengawasi Alfian, tetap berdiri di tempatnya. Pun sama halnya dengan Rasyad. Walau keduanya juga refleks menyentuh pusaka masing-masing dengan roman muka seakan-akan ikut merasa ngilu, tak ada dari mereka yang me
"Gila kamu ya! Tahu kamu jadi pelaku kriminal begini, ogah aku bantuin kamu!" "Aku juga menyesal, Hanna. Aku dibutakan oleh cinta. Aku tidak rela Arisha menjadi milik lelaki lain. Makanya aku melakukan segala cara untuk mendapatkannya." "Tapi, nggak gini juga caranya, Alfian!" Hanna geregetan sendiri dengan kelakuan teman masa kecilnya itu. "Sekarang lihat hasilnya! Kamu mendekam di sini. Untung Arisha nggak kenapa-napa." Hanna kesal dengan aksi nekat Alfian, yang hampir saja menodai kehormatan Arisha. Hanna tidak benar-benar peduli pada Arisha. Ia hanya tidak rela, aset berharga yang akan ia jual kepada salah satu pelanggannya cacat sebelum ia berhasil meraup keuntungan. Jika keinginannya telah tercapai, ia bahkan tak peduli bila Arisha mati sekalipun. "Kau bisa bantu aku keluar dari sini kan, Hanna?" "Pakai apa? Kamu pikir aku punya banyak uang? Untuk bertahan hidup saja susah, apalagi membayar biaya pembebasan kamu." Hanna menjawab ketus. Niatnya mau bekerja sama dengan Alf
"Jadi kamu sudah bertemu dengan gadis itu? Kenapa tidak memberitahu oma? Kamu sengaja ingin membuat oma tersiksa karena rasa bersalah? Iya?" Nyonya Hart memburu Dareen dan membombardir sang cucu dengan serentetan pertanyaan bernada tinggi. Alhasil, napasnya tersengal-sengal setelah berada di puncak tangga. Ia berpegangan pada kepala pagar pembatas. Dareen terus saja berjalan tanpa menghiraukan serangan peluru tanya dari Nyonya Hart. "Dareen! Keterlaluan kamu! Tega-teganya kamu mengabaikan oma!" Ingin rasanya Nyonya Hart kembali memburu Dareen, tapi tenaganya sungguh lemah. Lututnya gemetar lantaran tergesa-gesa menaiki tangga demi mengejar langkah Dareen. "Ya Allah, apakah dosaku terlalu besar sampai-sampai cucu sendiri menjauh dariku?" "Nggak usah banyak drama, Oma! Geli mendengarnya!" Tahu-tahu Dareen telah tegak di depan Nyonya Hart seraya menyodorkan sebotol air mineral yang diambilnya dari kamar. "Minumlah! Oma pasti haus." Kekesalan Nyonya Hart melunak begitu mendapat pe
"Daddy, Silla cantik, nggak!" Silla berputar-putar di depan kaca, memperhatikan penampilannya yang mengenakan gaun berwarna pink."Cantik! Princess daddy yang tercantik!" Dareen yang duduk di atas sofa mendekat ke cermin."Silla nggak sabar pengin ketemu, Kak Sha." Silla menggandeng tangan Dareen. "Ayo berangkat, Daddy!""Ayo! Let's go!"Dalam hitungan menit mereka telah berada dalam perjalanan menuju restoran, tempat Arisha bekerja."Daddy, Daddy! Berhenti!"Refleks Dareen menginjak rem. "Ada apa? Princess daddy kelupaan sesuatu?"Silla menggeleng. "Bukan Silla, tapi Daddy?""Huh? Daddy?" Dareen mengecek ponsel dan dompet. Dua benda keramat yang memuat kartu dan nomor sakti itu berada di tempat yang semestinya."Nggak ada yang lupa. Nih ponsel sama dompet daddy ada.""Ish, Daddy! Bukan itu ….""Terus, apa dong?"Silla melepaskan sabuk pengaman, lalu berdiri di atas lutut. Ia memutar kepala Dareen ke sisi kiri jalan, lalu menunjuk ke suatu tempat."Itu, Daddy lupa beli itu!"Mata Dare
Tin! Tin!Berkali-kali Dareen membunyikan klakson. Mobil di depannya belum juga bergerak."Argh! Apa yang dia lakukan di sana? Kenapa belum berjalan juga?"Kesal lantaran laju kendaraannya terhalang, Dareen mengoper gigi mundur. Ia berbalik arah, lalu mengambil jalur yang berbeda.Dareen memacu kuda besinya dengan kecepatan tinggi. Berulang kali ia nyaris bertabrakan dengan kendaraan lain saat menyalip.Begitu tiba di Rumah Sakit, Dareen segera turun dari mobil dan berlari masuk.Dengan keringat bercucuran dan hati yang dilanda cemas, Dareen menyibak kasar setiap tirai yang ada di ruang IGD."Kasihan sekali! Pasien terakhir, yang dievakuasi tim damkar, langsung dikirim ke kamar mayat. Ia mengembuskan napas terakhir saat dalam perjalanan.""Gadis yang malang!""Iya. Seluruh tubuhnya hangus dan tak lagi bisa dikenali."Langkah Dareen terhenti. Ia tak lagi kuasa untuk menyibak tirai terakhir setelah mendengar percakapan dua orang perawat yang baru saja selesai menjalankan tugas mereka, m
"Tuan Muda Hart?" Dareen tertegun. Ia mempertajam pendengarannya. Suara sang penyapa sungguh sangat familier di telinganya. "Apa yang Anda lakukan di sini?" Perlahan Dareen berbalik. Dadanya berdebar-debar. Netra abu-abu milik Dareen langsung bertemu pandang dengan sepasang manik biru, yang hanya berjarak tiga langkah darinya. "Arisha …." "Apa yang Anda lakukan di sini?" Arisha mengulang pertanyaannya. Dareen tersenyum lebar, lalu menderap cepat, memeluk Arisha tanpa permisi. Arisha kaget dan tak sempat menghindar. Ia mematung dengan perasaan tak keruan. "Syukurlah kamu baik-baik saja." "Tuan Hart, lepas!" Arisha menepuk punggung Dareen. "Anda membuat saya sudah bernapas." Refleks Dareen mengurai dekapannya dan melangkah mundur. Ia jadi salah tingkah karena telah bersikap sangat emosional. "Anda … mencemaskan saya?" "E–enggak. Aku cuma bersimpati … ya, bersimpati … sedikit …" Dareen melipat tiga jari, lalu membentuk simbol sedikit dengan merapatkan jari telunjuk dan jemp
Arisha berdiri kaku di depan pintu. Pengusiran yang dilakukan oleh Nyonya Hart masih begitu membekas di hatinya. Ingatan itu menguat saat bertatapan langsung dengan wanita sepuh tersebut. "Selamat sore, Nyonya!" Arisha menyapa Nyonya Hart setelah berhasil mengesampingkan egonya yang sempat terluka. Nyonya Hart sadar dari bengongnya. "Ah, ayo masuk!" "Jangan takut! Oma udah jinak!" bisik Dareen, memberi kekuatan pada Arisha. Berkat bisikan itu, Arisha akhirnya melangkah masuk dan duduk di ruang tamu. "Mommy!" jerit Silla, turun dari gendongan James. Nyonya Hart terperanjat. "Mommy?" Arisha jadi kikuk. Dalam hati ia menggerundel, 'Aduh, Silla kenapa harus manggil mommy sih kalau lagi di rumah begini? Nyonya Hart bisa salah paham.' "Sini, Sayang! Pangku sama daddy!" panggil Dareen yang duduk di sebelah kanan Arisha. Silla tak menggubris permintaan Dareen. Ia malah melompat ke pangkuan Arisha dan mengalungkan lengannya pada leher Arisha. "Mommy, Silla kangen banget sama mommy. M