Farrin memandang teduh wajah cantik nan gembul milik gadis kecil di tempat duduk seberang meja. Gadis itu, gadis yang sekilas terlihat bahagia. Namun, Farrin yakin jika wajah bahagia bukan cerminan hidupnya. Gadis kecil itu sudah banyak melalui hal yang tak dilalui gadis seusianya.
Ayahnya hanya hidup berdua dengan seorang adik laki-laki yang masih duduk di bangku kuliah dan menjaganya secara bergantian. Mereka juga tak mempekerjakan seorang pengasuh bayi karena keterbatasan ekonomi. Saat ini, paman yang biasa menjaganya tengah sibuk mengerjakan tugas akhir untuk persiapan wisuda hingga tak ada waktu untuk menjaga. Beruntung, ayah gadis kecil itu mendapat informasi dari rekan kerja jika ada sekolah yang menerima penitipan juga. Gadis kecil itu juga telah cukup usia untuk masuk sekolah hingga mereka bisa menitipkan di sana hingga jam kerja ayahnya berakhir.
Setelah sampai di café, Farrin bisa melihat betapa antusias gadis kecil itu saat Farrin menjelaskan satu persatu nama menu yang belum pernah ia dengar, hingga ia bisa memutuskan makanan apa yang perlu dipesan. Tentu saja, Farrin tak melupakan pesanan Vian juga. Lalu tak lama setelah itu, Vian telah muncul dengan setelan kantor yang telah kusut di beberapa bagian.
“Kau datang lebih cepat dari waktu yang kuperkirakan," ujar Farrin.
Vian mengernyit heran. Seingatnya, ia malah merasa jika ia akan terlambat dan membuat Farrin menunggu. Namun, pesanan mereka bahkan belum selesai. Mungkin Farrin benar, ia datang lebih cepat.
“Kakak ini ini siapa, Kak Farrin? Mengapa dia duduk semeja dengan kita?” tanya gadis kecil itu.
Farrin tersenyum kecil. Wajar jika gadis kecil itu bertanya. Ia ingat bahkan ia belum pernah mempertemukan mereka berdua dalam satu waktu. Apalagi naluri anak kecil memang memiliki rasa penasaran yang tinggi. Jadi, ia maklum.
“Kakak ini adalah tunangan Kak Farrin, Areum sayang. Namanya Kak Vian.”
“Tunangan?” Beo gadis kecil itu.
Ah, Farrin hampir menepuk kepalanya sendiri jika ia tak ingat kalau mereka sedang berada di tempat ramai seperti sekarang ini. Tentu saja gadis itu bingung. Di usia yang sekarang pastilah belum tahu apa arti tunangan.
“Maksudnya, kakak ini adalah orang yang akan kakak nikahi sebentar lagi. Begitu. Areum mengerti?”
“Apakah tunangan itu adalah orang yang harus kita nikahi?” tanya Areum polos.
Farrin bingung, sebenarnya ia ingin menjelaskan hal ini sesederhana mungkin. Tapi, bagaimana? Ia juga masih berusaha mencari kosa kata mudah yang bisa menjelaskan kepada Areum. Kalian tahu, penjelasan yang terlalu rumit bisa membuat diri sendiri bingung nantinya.
“Tunangan itu tidak harus orang yang akan kita nikahi, Reum. Tapi tunangan itu adalah orang dekat dengan kita dan terhubung satu sama lain. Begitu, gadis kecil.” Vian yang mulanya hanya diam kini mulai membuka suaranya setelah dirasa Farrin sedang mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan gadis kecil di sebelahnya itu.
“Jadi seperti ayah dan paman? Mereka juga dekat dengan Reum dan biasanya terhubung dengan Reum.”
Tentu saja, terhubung yang dimaksud gadis kecil itu adalah hubungan melalui alat komunikasi.
“Bukan seperti itu, Reum. Tunangan dekat dan terhubung. Namun, sebelumnya mereka bukan keluarga seperti Reum, ayah dan paman Reum. Mereka bukan keluarga, dan akan menjadi keluarga jika mereka berlanjut dan memutuskan untuk menikah,” jelas Vian.
Gadis kecil itu nampaknya mengerti dengan mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. Akan tetapi, siapa yang tahu jika gadis itu benar-benar mengerti atau bukan?
“Jadi kalau ayah punya tunangan dan mereka menikah, lalu tunangan ayah juga akan menjadi keluargaku juga, begitu?”
Vian terkekeh kecil, sepertinya gadis kecil ini telah menangkap penjelasannya tadi. “Iya. Selain itu juga jika ayahmu menikahi tunangannya, wanita yang menjadi tunangan ayahmu nanti akan menjadi ibumu,” jawabnya. Vian tak bisa menahan gemas kala melihat binar bahagia di mata gadis kecil itu. Ia jadi membayangkan, apakah nanti ketika ia menikahi seorang gadis dan memiliki anak perempuan akan semenggemaskan gadis kecil di hadapannya ini? Ah, tapi hatinya menjerit pilu. Memang siapa gadis yang mau dengan ia yang gila kerja ini? Ada yang tertarik dengannya saja ia merasa beruntung.
Tak tahu saja jika di perusahaan tempat Vian bekerja, tak sedikit wanita yang menaruh hati padanya dan tidak berani mengungkapkan perasaan mereka karena terhalang sikap dingin Vian. mereka enggan mendekat begitu menyadari Vian tak mau didekati siapa pun. Mereka sungkan dan juga enggan mendengar penolakan dari pria tampan berambut undercut itu.
“Kalau begitu Kak Vian jangan jadi tunangan Kak Farrin. Biar Kak Farrin menjadi tunangan ayah saja dan mereka menikah lalu Kak Farrin menjadi ibu Reum,” celetuk Areum.
Farrin ternganga kecil, tak menyangka jika gadis kecil itu bisa mengeluarkan ucapan yang sebegini gamblangnya. Sedang Vian, ia merasa terpojokkan oleh ucapan dan penjelasannya sendiri kepada gadis itu.
Hey, mana bisa begitu?
Kalaupun dia bisa memutus pertunangan Farrin, maka ia akan melakukannya dan membuat Farrin benar-benar bertungan dengannya dari pada menjadi tunangan sang kakak meski secara sembunyi-sembunyi seperti ini.
Vian tidak terima, sungguh!
Vian tak akan mampu melihat ayah gadis kecil itu mempersunting Farrin. Di sudut hati Vian, ia mematenkan Farrin hanya boleh menjadi menantu ibunya. Entah itu untuk Avan, atau dirinya. Tak boleh untuk pria lain. Apa lagi pria yang sudah memiliki anak seperti ayah gadis kecil itu.
Ia tak akan sudi.
Ada yang merasa keberatan dengan keputusan Vian?
Setelah makan siang yang cukup membuat hati seorang Vian menjadi jengkel, Vian memutuskan untuk tidak kembali ke kantornya. Ia telah melayangkan izin lewat pesan singkat pada sang atasan. Atasannya pun tak mempermasalahkan hal itu karena selama ini Vian belum pernah meminta izin sama sekali.Vian menggunakan waktu izinnya itu untuk menemani Farrin selama jam kerjanya. Dalam hatinya, sejujurnya ia tak ingin kecolongan untuk hal yang satu ini. Meski nyatanya wanita yang ada di dekatnya saat ini adalah tunangan kakaknya, ia tetap tak bisa membiarkan hal ini terjadi begitu saja. Mungkin bisa dikatakan jika dirinya posesif, tapi biarlah. Ia akan tetap melindungi wanita disisinya itu bagaimanapun kondisinya dari segala sesuatu yang berpotensi untuk direbut pria lain.Dengan dalih ingin menemani Farrin dan melihat kesibukannya bekerja sebagai pengasuh dan pengajar, Vian dapat dengan mudah menjadikan dirinya sosok yang kini menemani Farrin dalam mengurus beberapa anak. Tak dip
Vian pernah membayangkan jika kelak ia kencan, ia akan berpenampilan menarik dan terlihat menawan di hadapan pasangan kencannya. Saat ini, di kencan pertamanya, ia justru terlihat buruk karena penampilan setelah berkerja tak ia benahi. Tak ada baju rapi dan badan segar, yang ada hanya wajah dan baju yang kusut disertai dengan badan kumal tanpa mandi.Menyedihkan, ya.Namun, yang sama sekali tak ia sesali adalah bagaimana cara Farrin menjalankan kencan pertama mereka yang melebihi ekspektasi yang Vian inginkan. Farrin masih terlihat begitu menawan meski ia sama sepertinya yang kusut karena seharian bekerja. Melalui temaram lampu cafetaria di pinggir pantai itu, diam-diam Vian mengagumi paras Farrin. Ah, tidak. Ia memang selalu mengagumi paras Farrin. Lalu untuk malam ini, ia lebih mengaguminya.Farrin menjadi sosok sempurna dalam bayangannya. Tak ada kesalahan dalam kencan mereka, dan Vian sama sekali tak menyesal karena telah mengikuti ajakan Farrin untuk kencan
Sial!Vian telah kecolongan. Ia yakin jika ia tak akan bisa menepati janjinya beberapa waktu yang lalu tentang ia yang ingin membawa Farrin untuk berkunjung ke pantai setiap hari.Baiklah, ia akan meralat permintaannya yang itu. Setelah ini, mungkin ia akan berhati-hati dengan permintaannya.“Maafkan aku. Aku hanya ingin menikmati bagaimana angin pantai membelai rambut dan tubuhku. Bagaimana aku bisa mencium aroma laut dari jarak sedekat ini tidak seperti biasanya yang hanya bisa aku nikmati di balik kaca mobil. Aku tahu hal itu kekanakan. Tapi, sungguh! Aku hanya ingin menenangkan hatiku dengan memandang laut,” ujar Farrin.Vian memandang wajah Farrin. “Mengapa harus pantai?” tanyanya.Farrin menolehkan wajahnya dan memandang Vian dengan pandangan keheranan. “Maksudku ada pilihan lain untuk menenangkan diri selain pantai, ‘kan? Jika kau suka akan kesunyian dari hiruk pikuk manusia, bukankah ada gunung atau hutan
“Jadi, apakah lelaki itu yang membuatmu murung seperti ini? Apa perlu kita kembali dan membiarkanku memberikan beberapa pukulan di wajahnya karena membuat seorang wanita menjadi murung karena kedatangannya?” tanya Vian. Ia merasa amat tidak nyaman ketika mendapati Farrin tengah berwajah muram seperti ini. “Untuk apa? Tidak akan ada gunanya. Kau hanya akan melukai dirimu sendiri nantinya. Aku tak mau hal itu terjadi karena aku yakin semua hanya sia-sia semata,” jawab Farrin. Vian ingin sekali membalas ucapannya. Namun, seakan hal itu hanya bisa berhenti di mulut dan tak boleh mengeluarkan kata sama sekali. Menang benar, mungkin semua kaan menjadi sia-sia saja jika Vian kembali dan membalas perlakuan pria tadi karena secara tak langsung kedatangannya membuat wanita itu murung. Sedangkan Farrin, wanita itu merasa jika dirinya bersalah dalam hal ini. Vian, meski nyatanya mereka baru bersama dalam waktu dekat ini, ia bisa merasakan jika ada suatu perasaan yang men
Vian masih setia duduk dan diam memperhatikan Farrin yang masih sesenggukan. Jika saja bisa, ia ingin memeluk dan menyalurkan sebuah dukungan untuk wanita itu. ia ingin mengatakan berhenti. Namun, hal itu tak akan membuatnya lega karena cerita belum selesai.“Aku sama sekali tak tahu mengapa aku selalu berada di posisi seperti ini. Karena yang kutahu, aku ingin membahagiakan pasanganku. Aku ingin menjalani hidup dengan baik dan aku ingin aku tidak menyesal jika suatu saat aku kembali ditinggalkan. Hatiku seolah mengatakan jika aku harus melakukan hal itu atau hanya penyesalan yang ku dapat nantinya. Tapi sepertinya hidup tidak berjalan sesuai apa yang kita inginkan, ya? Nyatanya selalu ada penyesalan di setiap keputusan yang aku ambil.”Tangis Farrin makin deras. Vian mengerti, Farrin hanya mencoba untuk menjalani hidupnya dengan baik dan menginginkan sebuah hubungan yang baik pula. Ia kini merutuki kakak kembarnya yang bersikap semaunya sendiri itu. Bagaim
Saat ini, Farrin merasa jengah.Tentu saja.Karena pria yang beberapa hari lalu ia temui di pantai itu kini tak henti-hentinya menganggu semua hal yang berhubungan dengan Farrin saat wanita itu tidak dalam keadaan mengajar. Seperti saat ini, ia duduk di kursi yang terletak di taman sekolah tempat Farrin mengajar. Pria itu juga mengambil tempat yang berada di hadapan Farrin.Sebenanya, Farrin enggan menemui pria dari masa lalunya itu. Namun, mendapat tatapan tak mengenakkan dari kepala sekolah karena mengabaikan tamu membuatnya mengurungkan niatnya untuk kembali tak menganggap kedatangan lelaki itu. Karena bagi kepala sekolah, seorang tamu harus menjadi prioritas dan di perlakukan dengan baik. Kepala sekolah sama sekali tak mau tahu akan apapun yang terjadi di antara mereka berdua. Yang terpenting, Naru harus memperlakukan tamu dengan baik, itu poin utamanya.“Aku tahu aku yang salah di sini. Tapi, bisakah kita berbicara berdua? Aku ingin mengakui be
“Tapi jangan berharap lebih padaku. Aku memang menerima maafmu karena tugasku adalah memaafkan mereka yang meminta maaf. Namun, aku sama sekali tidak bisa mengubah pendirianku untuk kembali padamu seperti yang tempo hari kau minta padaku. Aku akan tetap melanjutkan apa yang ada di depanku tanpa menoleh lagi kebelakang. Juga, aku akan tetap melanjutkan pertunanganku dan tidak akan mengubah apapun bahkan jika kau terus meminta untuk mengakhirinya,” lanjut Farrin.Bak petir di siang bolong, kalimat itu mengusik hati Kiandra yang sebelumnya terasa bahagia karena Farrin memaafkannya.“Itu berarti kau belum memaafkanku.” Kiandra menunduk. Ia merasa kecewa atas penolakan Farrin dan membuatnya berkecil hati karena keputusan wanita itu. Bagi Kiandra, jika Farrin memaafkannya, bukankah itu berarti dia bisa kembali lagi seperti semula?Naif.Segalanya tak seringan itu untuk dipikirkan apalagi menyangkut hati. Seseorang bisa terluka hati
Setelah pertemuannya dengan Kiandra di café yang membuat banyak emosinya terkuras, kini Farrin tengah berada di butik langganan ibu dari Vian untuk fitting baju pengantinnya. Tentunya bersama sang calon ibu mertua dan Vian tentu saja. Namun yang Farrin bingungkan, Vian hanya lebih banyak diam dan terlihat sama sekali tidak antusias untuk mencoba pakaian yang akan mereka gunakan saat pernikahan nanti. Ia bahkan hanya bisa melihat Vian mencoba tuxedonya sekali lalu setelah itu berkaca sebentar dan melepasnya kembali. Apakah sebegitu tak inginnya Vian atas pernikahan mereka?Padahal, tak tahukah Farrin jika sebenarnya Vian bermuram karena ia mengingat kenyataan yang akan ia hadapi? Ia benci jika dirinya harus memakai baju yang akan ia gunakan untuk menghadiri pernikahan orang yang dia cintai dan tak bisa ia miliki. Ia juga tak ingin mengakui jika ia hanya akan menjadi pendamping orang yang menjadi pengantin sesungguhnya. Apa lagi saat melihat dengan jelas bahwa p