Share

part 11

Setelah makan siang yang cukup membuat hati seorang Vian menjadi jengkel, Vian memutuskan untuk tidak kembali ke kantornya. Ia telah melayangkan izin lewat pesan singkat pada sang atasan. Atasannya pun tak mempermasalahkan hal itu karena selama ini Vian belum pernah meminta izin sama sekali.

Vian menggunakan waktu izinnya itu untuk menemani Farrin selama jam kerjanya. Dalam hatinya, sejujurnya ia tak ingin kecolongan untuk hal yang satu ini. Meski nyatanya wanita yang ada di dekatnya saat ini adalah tunangan kakaknya, ia tetap tak bisa membiarkan hal ini terjadi begitu saja. Mungkin bisa dikatakan jika dirinya posesif, tapi biarlah. Ia akan tetap melindungi wanita disisinya itu bagaimanapun kondisinya dari segala sesuatu yang berpotensi untuk direbut pria lain.

Dengan dalih ingin menemani Farrin dan melihat kesibukannya bekerja sebagai pengasuh dan pengajar, Vian dapat dengan mudah menjadikan dirinya sosok yang kini menemani Farrin dalam mengurus beberapa anak. Tak dipungkiri jika hati Vian merasa hangat karenanya. Ia yang memang pada dasarnya menyukai anak kecil, tersenyum melihat interaksi Farrin yang dengan sabar merawat serta mengarahkan beberapa anak asuhnya untuk saling berbagi, main bersama, ataupun mengajari mereka tentang beberapa hal. Ah, ia jadi membayangkan jika nanti ia memiliki anak dengan Farrin, pasti Farrin akan sangat menyayangi anak mereka.

Akan tetapi, tentu saja hal itu tak diperbolehkan.

Karena ia kembali dibayangi tentang Farrin yang merupakan tunangan kakaknya dan ia tak berhak membayangkan hal itu. Di sini, ia hanya tunangan pengganti dan sebagai penjaga juga untuk tunangan kakaknya yang tengah dinas keluar negri. Ia jadi meratap miris. Ini cinta pertamanya, dan memiliki cerita sebegini tragis. Kini, ia mengerti perkataan sebagian orang, bahwa cinta pertama itu tak pernah berhasil.

Ah, malangnya dirinya. Sudah gagal dalam cinta pertama, menjaganya untuk orang lain, berpura-pura menjadi tunangan, lalu ditinggal menikah dan menjadi saudara iparnya. Mungkin jika Vian tak ingat Farrin milik kakaknya, ia pasti sudah berniat mengambil Farrin dan menikahinya untuk dirinya sendiri.

“Sedang melamunkan apa?” tanya Farrin.

Vian tersentak dari lamunannya dengan sedikit berjingkat kaget. Mendengar pertanyaan Farrin, ia sama sekali tak ingin menjawab hal itu secara gamblang dan jujur. Tak mungkin kan ia menjawab jika ia sedang memikirkan tunangan kakaknya? Hal itu nantinya bisa berakibat fatal karena Farrin bisa berpikir tentang hal yang tidak mungkin.

Ingat! Ia harus merahasiakan hal ini dari Farrin sampai hari pernikahan tiba. Jadi ia harus erusaha mencari kata lain yang bisa mengalihkan pertanyaan itu

“Beberapa hal,” jawabnya, “kau sudah senggang?” lanjutnya pada Farrin saat ia melihat wanita itu sedang sendirian tanpa beberapa anak kecil yang tadi menempel padanya. Mungkin, ia telah meninggalkan mereka atau mereka yang meninggalkan Farrin.

“Ya. Beberapa telah dijemput orang tuanya. Hanya tinggal Areum dan kini gadis kecil itu tengah mendapat pembelajaran tambahan dengan guru lain. Sebenarnya ia tadi sempat merengek karena tak mau. Tapi mau bagaimana lagi, ini jadwalnya bersama yang lain dan juga agar aku bisa beristirahat barang sejenak,” tuturnya.

Memang, sejak Farrin menyatakan jika ia akan mencoba menjalani dengan Vian, Farrin terasa semakin dekat dengannya. Ia sudah mengikis rasa canggung di antara ia dengan Vian dan bersikap layaknya pasangan pada umumnya. Vian merasa, ini bukan hal yang baik. Bisa-bisa ia nantinya akan jatuh semakin dalam pada calon kakak iparnya ini. Jika bisa, ia ingin memiliki jarak aman yang membuatnya tidak semakin jatuh pada wanita itu.

“Jadi, apakah belum boleh pulang?” tanya Vian.

Farrin menggeleng kecil.”Meski tugasku sudah selesai, bukan berarti aku sudah bisa pulang. Ada peraturan jika pekerja baru setidaknya harus pulang setelah semua jam berakhir jika ia memiliki jam sore,” jawabnya.

“Peraturan macam apa itu?”

“Tentu saja peraturan di sini.”

“Seharusnya mereka tak bisa membedakan antara karyawan baru dan lama. Harus ada jam yang adil untuk mereka. Bukankah mereka sama-sama manusia yang bekerja?” selidik Vian. Ia tak habis pikir akan pengaturn jam yang begitu memusingkan begini. Bukankah hal ini seolah seperti mendiskriminasi karyawan baru saja?

“Vian, bukankah kau juga tahu akan hal ini. Karyawan baru adalah mereka yang belum memiliki pengalaman sebanyak mereka yang telah bekerja lebih lama, jadi karyawan baru haruslah lebih banyak belajar dari karyawan lama. Lagi pula pekerjaan ini berhubungan dengan anak-anak. Kami tak bisa bekerja dengan setengah-setengah di sini. Di tangan anak-anak inilah masa depan negara kita dipertaruhkan. Kelak mereka yang akan menggantikan kita yang sudah tua nanti untuk mengatur sistem pemerintahan. Jika kita mengajari dan mendidik mereka dengan setengah-setengah, lalu, bagaimana nantinya ketika mereka dewasa dan memiliki posisi dalam pemeritahan menggantikan orang tu mereka?” jelas Farrin.

Ah, mungkin Vian lupa jika sekolah yang ada di hadapannya ini adalah sekolah terpandang di kotanya dan hal itu berarti banyak anak-anak dari pengusaha dan kepala pemerintahan berada di sini. Itu berarti, banyak dari mereka yang akan menggantikan posisi orang tua mereka. Jadi mungkin wajar jika peraturan ketat seperti itu diberlakukan mengingat mereka tak boleh main-main dengan pekerjaannya.

Melihat Vian yang tak lagi berceloteh, Farrin tersenyum. Ia mengerti jika pasti Vian belum terbiasa dengan pekerjaan yang digelutinya itu. Sejauh ini, ia tahu jika Vian hanya pernah bergelung dalam pekerjaan kantoran dan sama sekali tak usik dengan dunia luar. Ia juga banyak mendengar dari Avan jika Vian ini orang yang terlalu menutup diri dari lingkungan meski ia bekerja dan berbaur dengan banyak orang setiap harinya.

“Setelah jam ku berakhir, ayo kita jalan-jalan. Anggap sebagai kencan kita sebagai sepasang tunangan karena ku  pikir, selama ini kita belum pernah benar-benar kencan.”

Ups!

Hati Farrin seketika berdegup lebih kencang. Ia sedikit merasakan jika wajahnya memanas dan hal itu menjalar ke telinganya setelah mendengan kata yang dilontarkan oleh Vian beberapa detik yang lalu. Hey, kencang pertama sebagai tunangan? Hal itu terdengar manis, dan entah mengapa ia merasa lebih bahagia dari pernyataan kencan pertamanya dengan Avan dulu.

Lagi-lagi Avan.

Farrin sadar, tak seharusnya ia begini. Tak seharusnya ia memikirkan hal tentang Avan lagi di saat ia kini telah menjalani kewajiban sebagai tunangan adiknya. Memang, Vian adalah kembaran Avan. Banyak dari penampilan mereka yang mirip. Namun, entah mengapa ia tetap bisa merasakan jika kedua sangat amat berbeda dan tak bisa selalu disamakan, terutama dalam hal penampilan.

“Baiklah. Aku tak akan menolak permintaan tunanganku atas ajakan kencannya. Nanti, bisakah kita langsung kencan saja tanpa mengganti baju atau sekedar bersiap di rumah?” usul Farrin.

“Hey, mana bisa begitu?” Vian merasa tak terima dan berusaha menolak usulan dari Farrin. Mana bisa mereka kncan dengan pakaian seperti ini? Vian dengan pakaian kemeja putihnya dan Farrin dengan pakaian mengajarnya. Memang, pakaian mereka berdua sebenarnya sah-sah saja untuk ukuran kencan. Namun, yang menjadi pikirannya saat ini adalah mereka tidak dalam keadaan yang baik untuk sebuah kencan! Baju buluk sehabis kerja, dan badan bau keringat tanpa boleh atau diperkenankan untuk menyegarkan diri dengan mandi dan berganti pakaian.

Sebenarnya apa yang ada di pikiran tunangan bohongannya itu? Tidakkah dia juga merasa risih? Bukankah setahunya jika seorang wanita mengajak kencan, ia akan mempersiapkan diri sebaik mungkin? Bukan malah tampil apa adanya seperti ini? Setidaknya meski tak memakai pakaian resmi kencan dan dandan berlebih setidaknya biarkan bau keringat ini menghilang.

“Ayolah, ini kencan pertama kita sebagai pasangan. Tidakkah sebagai wanita kau ingin berpenampilan yang terbaik bukan dengan balutan pakaian kerja seperti ini? Apa tidak sebaiknya kita membersihkan dan menyegarkan diri dengan mandi dan berganti pakaian dengan yang lebih baik dari ini?” lanjut Vian.

Oh, Farrin mengerti sekarang mengapa tunangannya itu keberatan dengan idenya.

Ternyata masalah penampilan. Ok, Farrin cukup mengerti sekarang. Ternyata tunangannya itu keberatan dengan penampilan mereka saat ini.

“Tidakkah ini menyenangkan? Jika kita selalu kencan dan bertemu dengan keadaan yang baik dan segar, lalu bagaimana kita bisa melihat saat terburuk dari pasangan kita? Bagaimana penampilan lelah kita dan pasangan setelah bekerja. Bagaimana raut wajah lusuh pasangan setelah bekerja. Demi tuhan, Vian. kita akan menikah setelah ini. Kita akan hidup bersama dan pastinya kita akan di hadapkan dengan sesuatu yang seperti itu. Lalu bagaimana saat kita melihat kekurangan pasangan kita nanti dan tidak terkejut dengan keadaannya yang berantakan jika bukan dengan kencan yang seperti ini?”

Vian jadi berpikir, Farrin dengan segala pemikirannya yang maha benar adalah sesuatu yang mutlak dan tanpa bisa diganggu gugat.

Namun, ingin sekali ia memberitahukan bahwa yang nanti menikah dengan Farrin dalah kakaknya, bukan dirinya.

Tentu dirinya tak akan segila itu untuk membongkar rencana yang telah kakaknya susun dengan matang.

“Baiklah! Kita kencan setelah jam kerjamu berakhir.”

Akhirnya, Vian memilih mengalah saja untuk hal ini. Anggap saja sebagai pembelajaran nanti untuknya mencari pendamping dan kencan dengannya.

Yah, tak buruk, bukan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status