“Pak Doni, apa terjadi sesuatu?” Entah mengapa tiba-tiba muncul firasat tidak enak di hatiku. Kali ini aku memperbaiki posisi duduk dan menatap layar head unit, kemudian menyalakan mode merekam panggilan telepon. Tidak ada jawaban dari seberang, hanya ada suara napas yang terdengar ragu.
“Katakan saja, Pak Doni. Mungkin aku bisa membantu.” aku mencoba bersikap tenang.
“Akhir-akhir ini....Aku selalu merasa sedang diikuti seseorang," Suara Doni terhenti, ia terdengar menghela napas panjang sebelum kembali berkata, “Kurasa seseorang mengikutiku semenjak pertemuan kita untuk pengambilan sampel darah dua minggu lalu. Sepertinya mereka mengikutiku semenjak aku dan para korban keluar dari gedung Firma anda.”
Aku menahan napas ketika Doni menyebutkan gedung firmaku. Aku tahu bahwa yang diucapkan Doni benar, karena fotoku pun muncul di rapat Wollim. Bisa jadi orang yang mengikuti Doni adalah suruhan Wollim.
“Apa kau masih diikuti?” Aku harus mema
BAB 37 : KEDAI K Waktu pada jam tanganku menunjukkan pukul 08.25 WIB. Aku memarkirkan mobil tepat di depan sebuah kedai kopi 24 jam dengan nuansa rumahan. Kedai kopi ini didominasi warna cokelat kayu pada bagian depan bangunan, serta dipenuhi berbagai tanaman hijau yang ditata secara apik sehingga menimbulkan kesan asri. Sebuah plang kayu berukir tulisan ‘Rumah Kopi’ menggantung di atas pintu masuk kedai. Aroma kopi tercium cukup pekat dari depan bangunan rumah kopi tempatku berdiri. Kehangatan harum kopi bercampur karamel menenangkan pikiran sekaligus mampu meningkatkan semangatku yang sedikit layu. Begitu aku melangkah masuk ke dalam kedai tersebut, irama petikan gitar mengiringi nyanyian merdu seorang wanita yang melantunkan lagu I’m yours milik Jason Myraz. Pilihan playlist yang cukup bagus, sebab lagu ini mampu membangkitkan semangat para pengunjung yang masih mengantuk dengan cara yang lembut. Selain itu aku melihat sebuah meja bar berb
“Bu Sophie! Tidak...Tidak...Aku baru saja tiba. Silahkan duduk.“ Doni langsung berdiri dan mengulurkan tangannya begitu melihat kehadiranku. Doni berbohong padaku, Doni mungkin sudah cukup lama menungguku, bisa jadi ia sudah tiba jauh sebelum meneleponku tadi. Aku tahu itu jika melihat dari batang rokok yang sudah hampir habis di tangannya, serta lima sisa puntung rokok lain yang sudah habis terbakar di dalam asbak. Tangan Doni yang memegang rokok terlihat gemetar, sedangkan wajahnya cukup pucat dan kuyu, janggut dan kumisnya pun tampak tumbuh tidak terawat. Saat itulah aku tahu bahwa telah terjadi sesuatu yang lebih besar dari yang aku kira. Doni menarik kursi di sampingnya untuk kududuki. Begitu kami duduk, namun belum sempat berbincang, salah satu bartender berwajah oriental layaknya artis Korea mendekati kami. “Mau pesan kopi apa, Kak?” tanya bartender berwajah ramah dengan mata tersenyum seperti bulan sabit. “Satu cafe au lait,
Aku memandang Doni dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk antara penasaran, curiga, dan takut. Namun tekadku cukup bulat, rasa penasaran lebih mendominasi daripada perasaan lain. Tatapanku beralih pada layar ponsel. Kupandangi ponsel itu dengan saksama, pada bagian kanan atas video tampak deretan angka yang menunjukkan durasi video adalah lima menit. Menilai dari sudut pandang gambar, bisa kuyakini bahwa video ini direkam dari jarak dekat. Aku mengernyitkan dahi dan melirik Doni. Pria itu mengangguk sebagai tanda bahwa aku sebaiknya mulai menyaksikan video tersebut. Kutekan tombol play, tayangan dalam video mulai bergerak. Pada mulanya aku menyaksikan seorang pria berbadan besar dengan bekas luka melintang di antara mata kanan menuju pelipis, menodongkan pistol di kepala laki-laki kurus berkacamata dengan jaket putih yang tampak seperti jaket lab seorang peneliti. Darah berlumuran di bagian depan jas laboratorium sang peneliti. Wajahnya dipenuhi bekas luka dan
“Permisi, Kak, ini pesanannya. Satu cangkir cafe au lait, satu kopi hitam, dan satu sandwich keju,” seorang pelayan laki-laki berwajah oriental dengan seragam serba cokelat dan apron hitam di pinggul tersenyum ramah. Gerakannya yang efisien dalam menata cangkir dan piring di meja kami sedikit mengalihkan perhatian dari video pembunuhan yang baru saja kusaksikan. Khawatir jika video keji itu tanpa sengaja terlihat oleh si pelayan, masih dalam kelimbungan, kututupi layar ponsel dan segera kukembalikankan ponsel itu kepada pemiliknya, Doni. “Terima kasih,” ucap Doni dengan wajah datar, dan sorot mata waspada yang tidak sedikitpun ia tanggalkan sejak kedatanganku kepada pelayan itu. Sekilas kupandang sang pelayan, pada papan nama di dada kanannya tercantum nama Shandi. “Sama-sama,” pelayan bernama Shandi itu memamerkan senyumnya. “Sudah semua ya pesanannya. Kalau tidak ada lagi, saya permisi.” “Terima kasih, Mas Shandi,” Donie kemb
Brengsek, adegan pembunuhan itu terlalu kuat terpatri di dalam otakku, bahkan aroma kopi sudah tidak mampu mengalihkan pikiranku meskipun hanya sejenak. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara menghentikan pikiran? Aku menyesal sudah menekan tombol play pada ponsel Doni. Pembunuhan itu sangat biadab. “Hati-hati. Kopinya masih panas,” teriak Doni ketika aku menengguk kopi dengan cepat. “Panas..Panas…Eh monyong panas..Panas..!” Kopi panas tersembur dari mulutku. Doni berusaha menyentuh tanganku. Ia berniat menyadarkanku. Masalahnya garis koordinasi antara pikiran dan otot-otot tubuh tidak akan sejalan ketika latahku kambuh. Bukannya menjadi tenang, otot dan otakku justru semakin tidak terkendali. Dalam refleks cepat tidak terkendali, tanpa sengaja kuayun tangan yang masih memegang cangkir. Gerakanku sangat cepat. Untung saja tangan Doni segera menjauh dengan wajah memerah dan panik. Namun cangkir yang melayang segera pecah berkeping-keping
Doni menyeruput kopi miliknya, ransel hitam yang ia jaga, kini ia letakkan di atas pangkuannya, sedangkan aku hanya dapat menatap sandwich keju yang telah ditaruh oleh Doni tepat di hadapanku.Selera makanku sudah hilang.Jujur saja, segala gerak-geriknya untuk menjaga ransel itu dengan sangat hati-hati membuatku ingin bertanya perihal isi dari ransel itu. Sepertinya Doni menyadari arah tatapanku, sebab Doni tampak menggeser ransel di pangkuannya dengan tidak nyaman.“Maafkan aku ya, Pak. Semoga cipratan kopi panas itu tidak ada yang mengenaimu” ucapku tulus. “Tadi aku benar-benar tidak sengaja. Aku..”Doni menggeleng, lalu dengan cepat ia berkata, “Tidak, Bu! Bu Sophie tidak salah. Lagi pula orang waras mana yang bisa tetap bersikap tenang setelah melihat penyiksaan dan pembunuhan tadi?”Sebuah pernyataan yang tepat sasaran. Menenangkan dengan ucapan yang miris.Aku hanya dapat menatap lantai dal
Si pemimpin para korban pencemaran Orin menatapku cemas. Ia masih ragu.“Minimal,” ujarku kini dengan suara lirih. “Tuntaskanlah apa yang ingin anda sampaikan hingga membuatku harus datang ke tempat ini. Anda bisa bicara pelan sehingga mereka tidak bisa mendengar kita.”Melihat keyakinanku, Doni yang sebelumnya tampak ragu mulai mengangguk. Sebutir keyakinanku tampaknya bisa mempengaruhinya.“Baiklah,” ujarnya dalam suara pelan.“Ceritalah. Tapi..” Aku berusaha menahannya ketika Shandi, pelayan berwajah oriental bak artis K-Pop menghampiri kami. Ia membawa dua cangkir kopi.Sambil tersenyum Shandi berkata, “Permisi, Kak, ini kopinya kami ganti. Kakak tidak usah bayar lagi. Hanya..” Ia tersenyum. “Cangkir tadi saja yang diganti.” Shandi tampak membawa nampan kecil berisi buku tagihan, padahal aku belum memintanya. Mungkin ini kebijakan kedai kopi, memberikan bill
Doni serta-merta bangkit dari kursi dan merenggut pergelangan tanganku.“Copot...Copot...Copot,” latahku kembali. Di saat-saat yang paling memalukan.“Maafkan aku, Bu. Tapi kita harus pergi! Secepat mungkin!”Tidak kuasa menahan tenaga Doni yang menarikku, akhirnya aku hanya dapat berdiri sambil terus berbicara, mengatakan sesuatu yang tidak bisa kukendalikan. Cengkraman tangan si laki-laki brewok begitu kuat. Sangat keras dan dipenuhi ketakutan. Doni membawaku, atau lebih tepatnya tergesa-gesa menyeretku, melewati halaman depan cafe.“Pak Doni, kita mau ke mana?” kugerakkan tanganku, berupaya melepaskan cengkraman.“Kabur, Bu!” Tanpa menoleh ia menjawab.“Iya ke mana,” sekuat tenaga kutahan Doni.Ketika Doni merasakan bahwa tubuhku menolak untuk mengikuti keinginannya, pria itu berbalik menghadapku. “Yang penting kita harus melarikan diri, Bu! Ke mana pun!”