“Pacar?” mulut Inge dan Arini melongo lebar, membuat lalat akan bebas keluar masuk tanpa hambatan. Untung café ini bersih dari lalat.
Aku memberi tahu mereka dengan gaya kasual dan ‘it is not a big deal’, bahwa sekarang aku berpacaran dengan Mr. Airlangga. Sengaja aku sensor informasi tentang kolaborasi adegan panas kami, walaupun biasanya aku tidak pernah menyembunyikan rahasia apapun terhadap dua sahabat setiaku ini. Aku khawatir kalau informasi tentang kegiatan ‘panas’ kami sampai ketelinga dua perempuan lucu ini, mereka akan terkapar pingsan, ujung-ujungnya aku harus membawa mereka berdua ke rumah sakit.
“Gue pikir loe nggak gitu serius sewaktu mengenalkan tuh cowok ke kita, kenapa sekarang mak jleb langsung pacaran?” Wajah Inge tampak lebih syok dibanding Arini.
“Gimana lagi, gue jatuh cinta sama dia.” Kataku kasual, sambil menyeruput americano yang masih panas dari cangkirnya.
Aku menatap Mr. Airlangga yang sedang terpaku menatap risetnya. Beberapa buku yang dia beli dari toko buku tempo hari berserakan di meja dan sofa. Saat ini pandangannya terpaku ke arah laptop yang duduk dengan manis di pangkuannya. Mungkin dia memang perlu bantuan Mas Rio yang seorang IT freak, siapa tahu lebih gampang mendapatkan apapun yang sedang dia cari.Aku meletakkan secangkir kopi panas di meja, wajah Pangeranku ini tampak sangat lelah.“Terimakasih Lusia,” dia mendongak sebentar ke arahku sebelum pandangannya kembali tekun ke arah laptop.Aku meneliti buku-buku yang terbuka dan berserakan di sekelilingnya, tanganku terulur untuk mengambil salah satu buku yang tergeletak di atas meja.“Jangan ditutup, aku sedang butuh halaman itu!” sergahnya cepat, aku langsung menarik tangan, mengurungkan niatku untuk mengambil buku tersebut.“Sudah berhasil mendapatkan petunjuk berikutnya?”“Mungkin, aku ma
Dari kejauhan aku mengamati Mr. Airlangga yang sedang berenang. Entah sudah berapa lap dia lalui, tetapi sepertinya dia belum menunjukkan tanda untuk berhenti. Ketika menyentuh ujung tembok kolam renang, dia berbalik lagi, menggerakkan kedua tangan dan kakinya bak atlit renang andalan. Dia tidak tahu isi pembicaraanku dengan Mas Rio, bahwa Mas Rio mendengar kita sedang melakukan adegan 21++. Ini adalah rahasiaku dengan Mas Rio, biarkan dia fokus memecahkan teka-tekinya. Aku baru saja kembali dari mengunjungi papa dan mama, Mas Rio bolak-balik mengingatkan supaya aku segera pulang. “Mama sudah ngenes kangen kamu Lus,” begitu beberapa bunyi pesannya. Memang semenjak kehadiran Mr. Airlangga, aku belum pernah menjenguk kedua orang tuaku. Hari-hariku terlalu sibuk, sibuk ikut membantu memecahkan misteri dan juga sibuk dengan sang Pangeran. Hari ini akhirnya aku pulang juga, disamping sudah sangat kangen dengan sayur asem buatan mama. Pastinya mama senang b
Aku membentangkan tas pinggang handyman dengan sangat bangga. Di dalamnya dengan rapi terisi satu tang kecil untuk memotong apapun itu nanti, pisau lipat warna hijau, sebenarnya aku kepengin mencari warna pink tetapi apa daya disamping berbagai pilihan warna orange yang sangat standard Bob the builder itu, warna hijau adalah satu-satunya pilihan. Aku memasukkan beberapa paper clip kertas berukuran besar, di film-film itu mereka biasa membuka kunci dengan sebuah paper clip jadi tentu saja aku masukkan ini ke dalam tas, bagaimana cara kerjanya, aku tidak tahu. Dua buah lampu senter, satu untukku berwarna pink dan untuk Mr. Airlangga berwarna hitam. Beberapa bentuk obeng, plester berwana hitam just in case dan kunci inggris kecil. Aku tidak tahu persis ini bisa digunakan untuk apa, tapi karena menurutku bentuknya lucu aku langsung menaruhnya di keranjang belanjaan tadi.Mr. Airlangga memandangi tas lipat itu sambil mengerutkan kening, “untuk apa
Aku mengulurkan ponselku ke arah Mr. Airlangga, dengan tidak sabar dia meminta untuk meminjam ponsel itu setibanya kami di apartemen. Dia memandangi benda pipih dan pintar tersebut termangu-mangu, mau tidak mau aku terkikik melihatnya.“Begini Mas caranya,” kataku menekan salah satu tombol kecil untuk menyalakan benda pintar tersebut.Dia masih tidak tahu harus berbuat apa, lagi-lagi aku dibuat terkekeh. Sebagai orang yang hidup di jaman serba pintar, pemandangan ini cukup lucu.“Kamu masuk ke gallery, lalu … there!” kataku, menyerahkan ponsel yang layarnya sekarang berisi foto-foto hasil jepretan kitab Pararaton.Dia memandangi tulisan di dalam foto yang berukuran tidak terlalu besar tersebut, aku menghela napas, memang sulit berhadapan dengan makhluk dari peradapan ratusan tahun yang lalu.“May I?” Tanganku menengadah meminta ponselku kembali, dengan wajah kebingungan dia mengembalikan benda pipih itu ke
Mas Boy sangat bersemangat ketika tahu bahwa Mr. Airlangga membutuhkan bantuannya. Wajahnya berbinar ketika membuka pintu dan menemukan kami berdua berdiri di luar apartemennya. Tanpa berpikir panjang dia langsung meninggalkan apapun yang dia kerjakan dan setuju mengikuti kami ke apartemenku. Tentu saja setelah aku menepati janji menandatangani bukan dua atau tiga, tetapi semua novelku yang pernah terbit. Iya, dia punya semuanya, dari awal sampai akhir. Aku sempat curiga bahwa dia ini adalah seorang stalker yang tinggal di apartemen ini karena membuntuti aku. Tetapi kemudian aku tersadar bahwa aku tidak seterkenal itu untuk mempunyai seorang stalker.Dia tidak menaruh curiga sedikitpun kepada kami. Ok, mungkin tidak terhadapku yang bertubuh mungil ini dan e hem … ternyata cukup terkenal, tetapi dengan Mr. Airlangga? Aku yakin dengan sekali dekap Mr. Airlangga akan berhasil membuat si Mas Boy ini terkulai lemas, pingsan. Tetapi si Mas Boy mengikuti kam
Kami mengamati bangunan candi Songgoriti dari kejauhan, tidak seperti dua candi sebelumnya yang sudah kami kunjungi, candi Songgoriti terlihat … well, kecil.Tumpukan batu alam yang membentuk bangunan candi tersebut sudah tidak utuh lagi, dari bentuknya mungkin hanya setengah dari bentuk bangunan original yang masih tersisa. Aku mengerutkan alis tidak yakin apa yang bisa kami temukan di tempat ini.“Kamu yakin dengan tempat ini?” bisikku ke Airlangga.“E hem.” Responnya pendek, matanya masih tetap memandang ke arah reruntuhan candi yang tidak terlalu besar itu. “Kamu siap?” lanjutnya.Aku mengangguk lalu mengikuti langkahnya berjalan ke arah candi.Suasana sangat sepi, tidak ada satupun orang terlihat berada di sekitaran sini. Mengingat minat orang Indonesia lebih suka ke mall dari pada mengunjungi tempat bersejarah, apalagi candi ini bukan apa-apa kalau di bandingkan Borobudur atau Prambanan.Kami
“Jadi ini candinya?” aku setengah berbisik ke arah airlangga. Kami berdua sekarang berdiri di hadapan candi Kidal, candi yang diangun sebagai bentuk penghormatan untuk Prabu Anusapati. Tidak seperti candi Songgoriti yang tidak lagi utuh, candi Kidal masih berdiri dengan agung dan kokoh. Bangunan candi yang tidak terlalu besar ini tampak berdiri indah dan berwibawa, masih menampakkan keagungan era dahulu. Pelataran candi tampak tertata rapi, menambah kecantikan tempat ini.“Jadi kamu suka mengunjungi tempat ini?” lanjutku lagi.Airlangga menoleh ke arahku tersenyum, “tentu saja.”“Bagaimana suasana tempat ini di jaman kamu?” tanyaku penasaran, aku melihat sekeliling, candi ini terdapat di sekitaran pemukiman warga dan sangat tertata rapi.“Bagain itu belum ada di jamanku,” dia menunjuk ke beberapa rumah penduduk di sekitar candi. “Tempat ini adalah sakral, tidak diperbolehkan ada pemukiman d
Aku sedang berada di padang rumput hijau dan sangat luas, Airlangga bersamaku. Tentu saja, dia selalu bersama denganku selama lebih dari satu bulan terakhir. Tidak ada hari yang aku lewatkan tanpa melihat senyum menawan dari wajahnya.Aku meletakkan kepala di atas pahanya, dengan lembut dia mengusap puncak kepalaku. Dunia milik kami berdua, perbedaan ratusan tahun itu tidak ada artinya. Tidak ada artinya ketika kami melewatinya berdua.Ada sesuatu yang hangat dari dalam tubuhku, energi hangat yang membuatku sangat bahagia. Membuat kami berdua bahagia. Airlangga tersenyum, senyum yang akan bisa membuatku melawan badai kehidupan. Tidak ada yang tidak mungkin dengan dia berada di sisiku.Tubuhku terguncang-guncang, sengatan lembut yang hangat menerpa wajahku. Aku menyukai sengatan hangat ini. Lagi-lagi tubuhku terguncang, lebih kencang dari sebelumnnya. Airlangga menghilang, dia tidak ada lagi di sini. Kepalaku tidak lagi terbaring di atas kedua pahanya yang kekar,