Kami mengamati bangunan candi Songgoriti dari kejauhan, tidak seperti dua candi sebelumnya yang sudah kami kunjungi, candi Songgoriti terlihat … well, kecil.
Tumpukan batu alam yang membentuk bangunan candi tersebut sudah tidak utuh lagi, dari bentuknya mungkin hanya setengah dari bentuk bangunan original yang masih tersisa. Aku mengerutkan alis tidak yakin apa yang bisa kami temukan di tempat ini.
“Kamu yakin dengan tempat ini?” bisikku ke Airlangga.
“E hem.” Responnya pendek, matanya masih tetap memandang ke arah reruntuhan candi yang tidak terlalu besar itu. “Kamu siap?” lanjutnya.
Aku mengangguk lalu mengikuti langkahnya berjalan ke arah candi.
Suasana sangat sepi, tidak ada satupun orang terlihat berada di sekitaran sini. Mengingat minat orang Indonesia lebih suka ke mall dari pada mengunjungi tempat bersejarah, apalagi candi ini bukan apa-apa kalau di bandingkan Borobudur atau Prambanan.
Kami
“Jadi ini candinya?” aku setengah berbisik ke arah airlangga. Kami berdua sekarang berdiri di hadapan candi Kidal, candi yang diangun sebagai bentuk penghormatan untuk Prabu Anusapati. Tidak seperti candi Songgoriti yang tidak lagi utuh, candi Kidal masih berdiri dengan agung dan kokoh. Bangunan candi yang tidak terlalu besar ini tampak berdiri indah dan berwibawa, masih menampakkan keagungan era dahulu. Pelataran candi tampak tertata rapi, menambah kecantikan tempat ini.“Jadi kamu suka mengunjungi tempat ini?” lanjutku lagi.Airlangga menoleh ke arahku tersenyum, “tentu saja.”“Bagaimana suasana tempat ini di jaman kamu?” tanyaku penasaran, aku melihat sekeliling, candi ini terdapat di sekitaran pemukiman warga dan sangat tertata rapi.“Bagain itu belum ada di jamanku,” dia menunjuk ke beberapa rumah penduduk di sekitar candi. “Tempat ini adalah sakral, tidak diperbolehkan ada pemukiman d
Aku sedang berada di padang rumput hijau dan sangat luas, Airlangga bersamaku. Tentu saja, dia selalu bersama denganku selama lebih dari satu bulan terakhir. Tidak ada hari yang aku lewatkan tanpa melihat senyum menawan dari wajahnya.Aku meletakkan kepala di atas pahanya, dengan lembut dia mengusap puncak kepalaku. Dunia milik kami berdua, perbedaan ratusan tahun itu tidak ada artinya. Tidak ada artinya ketika kami melewatinya berdua.Ada sesuatu yang hangat dari dalam tubuhku, energi hangat yang membuatku sangat bahagia. Membuat kami berdua bahagia. Airlangga tersenyum, senyum yang akan bisa membuatku melawan badai kehidupan. Tidak ada yang tidak mungkin dengan dia berada di sisiku.Tubuhku terguncang-guncang, sengatan lembut yang hangat menerpa wajahku. Aku menyukai sengatan hangat ini. Lagi-lagi tubuhku terguncang, lebih kencang dari sebelumnnya. Airlangga menghilang, dia tidak ada lagi di sini. Kepalaku tidak lagi terbaring di atas kedua pahanya yang kekar,
Termangu aku berdiri di depan pintu kamar hotel Airlangga, seperti sedang mengumpulkan keberanian untuk membukanya. Keberanian untuk menghadapi bahwa kamar itu akan kosong, tidak berpenghuni. Walaupun tahu bodoh, di dalam hati aku terus mengemukakan penolakan demi penolakan, memberi alasan kepada diri sendiri bahwa Airlangga hanya pergi sebentar dan dia akan segera kembali. Atau mungkin saat ini dia sedang berada di kamarnya, berjibaku dengan laptop dan buku-buku seperti biasanya, dan akan memberikan senyum lebar begitu dia melihatku.Aku mengeluarkan kartu kunci elektronik dari dalam tas, dengan ragu-ragu menempelkannya ke kunci pintu. Suara klik elektronik yang menandakan kunci terbuka membuatku terlunjak, memegang gagang pintu, aku menghela napas berat sebelum mendorongnya terbuka.Kamar Airlangga tampak rapi, petugas hotel pasti sudah merapikannya tadi pagi. Tempat tidur yang berbalut seperei putih tampak halus tanpa kerutan. Kaus putih yang kemarin dia pakai tampa
Aku berdiri termenung begitu memasuki apartemen yang aku tinggalkan selama beberapa hari.Sepi.Apakah memang biasa tempat ini sesunyi ini? Buku-buku pinjaman dari Mas Boy masih tersusun rapi di sudut meja kerjaku, juga beberapa buku yang dibeli Airlangga. Semuanya masih ada di sini, hanya dia yang tidak ada.Aku berjalan memasuki kamar tidur, meninggalkan dua koper kecil yang aku bawa kembali dari Malang di depan pintu. Tidak berminat untuk membukanya, atau mungkin tidak akan pernah ingin membukanya.Merebahkan diri di atas tempat tidur yang pernah menjadi saksi kebersamaanku dengan Airlangga, aroma tubuhnya masih tertinggal di sini, di seperei, di bantal, bahkan mungkin di seluruh ruangan ini. Aku tidak akan pernah bisa melupakannya.Mataku terpejam, mengenang kembali saat-saat ini di sini, pertemuan pertama kami di tengah hujan deras di jalan tol Bandung, pertama kali aku menyadari betapa menawannya senyum Airlangga, persatuan pertama kali kami.
Mas Rio tidak pernah meninggalkan aku, dia tidur di sofa depan sementara aku meringkuk di dalam kamar yang menurut definisinya sudah berbau apek. Beberapa kali dengan gerakan sangat pelan, seperti slow motion di the Matrix dia mendorong pintu kamarku, mungkin untuk memastikan bahwa aku masih bernapas.Setelah berhari-hari didera tangisan, aku insomnia. Memejamkan mata mendadak menjadi hal yang sangat sulit dilakukan, mataku tetap terbuka, walaupun pikiranku mengelana ke mana-mana, menjelajah setiap detail kebersamaanku dengan Airlangga. I miss him so bad. Sebelum ini aku tidak pernah benar-benar tahu bagaimana rasanya merindukan seseorang.Aku melirik jam digital kecil di meja nakas, sudah jam tiga pagi dan aku belum tidur sedetikpun. Turun dari tempat tidur aku berjalan ke arah ruangan kecil yang aku pergunakan sebagai ruang ganti, membuka laci di mana aku menempatkan baju-baju Airlangga. Semuanya masih tertata rapi, aku menarik salah satu kaus berwara biru g
Arini dan Inge duduk terpaku di hadapanku dengan raut muka menuntut penjelasan, tentang lingkaran hitam di bawah kedua mataku yang beresiko menjadi permanen, badanku yang sekarang agak mirip dengan anak kekurangan gizi dan pastinya wajahku yang bermuram durja persis seperti tampang penyanyi melankolis di tahun 80an.Menerangkan ke dua anak ini akan menjadi sesi interogasi yang mungkin tidak akan cukup satu malam. Sedikit demi sedikit aku menggeser tempat duduk, berharap bisa melarikan diri sebelum mereka berdua menyadari, walaupun tentu saja itu tidak mungkin.“Jadi si Airlangga itu ninggalin elo?” Arini langsung to the point.“Hush …,” seru Inge, memberikan tatapan memperingatkan ke Arini yang sepertinya tidak dia gubris.Aku diam, memikirkan jawaban tepat yang bisa aku katakan ke dua sahabatku ini. Tentunya aku tidak bisa mengatakan bahwa Airlangga pergi untuk kembali ke jamannya, ke Singosari, ratusan tahun
Menuruti saran Mas Rio, hari ini aku pulang. Setelah keadaan sudah agak membaik, wajah terlihat lebih cerah dan badan mulai memberat setelah nafsu makan yang lebih teratur. Tentunya kakakku yang sekarang menjadi over protective itu tidak mengijinkan aku mengemudikan mobil sendiri, dengan tekun dia menjemput dan aku hanya tinggal duduk manis seperti sedang naik taksi online.Dia tidak pernah menyebut nama Airlangga, atau apapun yang berhubungan dengannya sepertinya takut kalau-kalau itu akan membuatku galau mengharu biru lagi. Aku mengikutinya, walaupun tiada hari tanpa ada Airlangga dalam pikiranku. Aku masih sering tidur dengan memeluk salah satu bajunya, atau sekedar melihat foto-foto yang memang sengaja aku ambil untuk waktu seperti ini, di saat dia sudah pergi.Kedua orang tuaku masih tidak tahu, buat mereka aku jarang pulang karena sedang sibuk bukan karena berhari-hari meringkuk di tempat tidur akibat patah hati.Aku memeluk Mama yang sedang
Semua serba putih. Plafon, tembok, tirai, lantai, entah kenapa warna putih ini membuat aku tertekan. Terlalu terang, terlalu bersih. Dingin stetoskop bersentuhan dengan kulitku, Ibu dokter yang juga berpakaian putih mendengarkan irama detak jantungku dengan seksama.Berkunjung ke dokter bukan menjadi sesuatu yang aku nanti-nanti, suasana putih bersih ini entah kenapa selalu sukses membikin aku depresi. Termasuk tangan si Ibu dokter yang notabene orang asing dan sekarang dengan semena-mena menekan-nekan perutku, membuatku jengah. Aku tahu dia adalah ahlinya, tapi aku benar-benar tidak mau ada tangan-tangan asing yang meraba-raba tubuhku. Kecuali tangan Airlangga.Si Ibu dokter kembali ke arah meja kerjanya yang lagi-lagi berwarna putih, dengan serta merta aku bangkit dari tempat tidur kecil berlapis kertas panjang sekali pakai, dengan patuh duduk di seberang Ibu dokter, menunggu dia menerangkan pandangan ahlinya.“Semua baik-baik saja,&r