Mas Rio tidak pernah meninggalkan aku, dia tidur di sofa depan sementara aku meringkuk di dalam kamar yang menurut definisinya sudah berbau apek. Beberapa kali dengan gerakan sangat pelan, seperti slow motion di the Matrix dia mendorong pintu kamarku, mungkin untuk memastikan bahwa aku masih bernapas.
Setelah berhari-hari didera tangisan, aku insomnia. Memejamkan mata mendadak menjadi hal yang sangat sulit dilakukan, mataku tetap terbuka, walaupun pikiranku mengelana ke mana-mana, menjelajah setiap detail kebersamaanku dengan Airlangga. I miss him so bad. Sebelum ini aku tidak pernah benar-benar tahu bagaimana rasanya merindukan seseorang.
Aku melirik jam digital kecil di meja nakas, sudah jam tiga pagi dan aku belum tidur sedetikpun. Turun dari tempat tidur aku berjalan ke arah ruangan kecil yang aku pergunakan sebagai ruang ganti, membuka laci di mana aku menempatkan baju-baju Airlangga. Semuanya masih tertata rapi, aku menarik salah satu kaus berwara biru g
Arini dan Inge duduk terpaku di hadapanku dengan raut muka menuntut penjelasan, tentang lingkaran hitam di bawah kedua mataku yang beresiko menjadi permanen, badanku yang sekarang agak mirip dengan anak kekurangan gizi dan pastinya wajahku yang bermuram durja persis seperti tampang penyanyi melankolis di tahun 80an.Menerangkan ke dua anak ini akan menjadi sesi interogasi yang mungkin tidak akan cukup satu malam. Sedikit demi sedikit aku menggeser tempat duduk, berharap bisa melarikan diri sebelum mereka berdua menyadari, walaupun tentu saja itu tidak mungkin.“Jadi si Airlangga itu ninggalin elo?” Arini langsung to the point.“Hush …,” seru Inge, memberikan tatapan memperingatkan ke Arini yang sepertinya tidak dia gubris.Aku diam, memikirkan jawaban tepat yang bisa aku katakan ke dua sahabatku ini. Tentunya aku tidak bisa mengatakan bahwa Airlangga pergi untuk kembali ke jamannya, ke Singosari, ratusan tahun
Menuruti saran Mas Rio, hari ini aku pulang. Setelah keadaan sudah agak membaik, wajah terlihat lebih cerah dan badan mulai memberat setelah nafsu makan yang lebih teratur. Tentunya kakakku yang sekarang menjadi over protective itu tidak mengijinkan aku mengemudikan mobil sendiri, dengan tekun dia menjemput dan aku hanya tinggal duduk manis seperti sedang naik taksi online.Dia tidak pernah menyebut nama Airlangga, atau apapun yang berhubungan dengannya sepertinya takut kalau-kalau itu akan membuatku galau mengharu biru lagi. Aku mengikutinya, walaupun tiada hari tanpa ada Airlangga dalam pikiranku. Aku masih sering tidur dengan memeluk salah satu bajunya, atau sekedar melihat foto-foto yang memang sengaja aku ambil untuk waktu seperti ini, di saat dia sudah pergi.Kedua orang tuaku masih tidak tahu, buat mereka aku jarang pulang karena sedang sibuk bukan karena berhari-hari meringkuk di tempat tidur akibat patah hati.Aku memeluk Mama yang sedang
Semua serba putih. Plafon, tembok, tirai, lantai, entah kenapa warna putih ini membuat aku tertekan. Terlalu terang, terlalu bersih. Dingin stetoskop bersentuhan dengan kulitku, Ibu dokter yang juga berpakaian putih mendengarkan irama detak jantungku dengan seksama.Berkunjung ke dokter bukan menjadi sesuatu yang aku nanti-nanti, suasana putih bersih ini entah kenapa selalu sukses membikin aku depresi. Termasuk tangan si Ibu dokter yang notabene orang asing dan sekarang dengan semena-mena menekan-nekan perutku, membuatku jengah. Aku tahu dia adalah ahlinya, tapi aku benar-benar tidak mau ada tangan-tangan asing yang meraba-raba tubuhku. Kecuali tangan Airlangga.Si Ibu dokter kembali ke arah meja kerjanya yang lagi-lagi berwarna putih, dengan serta merta aku bangkit dari tempat tidur kecil berlapis kertas panjang sekali pakai, dengan patuh duduk di seberang Ibu dokter, menunggu dia menerangkan pandangan ahlinya.“Semua baik-baik saja,&r
Mas Rio tertegun mendengar tiga kata ucapanku, raut wajahnya bercampur antara syok dan bingung. Dia seperti kehilangan kata-kata, tidak tahu harus merespon bagaimana. Hal sama yang aku rasakan saat ini, tidak tahu bagaimana harus merespon kehamilan yang aku ketahui beberapa jam yang lalu.“Ba—”Mas Rio tidak menerukan perkataannya. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa, aku berhubungan sex dengan Airlangga yang dengan bodohnya kami lakukan tanpa pengaman. Tentu saja aku tidak bisa menyalahkan Airlangga, di jamannya mana ada pengaman, aku yakin dia tidak tahu kondom itu apa. Harusnya aku lebih pintar, bodohnya. Merutuki diri sendiri memang tidak ada guanya saat ini, tetapi hanya itu yang bisa aku lakukan, merutuki diri, karena aku tidak tahu harus berbuat atau merespon apa tentang kehamilan ini.“Kamu sudah memikirkan mau bagaimana?” kata Mas Rio setelah terdiam cukup lama.Aku mendongak ke arahnya den
Aku pulang. Kening Mama berkerut ketika melihat koper kecil yang dijinjing Mas Rio, dia memberikan alasan ke Mama bahwa aku sedang kurang sehat dan diam sendirian di apartemen tanpa asupan makanan yang terjamin akan membuat kesehatanku sulit membaik. Alasan yang ada benarnya sebagian. Tentu saja Mama senang dengan kepulanganku, apapun itu alasannya. Melihat anak-anaknya yang sudah besar berkumpul kembali mungkin mengingatkan beliau tentang masa-masa kecil kami. Masa yang sangat dirindukan oleh Mama setelah aku memutuskan untuk hidup mandiri. Walaupun tidak banyak ekspresi di wajah Papa, aku tahu beliau juga sangat bahagia bisa melihat puterinya berlalu lalang di rumah ini. Aku langsung menuju kamar dengan alasan ingin beristirahat, walaupun alasan yang sejujurnya aku tidak berani menatap wajah kedua orang tuaku. Tidak berani membayangkan bagaimana reaksi mereka ketika mereka tahu aku hamil. Untuk saat ini yang bisa aku lakukan adalah menghindar, entah sampai
“What?!” respon Arini dan Inge hampir berbarengan diiringi wajah syok dengan mulut melongo membentuk huruf O besar yang berlangsung beberapa lama.Aku menyeruput sisa-sisa orange juice dari dalam gelas untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering. Dua makhluk di hadapanku ini masih belum bangun dari keterkejutan mereka, ini hampir seperti film fantasi di mana pemeran utama yang adalah aku bisa menghentikan waktu, saat ini aku bebas berbuat apapun karena buat kedua temanku waktu sedang berhenti.“Loe … hamil betulan?” Arini masih tidak percaya, seandainya aku tidak betulan hamil tentulah aku akan menjadi orang paling bahagia di dunia saat ini, tidak perlu memusingkan mau aku apakan makluk mungkin yang sedang bertumbuh di dalam perutku.“Iya,” kataku parau.“Anak Airlangga?” Inge bertanya, aku jawab dengan anggukan lemah.“What the … dia udah ngehami- &helli
“Mama cuman mau bilang bahwa kamu bisa cerita ke Mama kalau ada apa-apa.” Suara Mama terdengar sangat bijaksana.Aku memang sering bercerita banyak hal ke beliau, termasuk ketika aku lagi bokek tingkat dewa dulu yang berakhir dengan selipan beberapa lembar uang lima puluhan ribu di dompet. Tapi masalah yang ini bagaimana aku bisa mengatakannya ke Mama dan juga Papa, semua jalinan kata yang aku rangkai di otakku selalu kandas. Padahal aku ini penulis, tapi kemampuan merangkai kata sekarang mendadak sirna. Tidak ada kalimat yang sepertinya sesuai untuk memberitahukan kehamilanku.“Iya Ma,” kataku tercekat, berpura-pura sibuk menyendok sayur asem dari dalam mangkuk. Berharap Mama akan berhenti bertingkah bak seorang detektif.*Aku berdiri di depan kamar Mas Rio, dengan ragu-ragu mengetuk pintu. Kakakku ini selalu betah berada di dalam kamar, mengurung diri di dalam zona zen berupa teknologi. Di dalam kamarnya terdapat d
Sendok di tangan Mama terjatuh, menimbulkan bunyi gemelincing yang membuat pendengaran terasa nyeri. Mama menatap ke arahku dengan pandangan marah, terkejut dan takut. Semuanya menjadi satu, mulut beliau ternganga.Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah Mama terlalu lama apalagi Papa. Aku tidak berani menyaksikan ekspresi wajahnya, dia pasti marah. Oh bukan, marah sepertinya bukan kata yang tepat. Beliau pasti murka.“Hamil?” suara Papa terdengar menggelegar, lebih mencekam dibandingkan suara geledek di musim hujan.Aku mengangguk, menundukkan kepala semakin dalam.“Siapa yang be-. Pacar kamu, siapa pacar kamu. Kenapa dia tidak berani menampakkan batang hidungnya ke sini, seharusnya dia yang memberi tahu dan akan aku pastikan untuk mendapatkan pelajaran!” lanjut Papa lagi, masih murka.“Begini Pa, masalahnya pacar Lusia tidak akan bisa hadir di si—”“Kamu tahu adik kamu hamil?!&rdqu