Dirga POV Aditya hanya melenguh sabar mendengar ocehan ku seperti kereta api. Andai dia tidak melupakan makan karena mengurus kegiatan pagi ini, tidak mungkin dirinya akan masuk rumah sakit. GERD memang sebuah penyakit yang menyebalkan bagi semua orang. Yah, ku akui penyakit ini sedikit membuatku teringat pada gadis itu. Perempuan muda terpelajar itu meninggalkan kesan sejak dia memucat karena GERD. Bukan lagi waktunya bagi ku untuk jatuh cinta. Aku sudah cukup memiliki Riana dalam hidup.Drrt Nah, dia tengah merindukan ku. Deretan nama sebuah instansi pendidikan agama membuatku begitu tentram. "Assalamu'alaikum, Ayah". Ucapannya sudah tidak lagi seperti toak yang begitu mengganggu. Dia sepertinya sudah tumbuh besar disana."Wa'alaikumussalam, sayang. Ada yang mengganggumu malam ini? Sudah sebulan ini kamu tidak menghubungi Ayah,"ucapku."Hei, Ayah. Aku bukan pacarmu, jadi jangan panggil aku sayang begitu. Salah Ayah, bukan sebulan tapi 3 bulan. Untung saja pacar Ayah yang marah-
Gita POV Mataku mengerjap sesaat merasakan hangatnya selimut yang membungkus tubuh. Rasa nyeri bekas jahitan operasi itu masih terasa begitu menyayat. Luka yang mengenai punggung membuat tubuh ku pegal karena berbaring miring seperti ini. Telinga ku yang secara sadar menangkap bunyi musik keroncong. Heuh, apa ini efek bius yang belum kunjung menghilang? Kenapa aku mendengar musik keroncong seolah Dirga sedang ada disini? Apa otak ku menjadi bermasalah? Eh, tapi kan bukan kepala yang terkena tembakan. Mataku melirik seorang pria yang sedang membaca koran di sofa. "Kamu ngapain disini?"tanyaku menyentuh dada ku terasa nyeri merambat ke punggung.Bahkan sedikit tenaga saja, seluruh tubuh ku langsung sakit. Mengenaskan sekali diriku saat ini hanya bisa berbicara dengan pelan. "Setelah sakitnya hilang baru bertanya yang aneh-aneh. Sekarang beristirahat saja dulu. Apa kamu mau makan? Dokter mengatakan harus makan yang lembut dulu,"ucap Dirga menaruh korannya."Aku tidak mau makan,"ucapk
Usapan lembut di kepala membuatku membuka mata perlahan. Menampilkan Dirga sudah berada di depan mata. Pria itu masih mengenakan seragam yang sama membawa sepiring bubur dan air. Hanya saja, sekarang ada beberapa butir obat sebagai tambahan."Ayo makan siang dulu,"ucap Dirga membuatku menghela nafas panjang."Aku tidak pernah makan siang,"ucapku jujur kembali menutup mata. "Git, jangan membuatku memaksa makan seperti tadi pagi,"ucap Dirga. "Kamu tidak perlu melakukannya, Dirga. Bukankah kita hanya dua orang asing,"ucapku.Sontak pria itu menurunkan pembatas ranjang memaksa diriku untuk duduk. Meskipun dia memaksa, pria itu masih melakukannya dengan hati-hati. Dia hanya diam tanpa bersuara membuatku mengikuti diamnya."Kamu sudah makan siang?"tanyaku sebelum dirinya menyuapkan bubur. "Aku akan makan nanti,"ucap Dirga membuatku segera mengambil alih sendok menyuapkan padanya."Kalau kamu makan, aku juga makan. Aku tidak pernah makan siang dan aku tidak mau membuat orang lain terkena
Author POV Gita hanya menikmati makanan hambar tanpa kata. Dirga pun mengurusnya seperti biasa tanpa mengatakan apapun. Mereka saling diam satu sama lain setelah kejadian 3 hari lalu. Lagian, siapa yang nggak kesal kalau dipermainkan? Apa rasa kecewanya benar? Atau itu hanya kesalahannya karena terlalu berharap. Pikiran itu masih berputar di kepala Gita. Sementara Dirga sedang berperang batin ingin memulai kata. Selalu datang berkunjung dengan dinginnya gadis itu terasa sangat berbeda. Karena dirinya pun belum siap mendengar penolakan lamarannya. Katakan dia pengecut, tapi sesuatu terkadang lebih baik tidak tahu."Nona,"ucap Dirga membuka suara menguatkan tekad.Pria itu cukup menyadari, Gita sama keras kepala sama sepertinya. Jika mereka berdua terus diam, Dirga khawatir perempuan itu akan kembali menyembunyikan sesuatu jika jauh dari pandangan. "Luka ku sudah mulai mengering. Minta perawat melepas kateter. Aku bisa berjalan ke kamar mandi sendiri meskipun belum disarankan berbari
Gita POV Ruangan rawat inap ku seolah meja persidangan. Ibu benar-benar marah dan kecewa padaku. Tapi memang semuanya hanya salah paham. Aku sering berbincang hanya berdua bersama rekan kerja ku. Bahkan Altezza sendiri sering ku bawa pulang. Mereka tidak memberikan protes."Apa Altezza yang mengatakan semua ini pada Ibu?"tanyaku menerka."Apa pentingnya itu, Nak? Kami kesini untuk membuat kejutan. Tapi malah melihat pemandangan seperti itu. Dengar, ada sebuah lamaran baik yang datang pada Ibu. Awalnya Ibu berpikir untuk menolak, tapi tidak ada salahnya bertanya padamu. Terlebih setelah apa yang Ibu lihat hari ini,"ucap Ibu.Cih, siapa yang melamar ku lewat orang tua tanpa mengabarkan dulu? Entah apa yang membuat keduanya melepas permintaan untuk menolak semua pria. Bukannya sombong, aku tidak mau ada pernikahan paksaan. Hidup ku sudah keras sejak keluar dari masa SMA. "Aku tidak akan menerimanya, Bu,"ucapku final."Dan terus berduaan seperti tadi bersama Ayahnya Ina?"tanya Ibu membu
Tatapannya yang begitu lekat dengan penuh tanda tanya membuatku mengangguk pelan meminta Azhara dan Celine meninggalkan kami. Aku ingin mendengar apa yang telah dirinya simpan selama ini. Meskipun tidak akan memperbaiki hubungan ku yang usai, setidaknya bisa mengembalikan semua pada tempatnya.Dokter Halimah menyajikan bubur rumah sakit, yang tentu berbeda dengan biasanya. Bubur yang biasanya dibuat Dirga akan ditambahkan perasa dan sayuran. Makan sore sekaligus makan penutup selama berada di rumah sakit."Apa yang ingin kamu coba katakan dengan makanan ini?"tanyaku menatapnya heran."Nona, Dirga itu pria yang baik,"ucapnya membuatku menaruh sendok.Momen ini sudah lama ku tunggu, tapi bukan lagi hal berarti untuk sekarang. Keputusan itu sudah membuatku menikah malam ini dengan pria asing. "Lantas kenapa kamu kabur meninggalkannya, dokter?"tanyaku membuatnya menatapku seraya menghela nafas panjang."Sebuah pernikahan dari perjodohan tidak akan ada harapan, Nona. Anda tidak tahu bagai
Berbagai jenis hadiah masih menumpuk di sudut kamar. Semua barang ku sudah di kemas kedua saudari menyisakan beberapa barang saja. Esok hari Dirga benar-benar akan membawa ku pergi jauh untuk mengarungi kehidupan baru. Mataku menatap cermin yang menampilkan wajah telah bersih dari polesan.Hidup adalah perjalanan. Untuk pergi ke suatu tempat. Kita perlu meninggalkan tempat lama. Malam ini Azhara memilih menghabiskan malam bersama Aditya di apartemen ku. Keduanya adalah tamu sekaligus punya pola pikir tersendiri. Sedangkan diriku memilih di rumah untuk merasa dekat dengan keluarga.Aku memang malas di rumah, tapi bersama mereka bisa membuatku tenang. Ketenangan itu akan berpindah tempat meninggalkan tempat lama. Pintu terbuka menampilkan Dirga membawa gitar usai menjamu tamu. Apa pria itu berniat memainkan musik seperti pengamen?Aku tidak paham lagi bagaimana arah pola pikirnya. Bahkan sekarang dibandingkan seperti tentara, dia seperti musisi yang akan memulai konser. "Kamu mau konse
Suasana tenang dan damai terbalut dalam nuansa rumah dinas Dirga. Mataku melirik pria itu yang tidak kunjung usai dengan aktivitasnya menata figura di rumahnya. Potret ngunduh mantu yang ku lakukan kemarin terlihat apik dengan siger Sunda. Entah apa bedanya, dibandingkan adat lain Dirga lebih menyukai itu.Padahal di hari yang sama aku harus mengganti pakaian berkali-kali karena multi culture. Nasi yang mengepulkan asap nya sudah siap untuk di lahap mengisi perut keroncongan membuatku segera keluar mencarinya. Langkah ku terhenti begitu melewati kamar. Potret semua pakaian yang ku pakai kemarin di tata se apik mungkin di dinding. Sementara di sisi lainnya aku terhenyak melihat foto ku ketika sibuk di lab. Siapapun yang memotret nya, wajah ku tampak tidak bagus jika dipasang disana.Aroma mawar begitu segar membuatku menoleh melihat Dirga membawa setangkai mawar dari pekarangan rumah. Akh, aku semakin meragukan dirinya tidak pernah punya pacar. "Kamu kira aku dukun? Seneng dikasih ke