Dentuman palu seirama dengan bunyi ketikan keyboard. Meskipun aku memutuskan mengambil cuti, tidak mungkin melepas tanggung jawab begitu saja terhadap beberapa berkas yang belum sempat terselesaikan. Aku mengambil cuti demi mengurus suami tercinta.Sayangnya pria itu tidak bisa berhenti untuk tetap duduk diam. Disini lah aku berakhir dengan kacamata anti radiasi masih bertengger di mata berkacak pinggang melihat pria yang berambut cepak itu asyik bertukang.Beberapa menit lalu dirinya bertengger di atas tangga memperbaiki atap. Sekarang dirinya malah berpindah ke samping rumah menengok berbagai jenis tanaman miliknya tengah bermekaran. "Tuan, bisakah Anda duduk diam saja? Luka Anda masih basah,"ucapku menghela nafas lelah."Saya cuma mengganti paku yang sudah usang saja, Nona,"ucap Dirga membuatku segera mengambil alih palu di tangannya.Lagipula apa dirinya tidak berpikir luka di tubuhnya bukannya bisa segera sembuh dengan banyak pergerakan. Aku tahu, kegiatan bertanam adalah salah
Teriknya matahari seolah tidak ingin membagi awan untuk membuatku merasa teduh. Tepat 100 meter dari tempat ku berdiri, tampak seorang pria tengah sibuk mengurus istri pertamanya. Wajahnya yang begitu cerah membuatku tersenyum kecil. Entah bagaimana hidupnya selama profesinya memanggil. Setelah melalui malam yang panjang semalam, dengan melihat beberapa bekas luka membuat benakku tercubit. Terhitung sudah 5 bulan aku menjadi bagian dari hidupnya. Rupanya masih banyak hal yang belum ku pahami darinya. Rasanya aku menjadi merasa bersalah tidak mampu memenuhi posisi istri di keluarga yang dirinya bangun.Namun begitu, pria itu masih berlaku adil padahal rasanya tidak adil dari sisi manapun. Belum lagi, bagaimana Ibu menceritakan Rania yang selalu membanggakan diriku. Padahal tidak sedikitpun aku mendidiknya. Mungkin hal ini bagian dari efek samping percintaan semalam.Aku bisa merasakan suasana sekitar yang begitu hampa. Beberapa hari tinggal bersamanya membuatku cukup mengerti. Tujuan
Suara musik yang mengalun memenuhi CR-V hitam kesayangan ku tidak hentinya membuat gejolak di kepala terasa damai. Sejenak berhenti di kediaman Ashana membuatku kian terhimpit ke dalam jurang ketakutan. Meskipun fakta itu pernah disampaikan Dirga, aku masih berharap semua hal terbaik untuknya.Pertemuan singkat dengan Ashana seolah telah disiapkan Allah untuk ku. Melihat petarung lautan itu akhirnya berhenti dan menjadi Ibu rumah tangga menggugah sedikit rasa ketidaksesuaian di kepala. Terlebih setelah melihat kedua putranya begitu patuh membuatku ingin angkat tangan.Melahirkan seorang anak bukan hanya tentang finansial melainkan mengenai bagaimana mendidik seumur hidup. Rencana untuk segera memiliki keturunan kian terasa gamang. Selama ini aku hidup begitu keras seperti dunia membentuk ku. Pelajaran dari ku tidak akan sebaik mereka yang sudah mempersiapkan diri menjadi seorang Ibu.Bahkan aku memasrahkan pendidikan putri ku ke pesantren kedua orang tua. Keduanya jauh lebih bisa mend
"Bun. Maafkan Rania sudah merepotkan Bunda lagi".Entah berapa kali kalimat itu harus terdengar di telinga. Apa dirinya tidak mengerti bagaimana dia itu berharga dan bukanlah orang asing antara satu sama lain. Bibirku sudah lelah untuk menjawab pertanyaan yang sama berulang kali hanya memutar bola mata malas.Dirga mungkin sering menekan dirinya sampai begitu tidak enak hati untuk semua hal termasuk padaku. Padahal beberapa barang memiliki batas kelayakan. Melihat Rania memakai pakaian baru yang jauh lebih layak itu membuatnya terlihat lebih anggun. "Bun. Rania boleh pinjam Hp? Mau telfon Ayah".Akh.Entah mengapa, aku masih kurang senang mendengar kalimat berbicara dengan Ayah. Aku saja belum memberinya kabar apapun lagi sejak terakhir kali menghubunginya. Lagian bukannya menyadari malah menganggap kesalahan yang biasa. Enggan meninggalkan jejak pikiran untuk Rania, segera ku angsurkan ponsel membiarkannya waktu menghubungi Ayah tercinta.Sejenak mataku melirik beberapa orang yang t
Berbagai catatan kemajuan produk tidak bisa berhenti begitu saja di departemen ini. Bahkan Celine sampai mengikat rambutnya asal pertanda dirinya mulai lelah. Demi mengejar cuti selama dua hari, aku memaksa diri melewati malam di rumah dinas untuk menyelesaikan pekerjaan. Hal yang ku kerjakan selama seminggu dipangkas menjadi beberapa semalam.Mataku mencoba tetap kuat menyelesaikan draf terakhir rekomendasi produk. Aku sudah tidak bisa banyak berkata-kata mengenai tulang punggung yang mulai kram semenjak beberapa waktu terus berdiri."Pak Dirga tahu tentang ini, Bu?"tanya Celine membuatku menaruh telunjuk di atas bibir."Dia sudah terlalu banyak pekerjaan sebagai komandan untuk skuadron. Sekarang saatnya aku menunaikan tugas sebagai Ibu, Celine,"ucapku."Benar, Bu. Masalah ini harus segera mendapatkan titik temu. Oiya, Pak Dhito tampaknya merasa kaget setelah mendapatkan email beruntun,"ucap Celine membuatku terkekeh geli.Kisah percintaan ku dengannya sudah kandas sejak perbedaan la
Suasana malam di kota Jakarta tidak pernah usai dari keramaian seperti ramainya jalanan yang terlihat dari balik tebalnya kaca kamar hotel. Masalah Rania akan selesai sebentar lagi tanpa perlu membawa nama Dirga. Aku dengan diriku sendiri pun bisa menyelesaikan masalah tidak peduli latar belakang para perempuan itu. Perlahan ku langkahkan kaki melewati koridor hotel berjalan menuju lift. Rasanya benakku sudah tidak lagi bisa bersabar mendengar kalimat pembelaan dengan sedikit tekanan dan kedua alis menukik. Telinga ku mungkin akan sedikit pengar setelah ini. Ting Baru saja lift terbuka menampilkan wajah seorang pria yang sangat familiar bagi ku. Bibir ku terkatup erat tidak bisa berkata-kata melihat tatapan datar tanpa berusaha beranjak dari lift."Mas Dirga,"ucapku kaget bukan kepalang. Tanpa perlu menjawab, Dirga meraih kartu di tangan ku seraya menarik paksa menjauh dari lift. Pria itu menarik ku memasuki salah satu kamar hotel. Baru saja aku ingin mendengar kesaksian para pere
Nafas ku tidak berhenti berdegup kencang menatap pemandangan di bawah sana. Entah bagaimana dengan bodohnya tidak sempat mengatur tempat duduk dan berada tepat di sebelah jendela. Keringat dingin mengucur deras membasahi pelipis ku sejak setengah jam yang lalu. "Apa ada yang membuatmu cemas, Dek?"tanya Dirga membuatku mendongak seraya menggeleng.Sepertinya kalau menyatakan pada Dirga diriku takut duduk di dekat jendela pesawat terlalu memalukan. Pria itu bahkan terbiasa melakukan manuver di angkasa seorang diri tanpa gentar. Entah bagaimana cara ku untuk tetap diam dan tertidur tanpa berpikir tengah melawan ketakutan yang mendera."Bicaralah,"ucap Dirga menggenggam tangan ku."Saya takut duduk di dekat jendela, Mas,"ucapku lirih memalingkan wajah."Saya tidak bermaksud mempermalukan dengan tingkah kekanakan. Maaf, Mas. Saya baik-baik saja,"ucapku cepat sebelum bibirnya terbuka.Dirga menghela nafas pelan disertai dengan kekehan kecil. Pria itu mengusap kepala ku sembari menunjuk ke
Temaram lampu baca membuatku tidak berhenti membaca sebuah buku di atas nakas. Entah kemana perginya Dirga hingga sekarang belum kunjung masuk ke dalam kamar. Tidak mungkin aku meninggalkannya tidur lebih dahulu. Jenuh terus menerus menunggu, perlahan ku langkahkan kaki beranjak keluar.Canda tawa renyah yang terdengar dari depan televisi membuatku segera bergabung. Rupanya kedua insan itu tengah asyik menikmati sajian drama komedi di televisi. Dirga yang melihatku segera menarik lengan bergabung bersamanya. "Pasti televisimu hanya sebagai pajangan rumah ini saja, kan,"ucap Dirga membuatku mengangguk pelan."Kenapa tidak bilang mau menonton?"tanyaku mengambil biskuit di atas meja."Rania tadi ke kamar Bunda. Tapi sedang di kamar mandi. Jadi, Rania kembali lagi,"ucap Rania membuatku mengangguk mengerti.Mataku menatap drama komedi di televisi hanya bisa menghela nafas pelan. Apa yang lucu dari tontonan ini? Atau dalam hidup ini aku terlalu serius sampai tidak pernah mengalami hal kony