Pram terdengar menghela napas lega.
“Saya segera ke sana,” katanya dengan suara terdengar sungguh-sungguh.
Nesa tercenung. “Apa aku tidak salah dengar?” gumamnya. Pikirannya melayang ke sana kemari. Satu sisi hatinya bahagia karena Pram ternyata masih peduli pada Susan, tapi di sisi lain, ia mengkhawatirkan nasib cintanya dengan Raga.
“Jika benar dia ayahku, apa yang harus kulakukan dengan Raga? Apa cinta yang kupunya untuk Raga bisa kualihkan menjadi cinta adik pada kakak?” Tiba-tiba Nesa bergidik ngeri teringat apa yang telah ia perbuat dengan Raga di malam sebelumnya.
Tergesa ia menggelengkan kepala menghapus bayangan itu. “Aku khilaf ya Tuhan,” keluhnya dengan perasaan tak karuan.
Dengan langkah gontai, Nesa kembali menuju ke ruang perawatan Susan. Tadi ia memilih keluar agar Susan tak mendengar pembicaraannya dengan Pram.
“Apa yang akan Ibu lakukan jika Pram benar datang ke sini?&rdq
Pram memandangi Susan. Perasaannya berkecamuk. Rasa bahagia bercampur prihatin membuat laki-laki itu menghembuskan napas berat. Lalu, secara tak terduga, ia mengelus tangan Susan dengan lembut.Nesa menatap tak percaya. Pemandangan di depan matanya seakan tidak nyata.“Dia mau apa?” batinnya sambil memperhatikan setiap gerakan Pram.Tiba-tiba Susan membuka mata dan terbelalak melihat Pram berdiri begitu dekat di hadapannya.“Pram…..” Ia berbisik dengan suara lemah.“Bagaimana keadaan kamu?” Pram bertanya dengan suara lembut.Susan tampak masih belum percaya. “Pram….Kenapa kamu ada di sini?” Ia menoleh ke arah Nesa, seolah meminta penjelasan.“Nesa dan Raga mengabari yang terjadi sama kamu.” Jawaban Pram membuat Susan menutup mata dan memalingkan wajah.“Seharusnya kamu tidak boleh di sini,” katanya dengan suara lemah. “Aku terlalu malu b
“Terima kasih Pram. Aku benar-benar berharap Nesa anak kamu. Tidak ada yang lebih pantas untuk jadi ayahnya selain kamu. Dan aku sangat yakin Nesa memang anakmu. Sifat keras kepalanya persis kamu.” Susan merasa kedekatan yang dulu pernah ia rasakan dengan Pram kembali menyeruak. Ia tak merasa sungkan sama sekali. Malah merasa begitu nyaman berada di dekat mantan pelanggan dan juga kekasihnya itu. Wajahnya penuh dengan air mata. Genggaman tangan Pram serasa obat penenang yang membuat tubuhnya tiba-tiba menjadi kuat.Pram memaksakan sebuah senyum untuk Susan, meskipun hatinya benar-benar sedang galau. Hanya dalam waktu hitungan hari, calon menantu yang sangat ia banggakan, tiba-tiba saja dinyatakan sebagai anak kandungnya.“Entah aku harus sedih atau bahagia,” batinnya. “Jika ternyata Susan salah, dia pasti sangat tersiksa karena sudah begitu yakin dengan perasaannya.”Sejumput rasa kasihan menyelinap di hati Pram melihat batapa
“Kalian tidak boleh menikah, karena kalian adik kakak!Raga dan Nesa menatap Pram dengan pandangan buram.“Itu lagi,” keluh Raga dengan suara tercekat. “Aku bosan mendengar kata-kata itu.” Ia bangkit berdiri hendak pergi meninggalkan ruangan.“Duduk, Raga!” Suara Pram terdengar tegas.“Aku tidak mau mendengar omong kosong itu lagi.” Raga menyahut singkat.Nesa menghela napas dengan wajah memerah menahan gejolak di dadanya yang terasa menggelora. Tak menyangka, kini Pram sendiri yang mengatakannya. Dengan lembut, ia menarik tangan Raga.“Mari kita dengarkan penjelasan mereka, Mas.” Ia menatap Raga dengan pandangan memohon.“Aku tidak mau, Sayang. Mereka terlalu mengada-ada.” Raga bergeming.“Duduk, Raga!” Pram mengulang perintahnya sambil menatap Raga dengan sorot mata dingin. “Papa belum selesai bicara!”Dengan kesal, Ra
Sejenak ruangan itu menjadi tenang. Pram mengelus rambut Susan, lalu melangkah keluar.“Kalian harus melakukan tes DNA,” Susan berkata dengan suara lemah. Hatinya benar-benar gundah. Ia semakin khawatir melihat betapa dekat hubungan Nesa dengan Raga.“Aku tidak akan melakukan itu!” Nesa benci disuruh melakukan test DNA. Padahal sebenarnya ia tidak siap menerima kenyataan.Raga mengenggam tangan Nesa. “Kita harus melakukan tes itu, Sayang. Biar semua menjadi jelas.”“Terima kasih, Raga.” Susan menatap anak mantan kekasihnya itu..“Tante istirahat saja. Saya mau bicara dengan Nesa di luar.” Raga menggamit tangan Nesa dan keduanya meninggalkan Susan yang kini kembali berusaha merebahkan tubuhnya.“Aku akan langsung mendaftar untuk tes DNA.” Raga berkata tegas ketika mereka telah berada di luar ruangan. “Aku tidak mau mengira-ngira dan menebak-nebak hubungan darah di a
Pagi menjelang. Susan merasakan tubuhnya jauh lebih kuat daripada semalam. Wajahnya pun sudah kembali memerah. Ia mengucek mata perlahan, lalu tatapannya terpaku pada Nesa yang tengah bergelung di sofa. Hatinya dipenuhi perasaan bahagia melihat anak gadisnya tampak begitu damai dalam tidurnya.Entah karena memang sudah bangun atau instingnya yang sedang bekerja, Nesa seakan-akan dapat merasakan tatapan Susan padanya sehingga matanya pun membuka dan bertatapan dengan mata Susan yang tengah memandangnya dengan sangat lekat.“Ibu sudah bangun? Bagaimana rasanya pagi ini?” Nesa bertanya dengan suara yang terdengar masih mengantuk.“Alhamdulillah. Ibu merasa jauh lebih sehat dan kuat. Sepertinya Ibu mau kita pulang hari ini. Ibu tidak betah lama-lama di rumah sakit.” Susan menjawab sembari memberikan senyum kecil pada anaknya yang kini terasa sangat dekat dengannya.“Syukurlah. Aku senang mendengarnya. Wajah Ibu juga tampak jauh l
“Hei.. halo…? Wah gila nih orang!” Nesa benar-benar tidak menyangka Lee yang menjawab ponsel Bas. Ia merasa ada sesuatu yang sangat janggal. Bergegas Nesa menghubungi Raga.“Mas, sepertinya Lee ada di rumah Bas. Aku telpon Bas, dia yang angkat. Katanya ayahnya harus dihukum karena membawa ibuku ke rumahnya. Mas, tolong panggil polisi ke sana. Mungkin ada tempat persembunyian rahasia di rumah itu. Aku mau telpon temanku yang di Bareskrim Polri. Tolong ya Mas. Segera Mas.”Raga yang tengah sarapan dan belum sempat berbicara, langsung menyela dengan suara tegang.“Yank, kamu di mana? Kenapa pagi-pagi sudah bicara soal Bas dan Lee?”“Aku masih di rumah sakit. Tadi mau kasih kabar Bas tentang Ibu, tapi yang angkat telpon ternyata Lee dan dia mengancam akan menghukum Bas. Aku khawatir dia berbuat yang tidak-tidak pada ayahnya.”“Tapi Bas kan ayah kandungnya?”“Lee itu gila, M
Pada saat yang bersamaan, di lantai atas, beberapa petugas polisi tengah menyisir rumah Bas dengan sangat teliti. Perintah dari Hutapea untuk mencari kemungkinan adanya bungker di lantai bawah tanah membuat mereka benar-benar meneliti setiap inci rumah itu. Semua kamar diperiksa, semua ruangan diselidiki, bahkan dinding dan lantai tidak luput dari pencarian cermat para petugas.Mereka bahkan menyusuri halaman luas di belakang rumah hingga kolam renang dan bangunan tempat Lee dinyatakan tiba-tiba hilang. Para petugas memfokuskan penelitian yang sangat cermat di setiap inci bagunan itu.Bagunan dua tingkat itu tadinya terlihat biasa dan normal, hingga kemudian salah seorang petugas berteriak kencang ketika menemukan sebuah kenop di bawah rak tempat penyimpanan barbel dan perlengkapan olah raga lainnya.Ketika kenop diputar, dinding lemari bergeser. Lemari bergerak dan saling menjauh sehingga tampaklah sebuah rongga seperti pintu yang menganga.“Di sin
Setelah mengurus administrasi, Nesa bergegas masuk ke ruang perawatan Susan. Ibunya tampak jauh lebih kuat dan sehat. Dokter mengatakan Susan hanya perlu istirahat dan menenangkan diri agar kondisinya kembali pulih.“Bagaimana Nes? Kamu sudah kontak Bas?” Susan lagi-lagi menanyakan Bas. Sepertinya memang ada kontak batin antara suami isteri yang telah lima tahun hidup bersama, meskipun terkadang ada saja persoalan yang membuat mereka kerap bertengkar.Nesa terlihat bingung memikirkan bagaimana cara menyampaikan berita duka itu pada Susan. Ia menghela napas panjang dan menghembuskan kembali dengan pelan sebelum akhirnya berusaha bicara dengan tenang.“Sudah Bu. Lee juga sudah ditemukan.” Ia berkata pelan.“Oya? Syukurlah. Kita bisa lebih tenang. Ibu takut kalo dia masih berkeliaran.” Susan berkata sambil menghembuskan napas lega.“Dia melawan waktu ditangkap, jadi terpaksa ditembak.”Susan menat