Ponsel yang tergeletak di meja rias hotel, bergetar tanpa henti sedari tadi. Sudah hampir lima belas menit, Mai siap dengan pakaian dan riasan sempurna untuk menghadiri akad nikah Qai. Namun, sedari tadi pula, Mai hanya duduk membatu tanpa melakukan hal apapun. Mai hanya menatap pantulan dirinya dari cermin yang berhadapan dengannya.
Akhirnya, hari itu tiba. Hari di mana Qai akan menikah dan Mai tidak mengerti, apa yang dirasakan hatinya saat ini. Mai bukannya tidak senang dengan hari bahagia sang kakak laki-lakinya itu. Namun, ada sesuatu yang tidak bisa Mai jelaskan dan sama sekali tidak dimengerti olehnya.
Sampai akhirnya, suara ketukan menenggelamkan seluruh kehampaan yang ada di kepala Mai. Ia pun bangkit dan beranjak untuk membukakan pintu. Sudah ada Jejen, salah satu pelayan yang bekerja di rumahnya memasang wajah lega setelah Mai membuka pintu.
“Mbak Mai, dicariin bapak sama ibu dari tadi, semuanya sudah di rooftop tinggal Mbak aja yang gak muncul-
"Eit, mau ke mana?" Entah dari mana datangnya, Raj kini sudah menghadang langkah Mai dengan merentangkan satu tangannya. Senyum khas yang selalu disematkannya ketika menatap Mai, lagi-lagi tidak pernah terbalaskan sama sekali. Enggan menjawab pertanyaan Raj, Mai menggeser langkahnya lalu berniat pergi menjauh dari pria itu. Namun, baru dua langkah Mai menjauh, tangannya dicekal dengan cepat oleh Raj hingga ia pun berbalik seketika. Menatap datar dan menahan kesal karena pembicaraannya bersama Byakta beberapa saat yang lalu. “Would you honor me with a dance?” tanya Raj dengan mengedip jahil kepada Mai. “For the last time.” Wajah Mai terlihat melunak seketika, tapi tetap datar seperti biasanya. “Last time?” “Ya,” jawab Raj dengan pasti. “Setelah ini, aku janji gak akan ganggu kamu lagi.” “Oh!” Bibir sensual Mai itu terbuka untuk beberapa saat, tapi tidak mengerti harus mengeluarkan kalimat seperti apa untuk Raj. “Oke.” Hanya satu k
Segelas strawberry shock dan satu porsi spicy grilled squid yang sudah habis separuhnya, sedari tadi menemani Mai yang duduk di meja pojok rooftop bar, yang sudah di sulap seperti fungsinya semula. Setelah keluar dari ballroom, hal pertama yang tercetus di kepala Mai adalah pergi ke rooftop bar. Menikmati langit malam yang malam ini ternyata terhampar sangat cerah. Dengan bulan purnama dan bertabur bintang yang berkelip di atas sana. Hanya berdiam seorang diri, tanpa ingin memikirkan hal apapun di kepala untuk sementara waktu. Sesekali, telunjuk Mai menggulirkan layar benda canggih yang ia geletakkan begitu saja di atas meja. Tanpa ada satu orang pun yang menghubungi dirinya. Mai menghela panjang, seraya menumpu wajahnya dengan tangan kiri. Sementara itu, tangan kanannya sibuk bermain dengan garpu dan menusuk-nusuk cumi yang masih tersisa di piringnya. Masih memandang langit kelam dan ditemani oleh angin malam. “Long time no see, Ibu Suri.” Ma
PLAK! Satu tamparan langsung mendarat sempurna di pipi kiri Raj. Belum juga rasa nyeri setelah terkena bogem mentah oleh Endy hilang, kini Mai menambah rasa sakit itu dengan satu tepukan keras yang membuat rasa panas di pipi Raj melebar. “Sakit, Mai!” decak Raj dengan tangan kiri yang sudah berada di pipi. Sementara itu, tangan kanannya masih betah mengalung pada pinggang Mai. “Itu bayaran karena kamu sudah kurang ajar!” seru Mai lalu menggigit bibir bawahnya yang terasa kebas. Tidak hanya bibir bawahnya, tapi bibir bagian atasnya pun kini terasa tebal. “Kenapa gak dari tadi-tadi namparnya?” balas Raj dengan memicing jahil. “Sudah dilepas, baru nampar. Begitu enak, diam aja menikmati.” “Pergi sana!” usir Mai kemudian beranjak dari pangkuan Raj. Sudah lelah dengan gejolak emosi, yang sedari pagi selalu saja naik turun tanpa bisa ditepi. Mai membuka pintu kamar tidurnya lalu masuk ke dalam dan duduk di tepi tempat tidur. Melepaskan stilettonya s
Riuh pesta resepsi pernikahan Qai yang masih menggema megah, membuat setiap orang hanya saling sibuk dengan diri sendiri, pasangan, atau pun rekan satu frekuensinya. Tidak terkecuali Sinar yang sedari tadi hanya sibuk menempel pada pada sang suami. Saling berdebat, tertawa, dan menikmati masa-masa bahagia yang masih bisa mereka rengkuh. Di tengah-tengah riuhnya pesta, Nando tergesa mendatangi Pras dan membisikkan sesuatu. Senyum hangat yang tadinya hanya tertuju pada Sinar kini berubah datar. “Di mana Mai sekarang?” tanya Pras sambil berdiri mengancingkan tuksedonya. Sinar yang duduk di sebelah Pras otomatis menatap curiga. Ikut berdiri dan tanpa bertanya lagi, ia langsung mengikuti Nando dan berjalan di samping Pras. “Nah, aku gak tahu kalau itu, Om,” jawab Nando sembari memelankan langkahnya agar bisa sejajar dengan Pras. “Manajer rooftop cuma laporan, kalau Mai bermasalah sama dua cowok di atas, sampai cowoknya pukul-pukulan. Terus, Mai masuk lift sama cow
“Kalian tidur di sini malam ini,” titah Sinar seraya mengemasi beberapa skincare yang ada di wastafel kamar mandi. Ada beberapa peralatan make up, yang juga Sinar masukkan ke dalam tasnya. Mai yang hanya berdua di kamar dengan sang bunda, tidak menjawab. Ia sibuk meratapi nasib sembari terbaring lelah di atas tempat tidur. Mau tidur di mana pun juga tidak masalah bagi Mai. Yang benar saja, dirinya dan Raj tidak mungkin akan langsung melakukan malam pertama, bukan? Ah, memikirkannya saja Mai langsung menggeram kesal dan kembali merutuki dirinya sendiri. Merasa begitu bodoh, karena terlena dengan sebuah kenikmatan yang berujung kesialan seperti sekarang. Sejauh ini, sang bunda juga tidak mengungkit tentang kejadian memalukan yang ada di kamar Mai beberapa waktu lalu. Sinar sepertinya enggan untuk membahas hal tersebut dengan Mai. Kedua orang tua Mai itu, hanya langsung mengambil tindakan untuk menyelesaikan masalah, daripada harus memberi ceramah panjang lebar
Mai terbangun ketika merasakan benda yang bergetar tanpa henti di atas tempat tidurnya. Tangannya pun menjelajah untuk menggapai benda yang telah mengganggunya. Saat tangannya mendapatkan sebuah benda persegi pipih yang diyakini Mai adalah ponselnya. Tanpa memperhatikan nama yang tertera di sana, ibu jari Mai langsung menggeser icon berwarna hijau lalu meletakkan benda pipih itu di telinganya.“Hm!” gumam Mai untuk menyapa seseorang yang sudah mengganggu tidurnya. Mai bahkan kembali menutup matanya dan masih ingin melanjutkan kegiatannya barusan.“Raj?” ujar suara seorang wanita yang bernada tanya di seberang sana.“Raj?” Mai balik bertanya dengan nyawa yang masih belum terkumpul sepenuhnya. “Kamu siapa?” Wanita di ujung saluran juga bertanya balik dan terdengar tidak sabaran. “Di mana Raj? Kenapa hapenya bisa sama kamu pagi-pagi begini?”“Raj?” tanya Mai sekali lagi sambil me
Seusai mandi, Mai keluar dan mendapati sang bunda sudah duduk di sofa yang berada di samping jendela kaca. Menatap hamparan gedung di luar sana dengan raut wajah yang sama sekali tidak bisa dibaca.“Sudah bangun, Nda?” tanya Mai yang tidak biasanya berbasa-basi seperti ini. Mai masih merasa tidak enak hati karena perbuatannya dengan Raj tadi malam. Merasa bersalah karena sudah mengecewakan kedua orang tuanya dengan berbuat hal yang tidak senonoh dengan seorang pria di dalam kamar.“Hm,” Sinar menggumam lalu menoleh pelan pada Mai yang masih memakai bathrobe. Langkah putrinya itu langsung tertuju pada sebuah tas yang tergeletak di samping pintu. Mai membawa tas tersebut lalu meletakkannya di atas tempat tidur.“Raj di luar sama ayah,” lanjut Sinar memberi tahu.‘Oh.” Mai mengambil baju ganti, lengkap dengan pakaian dalamnya, lalu berbalik menatap Sinar. “Aku ganti baju bentar, Nda.”Sinar t
Raj akhirnya bisa bernapas lega, setelah Pras dan Sinar keluar dari kamar yang ditempatinya. Kalau saja semalam ia tidak melakukan kesalahan, mungkin berbicara dengan Pras tidak akan semenegangkan seperti pagi ini.Meskipun begitu, Raj masih bisa mengatakan bahwa dirinya beruntung, karena Pras tidak menyinggung apapun mengenai kejadian tadi malam. Pria itu hanya berbicara tegas dalam memberi nasihat untuk kebahagiaan putrinya ke depan. “Duduk,” kata Mai memberi perintah ketika melihat Raj masuk ke dalam kamar. Mai menunjuk sofa yang ada di samping jendela dengan dagunya. Sedangkan dirinya sendiri, kini tengah duduk bersila di sudut ranjang.Diperintah seperti itu, Raj tentu saja enggan melaksanakannya. Kenapa juga mereka harus duduk berjauhan, sedangkan status keduanya saat ini adalah sepasang suami istri. Mereka sudah sah di mata agama dan sudah halal jika duduk berdempetan apalagi saling menyentuh.Untuk itu, Raj melangkahkan kakinya mengha