Sore itu, Pras pulang lebih cepat dari biasanya. Pria itu langsung menuju ruang yang berada di sebelah kamarnya. Sebuah kamar, yang nantinya akan diperuntukkan untuk sang putra tercinta.
“Kira-kira kapan selesai?” tanya Pras kepada salah satu tukang yang bekerja di sana.
“Tiga hari lagi selesai, Pak. Besok sudah finishing akhir dan beres-beres.”
“Oke.” Pras berbalik dan beranjak ke kamar yang dahulunya di tempati oleh Vio. Untuk sementara waktu, Pras dan Sinar pindah ke kamar tersebut. Setelah semua renovasi selesai, barulah keduanya kembali ke kamar mereka.
Seperti biasa, Pras mendapati Sinar sedang berbaring di ranjang. Wanita itu benar-benar sangat malas beberapa bulan ini. Kalau tidak tidur, maka ia akan pergi ke dapur untuk makan. Satu-satunya kegiatan yang lumayan bermanfaat selama kehamilan Sinar ialah, wanita itu sibuk menjahit di teras belakang.
Yang aneh adalah, Sinar enggan menjahit dari kain yang tela
Tangan besar itu dengan lembut mengusap punggung dan pinggang sang istri yang sedari tadi mengeluh sakit. Semakin ke sini, Pras merasa keluhan Sinar terhadap kehamilannya semakin menjadi. Wanita itu semakin sering terbangun untuk buang air kecil, dan setelahnya, Sinar akan kesulitan untuk kembali tidur.Belum lagi, beberapa hari ini wanita itu kerap mengalami mual dan morning sickness di pagi hari. Padahal, pada semester pertamanya, Sinar tidak mengalami semua itu sama sekali.“Masih pegel,” tanya Pras sudah mulai menguap, meski jarum jam baru menunjukkan pukul delapan malam.Sinar mengangguk dengan bibir manyunnya. “Pengen gitu, kalau hamil lagi, kamu aja yang ngerasain sakitnya, Mas,” celetuk Sinar. “Kamu yang sakit pinggang, kamu yang mual sama muntah, kamu yang bolak balik pipis, kamu yang—"“Iyaa,” sela Pras. “Nanti kalau hamil lagi, biar aku yang ngerasai semua-semuanya,” sahutnya asal, aga
“Udah enakan belum?” “Beluuum.” Sinar merengek dengan menggoyangkan kedua kakinya yang terjuntai di bawah tempat tidur. Sedangkan Pras, yang sudah berpakaian rapi dengan jasnya, menunda keberangkatan ke kantor karena sang istri yang sedari tadi mengeluh mual dan tidak enak badan. Sinar juga meminta Pras untuk memijat pundak serta mengusap punggungnya yang terasa tidak nyaman. “Dipijitin sama Lusi, ya, Nar?” bujuk Pras yang sebenarnya sudah telat jika harus berangkat ke kantor pagi ini. Sinar menggeleng dan kembali merengek. “Gak mau, ini loh anakmu, bukan anaknya Lusi.” Pras mengusap wajah yang mulai frustasi menghadapi Sinar. “Tapi, Nar—” “Kerja dari rumah,” potong Sinar. “Atau tunggu aku tidur, baru kamu boleh berangkat.” “Nar—” “Perutku gak enak, Mas,” Sinar kembali merengek. “Dikit-dikit keram, gak tahu ini anakmu maunya apaan? “Dia mau keluar,” jawab Pras dengan entengnya. “Belum waktunya tauk!” suara yang
Pras kembali mendengarkan penjelasan Daya dengan seksama, mengenai semua hal yang menimpa pada diri wanita itu. Setelah selesai, Pras pun mengangguk paham, karena sebelumnya ia sudah mendengar semua keterangan dari Lex. “Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Bintang sekarang?” “Baik,” jawab Daya tidak perlu berpikir terlebih dahulu. “Kita lagi gak ngomongin mas Bintang di sini.” “Baik dalam artian?” seperti biasa, Pras tidak akan menggubris ucapan seseorang jika maksud hatinya tidak tersampaikan lebih dulu. Untuk satu hal itu, Daya hanya bisa berdecak kesal, karena sudah paham dengan tabiat Pras. “Ya baik, memangnya harus diartikan sepertia apa?” “Kalian gak ada rencana rujuk? Kembali membina rumah tangga? Demi Kaivan?” Pras mencoba memancing Daya dan melihat respon dari wanita itu. Meskipun Sinar telah berceramah panjang mengenai Kaivan, Pras masih ingin memastikan sesuatu dengan Daya. Yakni, perasaan wanita itu terhadap Bintang, dan keluarga kec
Hujan pagi, membuat Pras masih betah berlama-lama berada dalam satu selimut bersama sang istri. Berbagi kehangatan, setelah melakukan kegiatan panas beberapa saat yang lalu. Sinar menggeliat dengan gumaman malas. Merubah posisi tidurnya bertelentang sejenak, untuk menatap Pras yang masih menutup mata. “Mas, udah jam segini, kamu gak mandi? Gak ngantor?” Pras yang masih malas itu, tidak membuka mata maupun menjawab Sinar. Pria itu hanya menggumam dan semakin mengeratkan pelukannya. Merasa tidak diacuhkan, Sinar menepuk tangan Pras yang melingkar di tubuhnya. “Misi, aku mau mandi, gerah!” “Mandi bareng, Nar,” ucap Pras langsung membuka kedua matanya. Melepas pelukannya kemudian bertelentang dengan helaan kecil. Memandang langit-langit kamar dan merasa enggan untuk pergi ke kantor hari ini. “Gak mau, aku mau mandi sendiri biar cepet.” Sinar bangkit dengan perlahan. Pras reflek ikut bangkit, untuk membantu sang istri menegakkan tub
Pras menatap datar pada baju couple yang sudah diletakkan Sinar di atas tempat tidur. Sepasang kaos berwarna biru langit yang masing-masing terdapat tulisan King dan Queen. Pras tidak bisa membayangkan, jika harus mengenakan pakaian layaknya remaja tersebut. Mengingat umurnya yang sudah tidak bisa lagi dikatakan muda.Sinar kemudian masuk ke dalam kamar, sembari membawa satu piring apel dan buah lain, yang sudah dipotong-potong sebelumnya.“Minggu ini foto ya?” Sinar memberi ringisan pada Pras sembari berjalan menuju sofa dan duduk di sana. Baju couple pesanannya baru saja diantar oleh kurir, oleh karena itu, masih ia letakkan di atas tempat tidur agar Pras mencobanya terlebih dahulu.“Aku panggilin fotografer, biar hasilnya bisa sekalian dipajang di kamar.”“Gak mau.” Sinar menggeleng dengan menggigit garpu yang berada di tangannya. Kemudian, terlintas sesuatu di kepalanya. “Eh, iya deh, panggil fotografer tapi m
Pras menahan tawanya sedari tadi. Merasa sangat lega karena mereka tidak jadi mengenakan baju couple yang sudah dibeli oleh Sinar. Sebenarnya, bukan salah ukuran ketika membelinya, hanya saja, Sinar tidak memperhitungkan keadaan perutnya yang sudah sangat buncit itu. Jadi, kaos yang dibelinya hanya muat sebatas dada dan tidak bisa menutupi perutnya secara keseluruhan.Untuk menggantikan baju tersebut, Sinar mencari baju dengan warna senada agar tetap terlihat serasi sebagai pasangan. Meskipun, wajahnya masih saja tertekuk masam sepanjang perjalanan menuju mall.“Sudah, gak papa. Gini juga, kan, sama couplean,” rayu Pras agar sang istri tidak memasang wajah cemberutnya sedari tadi. “Warnanya sama putih-putih gini.”“Gak sama,” rungut Sinar tidak melepaskan tangan Pras sejak mereka keluar dari mobil di parkiran basement. Jemari keduanya tertaut erat, di sepanjang jalan menuju salon khusus ibu hamil yang berada di lantai satu.
Rahang Pras masih saja mengetat dengan wajah datarnya. Tidak mengeluarkan sepatah kata pun semenjak keduanya melangkah meninggalkan Bintang.“Mas …” sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Sinar berusaha mencairkan suasana. Namun, pria itu tidak tergerak sedikit pun untuk membuka bibirnya. Sinar bahkan tidak berani untuk menyinggung rencana photobox yang sudah dicanangkan sebelumnya.“Sampai kapan kamu diemin aku kayak gini?” ucap Sinar, masih ingin terus berusaha berbicara dengan Pras. “Aku, kan, ketemunya gak sengaja. Jadi bukan salah aku, dong.”Pras masih saja bungkam dengan semua pikiran yang tidak bisa Sinar terka.Sebenarnya, Sinar ingin melakukan protes yang lebih lagi untuk lebih memaksa Pras. Namun, Sinar memiliki trauma tersendiri jika sudah berada satu mobil dengan pria itu. Sinar sudah dua kali merasakan diturunkan di pinggir jalan, ketika mereka tengah bertengkar dahulu kala. Untuk itu, Sinar lebih ba
Wajah Pras kontan berubah panik seketika, saat melihat sang istri yang duduk dan mengaduh kesakitan. Langsung berlutut di hadapan Sinar dan reflek meraba perut yang membuncit itu dengan khawatir. Jantungnya sudah berdetak tidak karuan, melihat Sinar yang meringis menahan nyeri.“Yang mana yang sakit, Nar?” tanya Pras dengan wajah pias penuh penyesalan. Tangan Pras dengan tanggap langsung berada di punggung serta perut sang istri. “Perutmu sakit? kita ke rumah sakit seka—”Ucapan panik Pras itu terpotong seketika, saat Sinar memukul tangan yang tidak henti mengusap perut besarnya itu. “Pergi! Gak usah deket-deket! Awas aja sampe anakku kenapa-kenapa!”Pras bungkam, batinnya sudah sangat gusar memikirkan ucapan Sinar tentang anak mereka. Mencoba menenangkan diri, tapi tidak kunjung bisa. Sungguh, Pras tidak sengaja menarik tangannya, karena ingin pergi dan enggan berdebat dengan sang istri. Tidak pernah menduga sedikit pun