Keesokan paginya, Gibran terbangun dan sudah mendapati Hpnya berantakan di atas lantai.
"Astaga! Aku lupa, kalo semalam aku lagi main Handphone."
Gibran langsung mengambil Hp tersebut dan memasangkan semuanya kembali.
Hhh...
Gibran mengehela napas pelan. Kemudian ia berjalan menuju sebuah kabel yang tergantung. Ia mencolokkan satu kabel ke sisi Handphone yang berlubang.
"Sampe nge-drop begini," gumamnya dan membiarkan Handphone terisi daya.
"Mah!" seru Gibran keluar dari dalam kamar.
"Apa, Nak!" jawabnya dari arah dapur.
"Mamah lagi masak apa?" tanya Gibran setelah berada di dapur, dan duduk di kursi meja makan.
"Masak orek tempe, kangkung, dan yah! Seperti biasa. Hasil berkebun kemarin!" jawabnya dengan terus membolak balik masakan.
"Oh. Maaf, ya, Mah! Aku, akhir-akhir ini gak bantuin Mamah!" kata Gibran merasa bersalah.
Mamah menoleh sebentar, "Gak papa. Mamah'kan ada yang bantuin juga," jawabnya santai.
"Tapi,"
"Sudah! Kamu pokus aja sama cita-cita kamu yang sudah di depan mata. Jangan sia-sia kesempatan yang ada!" titahnya menasehati.
Gibran mengangguk dengan semangat.
"Sana mandi! Nanti kamu ngampusnya kesiangan lagi!" titahnya sembari mengangkat masakan yang sudah matang.
Gibran mengangguk kembali. Ia kemudian kembali lagi kekamar untuk mengambil handuk terlebih dahulu.
Tak lama, Gibran keluar lagi dengan handuk ia sampirkan di pundak dan masuk kedalam kamar mandi.
Ya, kamar mandi di rumah Gibran hanya satu, yaitu di dekat dapur.
Selang beberapa menit, Gibran keluar dengan tubuh segar bugar.
"Ish! Pakai baju dulu. Baru makan!" suruh Mamahnya sembari menepuk tangan Gibran yang akan mengambil piring.
"He, udah lapar, Mah!" jawabnya cengar-cengir.
Mamah hanya menggelengkan kepalanya heran.
"Papah mana, mah?"
"Oh, iya lupa," jawabnya sambil menepuk jidat.
"Ih, Mamah! Suami sendiri aja dilupain!"
"Gak sengaja."
"Hi," Gibran tersenyum sedikit. Ia mulai menyedok nasi dan beberapa lauk yang sudah Mamahnya masak.
"Astaga, Gibran! Ngapain kamu?" tanya Papah.
Alhamdulillah, kondisinya sudah membaik sekarang.
"Makan, Pah!"
"Iya makan. Tapi kenapa gak pake baju dulu?"
"Udah laper banget, Pah! Hi...,"
"Ck..ck..., punya bujang satu," ucapnya sembari menepuk punggung anaknya.
"Hi...," Gibran hanya terus musa-mesem.
Mereka sarapan pagi bersama-sama.
Setelah selesai makan, Gibran baru memakai pakaiannya, dan semua perlengkapan lainnya.
"Mah! Pah! Aku berangkat, ya?"
"Iya, Sayang! Jangan lupa bawa jaz hujan! Sudah mendung!" jawab Mamah dengan sedikit berteriak-teriak karena mereka sedang berada di belakang rumah.
Sreekkk....
Gibran membuka gorden kaca dan melihat keluar rumah.
"Hah, iya. Kayaknya hari ini bakalan hujan," terkanya sembari menutup kembali gorden tersebut.
"Mah! Jas ujannya dimana?" tanya Gibran sembari mengacak-ngacak al-mari kecil yang berada di dapur.
"Diluar! Mamah lupa melipatnya," jawabnya cukup keras.
Gibran langsung berjalan kearah luar, dan benar saja. Jas hujan masih tergantung di tembok luar.
Gibran kembali masuk kedalam rumag guna menganggil Hp, juga tas yang selalu ia bawa ngampus.
"Salamlikum!" seru Gibran sembari menutup pintu.
"Kumsalam."
Sebelum berangkat, Gibran memakai terlebih dahulu jas hujan tersebut ketubunya karena mulai ada beberapa tetes air yang turun.
Brmmm...
Gibran melajulan motornya menuju kerumah Alleta.
Kikk....
Dengan sangat cepat, Gibran menghentikan kendaraanya di halam rumah Alleta. Ia sudah melihat Alleta yang baru keluar dari dalam rumah saat mendengar ada suara motor kehalaman rumahnya.
"Hunny! Gimana ini? Ujan malah makin deres?" tanya Gibran bingung. Sedangkan ia hanya mempunyai jas hujan satu-satunya.
"Nunggu berenti dulu, deh!" jawab Alleta.
"Tapi sekarang, 'kan pelajaran kelas Pak Hamdi!" seru Gibran bingung.
Pak Hamdi?
Pak Hamdi adalah guru yang sangat tegas. Dia mau mendengarkan apapun alasannya kenapa telat.
Pak Hamdi tidak mau siapapun yang telat masuk pelajarannya, mereka harus menerima konsekuensinya.
"Hm. Kalo gitu, kita berangkat aja, deh!"
"Gimana berangkatnya, Hunny?" tanya Gibran bingung. Hujan malah semakin kerap.
Alleta mengangkat kedua belah tangannya tidak tahu.
Gibran langsung membuka jas hujan yang sedang ia pakai. Ia langsung memakaikannya ke tubuh Alleta.
"Gimana sama kamu?" tanya Alleta bingung.
"Tenang!" serunya, "Aku masih ada ini," tambahnya dengan memperlihatkan jaket yang ia pakai.
"Tapi, air hujan akan tembus, Bunny!"
"Gak papa." Jawabnya sambil membuka jas hujan bagian bawahnya.
"No! Aku gak mau kamu sakit!" bentak Alleta.
"Hunny!" seru Gibran lembut.
Alleta menundukkan kepalanya. Lalu, Gibran memakaikan celana jas tersebut ke kaki Alleta.
"Stop!" teriak Alleta sebelum Gibran menarik celana jas tersebut ke atas.
"Why?"
"Aku bisa pakai sendiri," ucap Alleta dan menarik celana tersebut hingga ke atas.
Hihiā¦
Gibran tersenyum geli. Ia mengerti kenapa Alleta menghentikannya. Apalagi sekarang, Alleta memakai rok mini.
"Apa senyum-senyum?" tanya Alleta sewot.
"Haish. Galak amat, sih!"
"Buang tuh pikiran kotormu," titahnya.
"Apa?" tanya Gibran pura-pura tidak tahu.
Alleta memutarkan bola matanya kesal.
"Yuk!" ajak Gibran sambil menarik tangannya.
"Serius kamu gak papa, Hunny?" tanya Alleta khawatir.
"I'm strong!" jawabnya dengan mengangkat sebelah tangannya ke atas.
Alleta terkikik pelan, "Ok. Aku percaya kalo pacarku memang kuat."
Gibran tersenyum lucu.
"Yok!"
Mereka berangkat ke kampus bersama walau hujan rintik-rintik makin kerap,( deras ).
Gibran akhirnya berangkat hanya menerobos hujan hanya menggunakan jaket saja.
Terlepas dari itu, apapun akan Gibran lakukan demi pacar tercintanya.
"Gimana kalo telat? Dan sekarang adalah waktunya Pak Hamdi mengajar."
Setibanya di kampus, Gibran langsung memarkirkan kendaraannya di halaman kampus.Mereka terburu-buru turun dan berlari menghindari gerimis yang makin lebat."Hunny!" seru Gibran dan mendekati Alleta.Mereka berteduh di depan teras kampus."Biar aku yang bukain," kata Gibran.Alleta hanya tersenyum manis.Gibran langsung membuka res-sleting yang terpasang dan membuka jas yang di pakai oleh Alleta."Ini biar aku saja," ucap Alleta sembari memegang jas celana yang ia pakai.Gibran mendongak, lalu menyunggingkan bibirnya sebelah, "Aku gak bakal apa-apain kamu, kok," ucapnya menggoda Alleta."Hish!"Alleta mendelikkan matanya sebal.Setelah itu, Gibran dan Alleta berjalan bersama menuju kelas."Hunny! Kok sepi, ya?" ucapnya.Alleta celingukan, "Iya, ya. Kok sepi, sih!" timpalnya."Jangan, jangan,""Ah. Kita terlambat, Bunny!"Terlihat jelas raut wajah Alleta menjadi lemas tak b
Hai para reader yang baik dan ramah. Salam kenal semua. Saya, Rhaniie. Sering dipanggil (Dede). Itu panggilan kesayangan dari keluargaku. Hi.... Aku hanya ingin menyampaikan, ini ceritaku yang kedua disini. Jangan lupa kasih dukungannya, ya. Dengan cara : Rate! Kalo boleh, bintang lima, ya. Hihi... Vote! Berapapun seikhlas kalian. Coment! Comen apapun terserah, ya. Yang penting itu benar kenyataannya. Apalagi kalo memberikan krisar. Makasih banget. Jangan lupa! Masukan juga ke pustaka kalian. OK! Semoga cerita ini bisa menghibur kalian semua. Mengambil hikmah didalamnya, dan.... Semoga kalian diberi kesehatan selalu, panjang umur, dan di gampangkan rezekinya. Sukses semua! Makasih! Sarangheo! Salam hangat dan cinta sebanyak-banyaknya. From : Istri halunya Mas Tae. &n
Gibran dan Alleta berjalan menuju ke salah satu bangku paling pojok.Serettt…Gibran menarik sebuah kursi untuk Alleta duduki."Silahkan!" seru Gibran manis kemudian ia ikut duduk sebentar."Mau pesan apa?" tanya Gibran."Em, sepertinya bakso enak, Bunny!" ucapnya bersemangat."Pasti! Apalagi dengan cuaca yang kayak gini," tambah Gibran."Ok. Kalo gitu, aku pesan bakso aja!""Siap. Tunggu sebentar, ya?"Alleta mengangguk pelan dan Gibran langsung berdiri, melangkah menuju tempat memesan makanan.
Tak lama, suara gemuruh Mahasiswa/i yang akan pada makan di kantin kampus mulai berdatangan."Eh, ada Gibran!" seru seorang wanita tepat di samping Alleta.Gibran tersenyum menanggapinya."Gak nge las?" tanyanya.Gibran menggelengkan kepalanya, "Kita kesiangan," jawabnya."Kenapa? Pasti gara-gara jemput dia dulu, ya, kan?" tuduhnya sambil melirik Alleta sekilas.Hhhh….Alleta mendengus sebal.Gibran melihatnya jadi merasa lucu, "Enggak, kok. Karena tadi hujan lumayan deras, jadi kita neduh sebentar," jawab Gibran dengan tatapan terus fokus pada Alleta yang juga menatapnya.
Gibran melajukan motornya ke sebuah tempat yang sangat indah. Tempat yang pas untuknya menyejukkan hati yang sedang terbakar."Loh, kok, kesini?" tanya Alleta sambil turun dari motor.Gibran hanya diam. Mood-nya sedang tidak bagus.Gibran langsung berjalan tanpa mengajak Alleta terlebih dahulu."Bunnyyyy!" seru Alleta.Gibran tidak menghiraukannya. Ia terus berjalan mendekati sebuah genangan air yang sangat luas.Tepat di pinggir danau, Gibran menghentikan langkahnya.Alleta yang sedari tadi hanya mematung sambil melihatnya berjalan acuh padanya. Kini melangkahkan kakinya saat melihat Gibran sudah berhenti melangkah.
Akhirnya, Alleta dan Gibran hanya jalan-jalan di pinggir Danau saja tanpa adanya air mancur."Cape?" tanya Gibran.Alleta mengangguk pelan.Gibran menghentikan langkahnya dan mengajak Alleta untuk dulu.Alleta tersenyum. Ia duduk disamping Gibran seraya menyandarkan kepalanya ke bahu Gibran."Bunny. Kalo kamu sukses menggapai cita-citamu. Apa kamu akan melupakanku?" tanya Alleta dengan suara pelan.Gibran langsung menoleh pada Alleta, "Apa maksudmu, Hunny?""Aku takut, Bunny. Aku takut kalo kamu akan melupakan aku," jawabnya lirih."Hunny." ucap Gibran sambil mendorong kecil kepala Alleta d
Hari ini, genap sebulan Gibran bekerja di Cafe tersebut."Apa aku besok malam boleh minta cuti?" ucap Gibran sungkan.Pak Pendra tersenyum hangat. Ia menepuk bahu Gibran secara berulang-ulang."Itu terserah kamu. Kan di dalam perjanjian, aku tidak berhak memaksamu untuk terus bekerja," jawabnya mengingatkan lagi."Hehe." Gibran menampilkan giginya sedikit. "Kalo gitu, aku permisi, Pak!" ucap Gibran sopan."Silahkan. Nanti kamu hubungi Asistenku kalo mau masuk kerja lagi.""Baik, Pak! Makasih banyak, Pak!" Gibran sangat berterimakasih senang sekali mendapatkan atasan seperti Pak Pendra. Selain pengertian, Pak Pendra juga sangat baik sekali pada Gibran. Apapun yang Gibran katakan, d
Gibran memarkirkan motornya di depan halaman rumah Alleta."Eh, Nak Gibran." sapa bapaknya Alleta dari ambang pintu."Alleta-nya ada, Pak?" tanya Gibran sambil menyalami tangan bapaknya Alleta."Ada di dalam. Katanya lagi ngurus makalah buat besok." jawabnya sambil mengelus punggung Gibran lembut.Gibran mengangguk paham."Silahkan masuk. Bapak mau ke warung depan.""Makasih, Pak!"Bapaknya Alleta mengangguk, lalu pergi.Gibran masuk tanpa permisi lagi karena ia sudah dapat izin dari bapaknya Alleta.Tok…