“Gimana sikap Auriga sampai saat ini? Dia selalu bersikap baik sama kamu, Sayang?”Awalnya Lavina akan menggeleng dan menjawab Om Auriga jahat! Selain sikapnya yang dingin dan menyebalkan, dia juga sudah menodai aku waktu dia mabuk! Dan parahnya lagi, dia malah nggak ingat sama sekali sudah menciumku!Namun, Lavina langsung ingat pada berkas pembayaran kuliahnya yang Auriga berikan kemarin. Dengan semangat Lavina mengangguk sembari tersenyum lebar.“Mas Auriga baiiiiik banget sama aku, Mom. Dia orangnya hangat dan penyayang. Pokoknya Mas Auriga itu paket komplit!” Lavina tertawa kecil yang dibuat-buat.Jauh di dalam hati, Lavina ingin meralat semua kata-katanya barusan.“Oh? Benarkah? Dia seperti itu?” Gendarly mengerjap. Wanita paruh baya—yang cantiknya tak termakan usia, menghentikan kegiatannya yang sedang mengelap daun tanaman di dalam pot. Ia menatap Lavina dengan tatapan tak percaya. “Serius?”Lavina mengangguk cepat, senyuman lebarnya tak kunjung lenyap dari bibirnya. “Mommy, a
Tanpa menatap wanita yang terbaring di kasur yang tengah menatapnya dengan tatapan tak rela, Auriga menyeret langkahnya menuju balkon.Dari kamar hotel lantai sepuluh ini ia bisa memandangi gemerlapnya kota Sydney di malam hari.“Iya, Dad. Kenapa?”“Lavina sudah kasih tahu kamu?”Tampak kerutan di kening Auriga, ia menumpukan satu lengannya yang terbebas pada pagar pembatas. “Tentang apa?”“Honeymoon kalian.”Mata Auriga terpejam dengan kesal, sejenak. Honeymoon lagi, honeymoon lagi, bukannya masalah itu sudah sepakat dibatalkan? Kenapa harus dibahas lagi?“Oh, itu. Dia belum kasih tahu aku, mungkin belum sempat.” Auriga beralasan. Padahal ia tidak pernah menghubungi Lavina setelah meninggalkan Indonesia. Auriga hanya menelepon Aurora melalui ponsel Aurora sendiri.“Kenapa memangnya?” tambah Auriga lagi.“Bulan depan siapkan cutimu selama lebih dari seminggu. Lavina sudah mencabut penolakannya buat tawaran Daddy,” jelas Axl, yang membuat Auriga seketika membulatkan mata.“Maksud Daddy
“Lavina?" Lavina berjengit kaget begitu seseorang menepuk bahunya dan memanggil namanya dengan ceria. Seketika Lavina menoleh ke belakang, ia tersenyum lebar dengan mata berbinar begitu melihat siapa yang berdiri di sana. “Juna!” pekik Lavina dengan riang, tapi sedetik kemudian ia langsung menutup mulut dengan telapak tangan, karena suaranya yang keras sudah mengganggu para pemustaka yang sedang fokus membaca di meja perpustakaan kampusnya itu. “Junaaa gue kangen banget sama lo,” bisik Lavina sembari mencubit lengan pemuda berwajah khas Korea itu dengan gemas. “Ish! Sakit.” Juna menyentil dahi Lavina, kemudian tersenyum sembari mengusap tengkuk. “Serius?” “Apanya?” “Lo kangen gue?” Lavina mengangguk cepat-cepat hingga kuciran rambutnya bergoyang-goyang. Ia memeluk buku yang baru saja diambil dari deretan buku di rak khusus kesusastraan. Pipi Juna tampak sedikit memerah usai melihat anggukkan Lavina. Ia tampak malu-malu dan tangannya kembali mengusap tengkuk. Ada kebahagiaan y
Auriga pulang ke rumah keesokan harinya. Ia tiba ketika rumah dalam keadaan kosong. Aurora sedang sekolah. Sementara Lavina, Auriga pikir kemungkinan besar Lavina sedang berada di kampus. Karena kantuk yang menyerang, Auriga langsung menjatuhkan diri di atas tempat tidur tanpa melepas seragam pilotnya. Namun, baru beberapa jam ia tidur yang terasa seperti beberapa menit saja, ia merasakan ada seseorang yang memeluknya dari belakang. Dengan mata yang terasa lengket, Auriga menoleh, ia tidak begitu terkejut melihat Yoana yang tengah memeluknya itu. “Yoana, kapan ke sini?” Suara Auriga terdengar serak, ia melirik jam di nakas, khawatir jika sudah waktunya Aurora pulang. “Baru sepuluh menit yang lalu.” Yoana tersenyum, jemarinya yang dicat berwarna merah menyala, bergerak seduktif di depan kancing pakaian Auriga. “Aku lagi jenuh, makanya aku datang ke sini. Nggak apa-apa, ‘kan?” Auriga mengembuskan napas panjang. “Seharusnya kamu konfirmasi dulu kalau mau datang ke rumah.” “Tenang
Dengan tatapan sedih Lavina menempelkan poster Jung Kook yang lecek itu ke dinding, di samping beberapa poster BTS yang ukurannya jauh lebih kecil. Hanya poster itu yang ada tanda tangan asli Jung Kook. Lavina mendapatkannya dari Juna ketika lelaki itu pulang dari Korea tahun lalu. Katanya, demi mendapat tanda tangan Jung Kook untuk Lavina, Juna rela panas-panasan dan berdesakkan dengan ratusan fans sang idol dalam acara fan signing. “Dia cuma manusia, jangan terlalu berlebihan dalam mencintai seseorang.” Kening Lavina mengernyit, jemarinya yang tengah mengelus pipi Jung Kook yang lecek, langsung berhenti bergerak saat mendengar suara berat seorang pria. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Auriga sudah berdiri di dekatnya. “Semuanya gara-gara Om Auriga!” ketus Lavina dengan perasaan sebal. “Lagian kenapa emangnya kalau aku menyukai idolaku sendiri? Menurutku, menyukai idol tuh nggak bakal nyakitin. Beda sama cowok di dunia nyata, mereka punya banyak potensi buat nyakitin perempu
Hari keberangkatan ke Korea pun akhirnya tiba. Saat ini, di negeri Ginseng sana sedang musim semi, Lavina tahu apa saja pakaian yang harus ia kenakan selama liburan.Mereka pergi bertiga bersama Aurora. Awalnya Gendarly dan Axl meminta supaya mereka pergi berdua saja, akan tetapi baik Lavina maupun Auriga, sama-sama bersikukuh ingin membawa Aurora.Alasannya simpel, Lavina tidak mau berduaan saja dengan Auriga.“Mommy, aku baru pertama kali lho ke Korea, entar di sana kita mau ngapain aja?”Pertanyaan bernada polos dari Aurora membuat Lavina mengalihkan tatapannya dari pesawat yang terparkir di luar sana, ke arah anak itu yang duduk di sampingnya.Raut wajah Lavina yang semula tampak muram, seketika berubah cerah, ia menjawab panjang lebar, “Aurora, di Korea itu banyaaaak banget tempat wisata. Pokoknya nih ya, kamu ikutin Mommy Lavina aja deh, pasti bakalan seru dan kamu nggak bakal nyesel. Entar kita main banyak wahana-wahana seru di Everland! Terus kita berkeliling istana kerajaan K
Lavina menunjukkan boarding pass dan paspor pada pramugari berwajah khas Korea yang menyambut dengan ramah di pintu masuk pesawat.Sejenak, Lavina merasa ragu untuk masuk. Ia menelan saliva begitu tatapannya tertuju pada kabin pesawat yang terlihat dari ambang pintu, tempatnya berdiri sekarang. Wajahnya mendadak berubah pucat, tangannya meremas ujung hoodie over size-nya dengan sedikit gemetar.“Mrs, are you oke?” tanya pramugari, yang membuat Lavina tersadar bahwa di belakangnya sudah mengantre beberapa orang yang mau masuk.“O-oke.” Lavina kemudian menyusul Auriga, Aurora serta Yoana yang sudah lebih dulu masuk.Ayah mertuanya memesankan tiket untuk mereka bertiga di kelas utama yang berada di kabin paling depan. Bagi Lavina yang baru pertama kali naik pesawat, ia sangat terkesan dengan kemewahan di dalam pesawat tersebut.Kursi kelas utama terdapat empat kursi di setiap barisannya. Satu kursi di dekat jendela sebelah kanan, dua di bagian tengah, dan satu lagi di dekat jendela sebel
Setelah menghabiskan waktu selama kurang lebih tujuh jam di udara, akhirnya rombongan kecil itu tiba di Korea pada waktu dini hari.Lavina mampu menghabiskan sisa waktu di pesawat dengan tenang setelah Auriga menenangkannya.Begitu menginjakkan kaki di bandara Incheon yang tampak megah dengan cahaya berkilau dari langit-langit yang tinggi, Lavina langsung terpana. Ketakutan yang ia rasakan selama di dalam pesawat, kini terbayar oleh kemegahan yang terpampang nyata di hadapannya.Gadis yang semula tampak kuyu dan mengantuk itu, seketika berubah cerah secerah mentari di siang hari.Dia sibuk dengan kamera ponselnya untuk memotret setiap sudut bandara. Ia juga mengambil foto selfie bersama Aurora, dengan senyuman lebar dan jari membentuk huruf V.Sementara itu, Auriga berjalan di belakang mereka dengan ekspresi datar dan langkah tegap. Yoana berjalan di sebelahnya dengan anggun. Kacamata hitam bertengger di hidung Yoana, untuk menyamarkan matanya yang sedikit berkantung.Seorang pria men