“Pagi Ma, Pa,” sapaku.
Aku turun bersama Gamma. Dia sudah rapi dan siap berangkat ke kantor, begitu pula denganku yang sudah siap untuk berangkat ke pemotretan pertamaku. Jika Gamma begitu formal dengan setelan jasnya, penampilanku justru kebalikannya. Aku hanya mengenakan celana jins ketat serta kemeja putih oversize. Rambutku dikucir ekor kuda. Aku membawa ransel kecil sekadar untuk membawa ponsel dan dompet. Kukecup pipi Papa dan Mama bergantian. Keduanya balas mengecup pipi kemudian keningku, kemudian tersenyum padaku. Aku nyengir lebar.
“Jangan nyengir terus. Nanti wajah lo bisa-bisa retak,” gerutu Gamma sembari menuang jus jeruk untuk dirinya sendiri. Cengiranku semakin lebar dan Gamma membalas dengan memutar-mutar bola matanya.
Baru sekitar dua jam kemudian aku siap menjalani pemotretan. Aku harus berupaya keras untuk meredam emosiku. Dan sekarang, kemarahanku berubah menjadi perasaan tidak enak hati kepada tim yang bekerja. Mereka tidak mengeluh meski kutahu mereka pasti kesal padaku.Aku keluar dari ruanganku dan menemukan Xabi yang ternyata sudah memulai sesinya lebih dulu. Sedangkan Gamma tidak tampak batang hidungnya sama sekali—mungkin dia sudah pergi ke kantornya sendiri. Aku duduk menunggu sesi pemotretanku tiba.Selama menunggu, diam-diam aku mengawasi Xabi yang tampak begitu santai. Dia berpose seolah di tempat ini hanya ada dirinya seorang. Xabi tampak begitu menikmatinya. Dan aku tersadar kalau memang inilah dunianya. Dia sudah berkecimpung di dunia hiburan semenjak usianya masih belasan tahun. Kami bersitatap dan kulihat ada kelegaan pada sorot matanya dan aku cepat
“Lo nggak mau mampir, ‘kan?” Nara bertanya ketika mobil Xabi melewati gerbang rumahnya. Xabi tak menjawab. Pandangannya lurus ke depan. Nara mendengus ketika tidak mendapatkan respons yang diinginkannya.Begitu pemotretan selesai, Xabi memerintahkan supaya gadis itu pulang bersamanya. Naraya menurut meski sembari bersungut-sungut. Dia mengajak gadis itu ke sebuah taman. Ia ingin berbicara lebih banyak dengan Naraya, tetapi kata-kata itu berhenti di ujung lidahnya. Lidahnya terasa kelu. Apalagi ketika melihat Naraya yang masih saja menjaga jarak setelah apa yang mereka lewati hari ini.Pemuda itu membantu Naraya melepaskan sabuk pengaman, kemudian sebelum Naraya sempat menghindar, dia mengecup pipi gadis itu, kemudian langsung turun dari mobil untuk membukakan pintu. Naraya sempat tertegun meski hanya sejenak, kemudian dia turun dari mobil dan
Aku memakai gaun hitam gemerlapan berlengan panjang dengan belahan dada rendah. Gaun ini terbuat dari kain sutra berwarna hitam pekat, dilapisi kain hitam berkerlap-kerlip yang memberikan kesan seolah gaun ini ditaburi serbuk bintang. Roknya melambai di belakangku dengan belahan yang mengekspos kakiku ketika melangkah. Bibirku diberi pewarna merah pekat, dan garis mataku dibuat lebih tebal dengan sudut tajam.Ketika memejamkan mata, bulu mataku terasa menggelitik pipi. Rambutku digulung ke atas sehingga leher serta dadaku semakin terekspos. Perias itu menyematkan hiasan perak berbentuk jalinan daun dan bunga-bunga kecil. Tanpa perhiasan apa pun selain cincin batu rubi di jari manis tangan kananku. Satu kata yang bisa menggambarkan penampilanku sekarang. Brutal dan kejam.Kupastikan riasanku baik-baik saja sebelum
“Kenapa lo? Muka lo lecek banget.”Aku hanya melirik sekilas ke arah Gamma sembari melemparkan tatapan setajam katana, kemudian mendengus keras. Kuangkat gelas berisi angur ke bibirku, kemudian menghabiskannya dalam sekali tegukan. Ketika ada pelayan yang lewat, aku menyambar gelas yang baru, kemudian mengembalikan gelas yang sudah kosong.Aku bersandar pada kursi di sudut ruangan, sebisa mungkin berusaha menjauhi kerumunan dan melebur bersama bayang-bayang. Sudah hampir pukul sebelas malam dan aku dengan gigih menjauh dari semua orang. Yang kuinginkan hanyalah ketenangan dan waktu untuk menata pikiranku. Hal terakhir yang kubutuhkan ialah orang-orang yang berusaha menarik perhatianku, bersikap sok akrab, dan sering kali berlebihan dalam mencari muka.Entah sudah berapa banyak anak-anak rekan bisnis ayah
“Gue minta maaf,” gumam Xabian. Aku berpaling padanya dan menemukannya sedang termenung memandang langit malam.Kami kini berdiri di sebuah patio, menjauh sejenak dari keriuhan pesta di dalam dan menikmati udara malam ibukota serta ketenangan. Sudah hampir setengah jam kami berada di sini, diselubungi keheningan dan gelapan, dan itu merupakan kalimat pertama yang dikatakan Xabian. Sebisa mungkin kujauhkan tanganku dari bibir dan berusaha keras untuk tidak menyentuhnya.Aku masih bisa merasakan manis dan lembutnya bibir Xabian. Rasa ketika dia mendesakkan tubuhnya padaku. Aku yakin aroma parfumnya menempel pada tubuhnya, begitu juga aroma parfumku. Napasku terengah-engah dan wajahku merah padam ketika kami akhirnya berhasil melepaskan diri. Saat aku kembali, ternyata Xabian masih menungguku di lorong. Dia mengajakku ke sini, dan setelah yang terjadi
Xabian mengerang ketika ponselnya terus menerus berdering. Kepalanya berdenyut-denyut akibat semalam terlalu banyak minum. Dia meraih benda berbentuk persegi panjang pipih itu hanya untuk mematikan panggilan, kemudian melanjutkan tidurnya. Pemuda itu bahkan masih mengenakan pakaian yang ia kenakan pada pesta semalam. Dasi serta sepatunya bertebaran di lantai.Dia baru saja hampir terlelap lagi ketika ponselnya berdering untuk yang kesekian kalinya pagi itu. Xabian menyumpah, kemudian duduk dan mengambil ponsel itu. Butuh beberapa saat bagi Xabian untuk membaca identitas si penelpon yang ternyata Jodi—manajernya. Xabian melirik jam yang terdapat di ponselnya. Dia menekan ikon telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan.“Astaga. Sekarang baru jam sepuluh. Seingatku, aku bahkan tidak ada jadwal apa-apa hari ini,” keluh pemuda itu ketika pang
“Halo. Selamat siang, Kak Naraya. Perkenalkan, saya Lintang Ayu dari OneMedia.com. Bisa kita bicara sebentar mengenai—““Salah sambung.”Aku mematikan sambungan telepon, kemudian melempar ponselku ke tempat tidur seraya menyumpah-nyumpah. Itu merupakan panggilan ke tujuh yang masuk ke nomorku dalam dua jam terakhir, entah dari mana mereka bisa mendapatkan nomor ponselku. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, lalu memekik kesal.Tadi pagi, aku bangun dengan kepala berdentam-dentam, seolah ada seseorang yang memukuli tengkorakku dari dalam. Kemudian diikuti muntah-muntah hebat selama hampir setengah jam. Perutku seperti bersikeras mengaduk-aduk dirinya sendiri meski sudah tidak ada apa-apa lagi untuk dimuntahkan. Dan ketika membuka aplikasi chat, kotak masuknya dipenuhi pesan dari tema
Xabian berjalan memasuki pusat perbelanjaan menuju restoran tempat dia dan manajernya—Jodi, berjanji untuk bertemu. Pemuda itu mengabaikan tatapan orang-orang yang berpapasan denganya dan mengenalinya. Kebanyakan dari mereka menatapnya jijik, meski tak sedikit yang menatapnya penuh kekaguman serta tatapan memuja. Dia tidak peduli. Empat tahun lalu, dia sudah mengalami yang jauh lebih buruk dari ini semua. Yang bahkan menghancurkan persahabatannya dengan Naraya, juga kepercayaan gadis itu terhadapnya.Dia tak peduli terhadap apa pendapat orang lain tentang dirinya. Namun, dia peduli terhadap Naraya. Karena perbuatan impulsif-nyalah sehingga sekarang Naraya terlibat masalah. Karena dirinya juga gadis itu meneteskan air mata. Selama perjalanan dari rumah Naraya ke pusat perbelanjaan ini, dia tak bisa mengusir bayangan Naraya. Bagaimana kekecewaan serta kesedihan terpancar kuat dari tatapan gadis itu. La