Share

My Monstrous Boss
My Monstrous Boss
Penulis: Noona Liza

PROLOG

Di setiap mata memandang hanya ada kabut putih menutupi pandangan, di dalam hutan yang sunyi tersebut hanya terlihat batang - batang pohon yang sudah menghitam. Tidak ada satupun hewan yang menampilkan pucuk hidungnya. Seperti dalam cerita legenda, mengenai deskripsi hutan terlarang. 

Suara sunyi dan senyap yang merupakan ciri khas hutan terlarang, tiba - tiba dihancurkan dengan suara pacuan kuda yang cepat, menghempaskan semua yang berada di hadapannya. Suara ringkikan kuda terdengar menggema di seluruh hutan yang sunyi. 

Suara langkah kuda semakin pelan ketika sudah mulai memasuki daerah terdalam hutan terlarang. Netra hitam pekat seorang laki - laki yang mengendarai kuda dengan buas tersebut memandang ke depan dengan hati - hati, melihat sekeliling dengan seksama untuk mengantisipasi adanya serangan secara mendadak.

Setelah dirasa lebih aman, ia sedikit melonggarkan gestur waspada meskipun mata nya tetap fokus melihat sekitar. 

Semakin masuk ke dalam hutan, kabut putih yang mengelilingi seluruh hutan semakin pekat. Udara dingin membelai lembut di tubuh kekar lelaki dengan wajah rupawan tersebut. Ia hanya memakai sehelai kain untuk menutupi bagian bawah tubuhnya, sehingga bagian atas terpampang dengan indah. Otot yang terbentuk dari latihan fisik menambah pesona dari sang lelaki.

Ia memberhentikan kudanya, lalu menalikan di pohon beringin besar yang berada di samping gua. Tangannya menyibak tumbuhan rambat yang hampir menutupi pintu gua. Terlihat seorang pertapa perempuan atau Kili yang masih khusyuk bersemedi meskipun ada kehadiran dirinya  disana.

Tidak ada yang menyangka, di dalam hutan yang penuh dengan aura mistis, bahkan hewan pun yang enggan tinggal disana, ada seorang perempuan yang tinggal di dalam hutan tersebut.

Hari - harinya dipenuhi kegiatan bersemedi, memohon kepada Sang Hyang Widhi untuk memberikan perlindungan masyarakat sekitar dari segala bahaya.

Dia hanya memakai satu lembar kain putih yang melilit tubuhnya, serta satu lembar lagi untuk membungkus rambut hitamnya. Tidak ada hiasan apapun menempel di tubuhnya. 

Sejenak ia terpesona, meski dengan penampilan paling sederhana, tidak bisa menutupi kecantikan yang terpancar dari Sang Kili. Ia sejenak lupa bahwa perempuan yang khusyuk bersemedi ini adalah saudarinya sendiri. 

“Putri, ini saya. Pangeran pertama.” ucapnya pada akhirnya, setelah sejenak mematung di pintu gua. 

Kili menoleh ke sumber suara, terkejut karena sejak tadi ia tidak mendengar suara apapun saking khusyuknya dirinya bersemedi. 

“Duhai, Adikku. Ada apakah ananda  mendatangi tempat lusuh ini? Kemarilah, duduk di sini.” Senyumnya merekah dengan cantik, dan mempersilahkan tempat untuk duduk. 

Lelaki itu pun mengangguk dan duduk berhadapan dengan Kili.

“Apakah Putri benar – benar tidak ingin kembali ke kerajaan?" tanyanya penasaran sambil melihat wajah Kili dengan seksama, tidak ada rona kesedihan meskipun sudah melewati tragedi yang membuat Sang Kili trauma.

"Tidak, Adikku." jawab Kili dengan tenang, tangannya bergerak lembut menyentuh punggung tangan pangeran pertama dengan gestur menenangkan. 

"Tapi, Ayahanda masih menginginkan Putri sebagai Rakryan Mahamantri.”

“Sampaikan kepada Ayahanda, keputusanku sudah bulat untuk menjadi seorang pertapa.”

“Sebenarnya, apa alasan Anda ingin menjadi seorang pertapa? Saya tidak mengerti, apakah gara – gara kutukan seorang monster yang ditolak cintanya oleh Putri?”

ia mengatakannya sambil memasang wajah merendahkan ketika menyebut kata ‘monster’.

Ucapan adiknya barusan, membuat raut wajah ramah Kili berubah menjadi menahan amarah.

“Jangan menyebutnya monster, Adikku. Hanya karena dia berbeda, dia tetaplah seorang manusia,” jawabnya sambil menghela napas ,”aku hanya ingin menjaga kerajaan kita dari marabahaya, kita tidak tahu kapan kutukan itu akan terjadi.”

“Saya tidak sudi dibandingkan dengan monster itu! Keputusan saya mengenai membunuhnya sudah benar dan saya tidak akan menyesalinya.”

Kili menggigit bibir bawahnya dengan kuat, berusaha menahan amarah yang sedari tadi memaksa keluar. 

Adiknya sudah melewati batas toleransi Kili, membuka luka lama dalam hatinya. 

Selama ini, ia sudah mencoba memaafkan saudaranya dan menjalani hidup sebagai pertapa.

“Pangeran, apa alasanmu mendatangiku? Sepertinya, bukan alasan kecil seperti kamu merindukanku." Ia menatap adiknya dengan curiga.

“Tentu saja, saya memang merindukan Putri. Karena itulah, saya ingin melihat Putri untuk terakhir kalinya,” seringainya.

"Apa mak-"

Kili tidak melanjutkan perkataannya, karena terkejut sebuah benda tajam menembus dadanya dengan cepat, rasa perih segera menjalar ke seluruh tubuhnya.

Hampir setengah dari tubuh keris sudah menancap dengan sempurna, tak ayal, mulutnya langsung memuntahkan darah dalam jumlah yang cukup banyak. Perlahan, nafasnya mulai terengah - engah disertai rasa pusing yang menyerang kepalanya.

Warna merah mulai merembes ke kain putih yang Kili kenakan. Wajahnya yang cantik kini telah diliputi rasa sakit yang teramat sangat.

“Kenapa, kamu melakukan ini?” ucapnya dengan terbata – bata sambil menahan rasa sakit.

Adiknya hanya menyeringai sambil mendekatkan dirinya ke Kili, tangannya sudah memegang ujung keris yang sudah ia tusukkan tadi.

“Putri, jabatan Rakryan Mahamantri tidak akan pernah diserahkan kepada siapapun selain untuk Anda. Ayahanda bersikeras untuk menjadikan Putri sebagai pemimpin di kerajaan. Karena itulah, jika Putri meninggal, Ayahanda terpaksa mewariskan posisi itu kepada saya.”

“Bukankah sudah kubilang aku tidak menginginkannya?”

Darah tidak berhenti keluar dari mulut dan dada Kili. Membuat badannya semakin lemas.

“Hahaha! Tuan Putriku yang manis, saya tidak percaya dengan hal itu. Anda terlalu naif berpikir semuanya akan selesai jika Putri hidup sebagai pertapa. Apa anda lupa? Kenaifan putri itulah yang menyebabkan monster tersebut mati mengenaskan,” Tangannya memegang kedua pipi Kili sambil tersenyum sinis,"Sayang sekali, padahal jika Putri tidak bersikeras untuk menikahi monster itu, Putri masih bisa hidup sampai sekarang."

Ia melepaskan pipi Kili dengan kasar,"Wajah Putri yang cantik ini, sebentar lagi akan membusuk di dalam tanah. Ini adalah bayaran akibat keputusan Anda sendiri."

“Adikku yang malang, berbuat kejahatan karena dibutakan dengan kekuasaan. Aku berharap kamu tidak lupa adanya hukum karma.” balasnya sambil tersenyum kecil. 

Adiknya marah mendengar ucapan Kili barusan, tangannya langsung menarik keluar keris yang sudah tertancap di tubuh Kili. Darah kembali menyembur keluar dari mulut dan dadanya, membuat seluruh kain putih yang dikenakan sudah penuh dengan warna merah.

“Saya tidak peduli dengan hal seperti itu, Putri. Karena itulah, cepatlah pergi dan menyusul kekasih monstermu.”

Dia bangkit dari hadapan Kili dan membersihkan sisa darah yang menempel di kerisnya.

”Kerisku memang hebat, bisa menghabisi dua orang kuat sekaligus.”

Bibirnya tersenyum puas. Setelah membersihkannya, ia kembali menyelipkan ke pinggang.

“Selamat tinggal, Kakakku sayang.”

Kakinya melangkah pergi keluar dari gua, meninggalkan sang kakak yang bersender lemah di dinding gua dengan diselimuti darah. Segera setelah keluar dari gua, ia menaiki kudanya dan memacu dengan cepat meninggalkan gua.

Napas Kili semakin melemah dan pandangannya pun semakin buram, menandakan kematian dirinya semakin dekat.

Disaat terakhirnya, ia bersenandung lirih.

Disaat mata ini sudah tertutup,

Tidak ada yang bisa menolong,

Selain amal kebaikan,

Yang diterima oleh Tuhan,

Jangan berbuat buruk.

Setelah baris terakhir diselesaikan, Kili tersenyum sedih. Teringat keburukan yang telah ia lakukan kepada kekasihnya sehingga terbunuh dengan kejam.

“Duh Gusti, saya akan menerima segala pertanggung jawaban dari dosa hamba. Karena itulah, saya memohon dengan sangat. Jika dia bisa hidup kembali, berikan dia kesempatan untuk hidup sebagai manusia.”

Doa terakhir keluar lirih dari bibirnya.

Kili menutup mata karena tubuhnya sudah mencapai batas, diikuti dengan hilangnya napas dari tubuhnya.

Kili sekarang sudah tidak bergerak, tubuhnya terbujur kaku di gua yang dingin.

Sejenak hutan terasa berhenti kehidupannya ketika nafas sang pertapa menghilang, seakan – akan meratapi kepergian seseorang yang sangat mereka cintai.

Burung – burung berhenti berkicau, hewan – hewan lain pun ikut terdiam, angin yang menggerakkan pohon mulai berhenti, serta gemericik air yang berhenti meneteskan menyebabkan hutan menjadi sangat hening.

Seseorang yang bagus budi pekertinya telah pergi dari dunia ini, yang membuat alam pun bersedih karena kepergian sang Kili.

Keheningan hutan terpecah ketika muncul suara getaran yang berasal dari dalam tanah. Tanah yang bergetar dengan keras, menimbulkan retakan dan menjalar ke seluruh hutan menuju ke hutan lain, sampai berhenti di sebuah sumur.

Keretakan tersebut membuat batu yang menumpuk sumur menjadi hancur dan runtuh. Dari dalam sumur, seorang laki – laki dengan tanduk di kepalanya mulai bergerak, tangan dan kakinya menunjukkan adanya kehidupan.

Perlahan, ia membuka kelopak matanya, pupil yang berwarna merah darah mengamati sekeliling dengan saksama. Kemudian, ia duduk dalam keadaan bingung.

Dirinya bertanya – tanya apa yang sedang terjadi.

Bukankah seharusnya ia sudah mati? Meskipun ia bukan sepenuhnya seorang manusia, tetap saja nyawa yang dimiliki hanya satu.

Lalu, ada suara yang membisikkan sesuatu di telinganya, suara yang sama ia dengar di saat kutukan pada dirinya dan saudaranya diturunkan akibat keserakahan ayahnya.

"Aku mengabulkan doa terakhir dari sang Kili, kamu bisa kembali hidup dan berbaur di antara sesama manusia. Meskipun begitu, kutukan tidak akan terangkat begitu saja dari dirimu."

“Apa maksudnya?”

"Kekasihmu, sang Kili, ia telah tiada. Dengan kebaikannya hingga akhir. Meninggal dengan menyedihkan di gua hutan terlarang."

Bisikan itu membuatnya sontak berdiri dan merangkak keluar dari sumur. Pemandangan hutan yang sama seperti dahulu segera menyambutnya.

Tubuhnya berlari dengan cepat melintasi hutan – hutan lain untuk menuju hutan terlarang. Hanya waktu sebentar, ia bisa mencapai gua tempat Kili beristirahat untuk terakhir kalinya.

Ia melihat tubuh Kili tersender di dinding gua. Dengan kulit yang berwarna pucat, tubuh kaku, serta terselimuti pakaian yang berwarna merah darah.

Melihat keadaan Kili yang sudah tidak bernyawa, ia terduduk lemas.

Seorang perempuan yang disayanginya, satu – satunya orang yang mencintainya dengan tulus telah tiada.

Air mata menetes perlahan dari mata merahnya, yang lama kelamaan semakin deras, mulutnya bergetar hebat, dengan amarahnya yang tidak terbendung, ia mengatakan kutukan yang sama untuk kedua kalinya.

“Ya, Orang Kediri besok akan mendapatkan balasanku yang sangat besar. Kediri akan menjadi sungai, Blitar akan menjadi daratan, dan Tulungagung menjadi danau.”

Ia memeluk badan kaku Kili dan kembali menangis keras.

"Kamu mengucapkan kutukan yang sama untuk kedua kalinya. Kutukan ini tidak bisa ditahan lagi. Apakah kamu  benar - benar serius ingin menghancurkan daratan yang sangat dicintai oleh sang Kili?"

“Aku tidak peduli, lagipula di sini tidak ada seorang pun yang mampu melindunginya,” balasnya dengan suara serak,”bahkan di saat terakhirnya, ia mendoakan untuk kebaikanku bukan untuk dirinya sendiri.”

"Nanti akan lahir seorang perempuan jelmaan sang Kili. Selama itu, hidupmu akan abadi. Kau dianugerahi kekuatan dan kekayaan yang lebih dari manusia umumnya."

“Kumohon, jika saat itu tiba aku ingin menjadi manusia sepenuhnya. Aku ingin mencintai, melindungi serta membalas kebaikan dirinya. ”

"Aku akan mengabulkan permintaanmu, akan tetapi ada hal besar yang harus dibayarkan."

“Tidak masalah, apapun itu. Kumohon.” pintanya dengan putus asa.

Selama ia masih memiliki kesempatan untuk menemui Kili, apapun berani ia korbankan.

"Aku menghapus semua ingatanmu mengenai sang Kili. Jika kamu benar – benar mencintainya, maka kau harus bisa menemukannya. Kamu bisa menjadi manusia seutuhnya, jika sang Kili mencintaimu kembali dengan tulus. Jika tidak, kau akan menghilang menjadi debu hingga tak bersisa dan tidak bisa hidup kembali."

“Engkau lebih berkuasa dari apapun, aku menerima segala keputusan-Mu. Tapi sebelum ingatanku tentangnya dihapus, biarkan aku mengenangnya sebentar dan memberikan pemakaman yang layak untuknya.”

Setelah tidak ada jawaban lagi, ia segera berdiri dan menggendong jasad Kili dengan kedua tangannya, lalu membawanya ke dalam hutan yang paling dalam, paling terlarang yang tidak terjamah oleh manusia.

Tangannya meletakkan jasad Kili dengan perlahan ke dalam liang yang sudah ia gali dengan cepat, kemudian menutup tubuh Kili dengan kain yang ia kenakan.

”Beristirahatlah yang tenang, Adinda. Biar mereka yang berbuat jahat kepadamu mendapatkan balasannya.” bisiknya dengan pedih sambil menutup liang dengan tanah, untuk mengubur sepenuhnya jasad Kili.

Ia terduduk lemas di hadapan kuburan Kili, ingatannya kembali di saat mereka masih hidup dan menikmati waktu. Ketika senyum Kili yang indah, mewarnai kehidupannya yang suram.

"Aku mengingat segala kenangan kita, Adinda. Meski ingatanku tentangmu dihapus, aku akan mencarimu bagaimanapun caranya. Kali ini, biarkan aku melindungimu."

Tangisannya kembali keluar, mengeluarkan segala duka karena kehilangan sang kekasih. Ia menangis sejadi – jadinya hingga tenaganya habis, kemudian terjatuh ke atas tanah karena terlalu lelah.

Ia pun tertidur  dan di saat telah bangun, ia akan melupakan semuanya mengenai kekasihnya, sang Kili.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status