Adakalanya apa yang kita rasa hanya tersimpan dalam hati. *** “Bubar! Ini jam kerja,” usir Bos Song. Barisan karyawan tersebut kocar-kacir. Mereka membubarkan diri dan kembali ke ruang kerja masing-masing. “Pengecualian untuk Anda, Nona Aleta!” Bos Song menghentikan langkah Aleta. Aleta ingin menyanggah, tetapi tatapan dingin Bos Song membekukan lidahnya. “I–iya, Bos!” angguknya. Dia melangkah dengan kaki gemetar, mengekori Bos Song ke ruangannya. Dada Aleta berdebar-debar. Dia takut membayangkan kemungkinan terburuk yang akan dihadapinya. “Aku mau kau mengemasi barang-barangmu sekarang,” kata Bos Song, tembak langsung. “T–tapi, Boss ….” Aleta terperangah. Wajahnya seketika memucat. Dia sudah mengira akan menerima hukuman sebagai konsekuensi atas perbuatan buruknya. Akan tetapi, dia tidak pernah berpikir bahwa Bos Song akan langsung menendangnya dari perusahaan itu. Aleta menjatuhkan diri ke lantai. Dia berlutut di hadapan Bos Song. Kepalanya tertunduk. “Maafkan saya, Bos!”
Qeiza masuk rumah tanpa memencet bel. Pintu rumah Dae Hyun terbuka. Keheranannya pada kebiasaan aneh tersebut terjawab ketika dia tiba di ruang tamu. Qeiza mematung. Ansel duduk dengan kepala tertunduk. Menyadari kedatangan Qeiza, Ansel memberanikan diri mengangkat kepala. Bola matanya bergerak liar. Menghindari bertemu pandang dengan Qeiza. “Dia sudah menunggumu lebih dari dua jam,” beritahu Dae Hyun. Dia duduk dengan bersilang kaki, berhadapan dengan Ansel. Kedua tangannya bersedekap di depan dada. Qeiza melirik sekilas pada Ansel. “Aku capek dan ingin istirahat,” ujarnya. “Tunggu, Qei!” Ansel melompat dari tempat duduknya, memburu Qeiza. Dae Hyun merentangkan tangan kanannya ke samping, mengadang langkah Ansel. “Telingamu masih normal, kan?” Dae Hyun bertanya dengan nada datar. Raut wajahnya juga terlihat dingin. “Tapi, Dae … aku i—” “Ssst!” Dae Hyun menyilangkan jari telunjuk kiri di bibir seraya menggelengkan kepala. Ansel tak meneruskan sanggahannya. Dia menatap punggun
Boleh jadi pernah gagal dalam asmara dan merasakan patah hati. Namun, jangan selamanya terpenjara dalam kesedihan. Percayalah! Kau akan menemukan seseorang yang tepat bila waktunya tiba. *** Dae Hyun berjalan menuruni tangga. Kedua tangannya bersembunyi di saku celana. Sejenak dia menghela napas panjang. Berdiri di tengah tangga. Tatapannya terarah pada Ansel yang masih berada di ruang tamu. Mantan suami Qeiza itu tampaknya belum bangun. Kepalanya berayun-ayun. Dae Hyun melangkah dalam senyap. Tak ingin mengagetkan Ansel. Dia menggeleng. Tak percaya Ansel akan mempertahankan posisi duduknya, walaupun tertidur. “Heh! Bangun!” Dae Hyun menendang ujung kaki Ansel. Ansel gelagapan. “Qeiza!” serunya. Ketika dilihatnya Dae Hyun yang berdiri di depannya, Ansel cepat-cepat berdiri. Dia membungkuk, memberi penghormatan untuk Dae Hyun. “Maaf. Kukira kau Qeiza,” ujar Ansel. “Dia sudah pergi,” jawab Dae Hyun. “Pulanglah!” “Hah! Kenapa baru membangunkan aku sekarang?” gerutu Ansel. Dia bu
“Setiap waktu yang kulalui tanpamu terasa sangat menyiksa,” kata Chin Hwa. “Aku seperti seekor lebah yang tersesat di hamparan padang ilalang tanpa bunga.” Chin Hwa menyelami kedalaman netra hazel Qeiza. Warna indah itu memunculkan hasratnya untuk mengecupnya. “Setiap detik, aku menahan diri dari rasa dahaga akan manisnya nektar,” lanjut Chin Hwa. “Dan itu membuatku gila.” Chin Hwa memberanikan diri menjamah pipi Qeiza dengan jari sedikit bergetar. Seketika warna merah pada pipi wanita itu membuatnya menelan ludah. “Kau ….” Chin Hwa menyapu setiap mili wajah Qeiza dengan tatapan dahaga seorang pria pada wanita pujaannya. “Kau … adalah sekuntum bunga yang hanya bisa kulihat dari kejauhan karena masih terhalang dinding kaca.” Suara Chin Hwa terdengar serak dan berat. “Aku ingin menyingkirkan penghalang itu. Aku … aku ingin setiap saat bisa menyentuh kelopakmu.” Pipi Qeiza terasa panas dan semakin memerah mendengar rayuan Chin Hwa. Rangkaian kata-kata lelaki itu seakan membawanya t
Membencilah sewajarnya saja, karena kita tidak pernah tahu kapan rasa benci itu berbalik arah menjadi cinta. *** Cahaya lampu blitz tak terhitung kali memancar. Menyorot wajah sepasang calon pengantin yang sedang melakukan sesi foto prewedding. Berkali-kali pula keduanya berganti posisi sesuai arahan yang fotografer. Qeiza menonton setiap adegan yang berlangsung dengan senyuman puas. Joanna tampak sangat ayu dalam balutan busana pengantin rancangannya. “Oke. Selesai!” teriak sang fotografer. Qeiza segera membantu Joanna dengan gaun pengantinnya. Dia mengangkat ekor gaun tersebut dengan sangat hati-hati. Tepuk tangan menyambut Joanna begitu dia melangkah menuju ruang ganti. “Aku tidak ingat pernah mengundangmu ke sini, Xander,” kata Joanna. Xander cengengesan. “Memang tidak,” timpalnya. “Biasalah. Aku mengawal sepupu nakalmu ke mana pun dia pergi.” “Kalau dia ke sini hanya untuk membuat masalah,” tegas Joanna. “Sebaiknya kau ajak dia pulang. Aku tidak mau dia merusak hari baha
Qeiza merasakan dadanya sesak. Dia ingin mengeluarkan semua sumpah serapahnya pada Ansel. Melampiaskan segenap rasa sakit hati yang ditanggungnya selama bertahun-tahun. Setelah dipikir-pikir, tak ada gunanya dia melakukan semua itu. Ansel telah mendapatkan balasannya. Lelaki itu sekarang mendapatkan siksa yang sama dengan apa yang dirasakannya dulu. Menanggung deraan rindu karena cinta yang bertepuk sebelah tangan. Ya, itu pun kalau apa yang diceritakan Xander tadi benar. Ansel jatuh cinta padanya. Ah, andai cinta itu tumbuh di hati Ansel empat tahun yang lalu, tentu saat ini mereka telah memiliki keluarga kecil yang sempurna. Pasti mereka sudah dikaruniai seorang malaikat kecil yang membuat hari-hari mereka lebih berwarna. Ansel membuka kotak hitam itu. Kilau cahaya berlian menyilaukan Qeiza. Dia menyipitkan mata. Samar-samar dia menyadari bahwa satu set perhiasan yang kini terpampang di depan matanya itu bukanlah mas kawinnya dulu. Perhiasan tersebut tampak jauh lebih mewah darip
Sekarang ataupun nanti, aku tak bisa berhenti mencintaimu. ~ Ansel ~ *** Suara ketukan pintu diiringi munculnya seorang lelaki usia akhir tiga puluhan membuat Chin Hwa menoleh. Lelaki itu berperawakan tinggi dan agak kurus. Dia membungkuk pada Chin Hwa. Chin Hwa menyerahkan dua tas kepada lelaki tersebut. Miliknya dan Qeiza. Setelah mengambil alih kedua tas itu dari tangan Chin Hwa, lelaki tersebut langsung balik badan dan meninggalkan ruangan kantor Chin Hwa. Chin Hwa menarik napas panjang. Melihat pada Qeiza yang masih tertidur pulas. Dengan gerakan sangat hati-hati, dia mengangkat tubuh tunangannya itu. Dia menggendongnya ala bridal style. Tiba di pelataran parkir, Chin Hwa mendapati lelaki tadi sudah membukakan pintu mobil untuknya. Dia mendudukkan Qeiza di jok belakang sopir. Gerakannya pelan sekali. Dia tidak ingin membuat Qeiza terbangun dari tidurnya. Setelah Chin Hwa berjalan memutari bagian belakang mobil dan duduk di sebelah Qeiza dari pintu yang lain, lelaki itu men
“Kau cuti kerja?” tanya Dae Hyun. “Sudah hampir jam delapan lo.” Dia melirik jam dinding. “Ah, Oppa … kenapa tidak membangunkanku lebih awal?” Qeiza buru-buru merangkak ke tepi ranjang. Nada suaranya yang terdengar manja membuat Dae Hyun tersenyum. “Ish! Dasar ceroboh!” ledek Dae Hyun. Dia menyambar lengan Qeiza. Gadis itu nyaris saja terjerembap lantaran sebelah kakinya tersangkut selimut. “Jalannya pelan-pelan saja,” saran Dae Hyun. “Tidak ada yang akan memakai kamar mandimu.” Qeiza tetap melangkah cepat. Dia malu sekali. Pipinya juga memanas. Dia mengutuk kecerobohannya. Sampai sekarang dia masih belum bisa menghilangkan kebiasaan jeleknya itu. Gara-gara hal tersebut, bibir Dae Hyun hampir saja menyapu pipi kirinya. Untung dia refleks memiringkan kepala ke kanan. Bang! Dae Hyun mengelus dada ketika Qeiza membanting pintu dan menghasilkan bunyi yang sangat keras. Sudut bibirnya menjungkit naik. Dia tahu bagaimana perasaan Qeiza saat itu. Selesai sarapan, Dae Hyun mengantar Q