“Setiap waktu yang kulalui tanpamu terasa sangat menyiksa,” kata Chin Hwa. “Aku seperti seekor lebah yang tersesat di hamparan padang ilalang tanpa bunga.” Chin Hwa menyelami kedalaman netra hazel Qeiza. Warna indah itu memunculkan hasratnya untuk mengecupnya. “Setiap detik, aku menahan diri dari rasa dahaga akan manisnya nektar,” lanjut Chin Hwa. “Dan itu membuatku gila.” Chin Hwa memberanikan diri menjamah pipi Qeiza dengan jari sedikit bergetar. Seketika warna merah pada pipi wanita itu membuatnya menelan ludah. “Kau ….” Chin Hwa menyapu setiap mili wajah Qeiza dengan tatapan dahaga seorang pria pada wanita pujaannya. “Kau … adalah sekuntum bunga yang hanya bisa kulihat dari kejauhan karena masih terhalang dinding kaca.” Suara Chin Hwa terdengar serak dan berat. “Aku ingin menyingkirkan penghalang itu. Aku … aku ingin setiap saat bisa menyentuh kelopakmu.” Pipi Qeiza terasa panas dan semakin memerah mendengar rayuan Chin Hwa. Rangkaian kata-kata lelaki itu seakan membawanya t
Membencilah sewajarnya saja, karena kita tidak pernah tahu kapan rasa benci itu berbalik arah menjadi cinta. *** Cahaya lampu blitz tak terhitung kali memancar. Menyorot wajah sepasang calon pengantin yang sedang melakukan sesi foto prewedding. Berkali-kali pula keduanya berganti posisi sesuai arahan yang fotografer. Qeiza menonton setiap adegan yang berlangsung dengan senyuman puas. Joanna tampak sangat ayu dalam balutan busana pengantin rancangannya. “Oke. Selesai!” teriak sang fotografer. Qeiza segera membantu Joanna dengan gaun pengantinnya. Dia mengangkat ekor gaun tersebut dengan sangat hati-hati. Tepuk tangan menyambut Joanna begitu dia melangkah menuju ruang ganti. “Aku tidak ingat pernah mengundangmu ke sini, Xander,” kata Joanna. Xander cengengesan. “Memang tidak,” timpalnya. “Biasalah. Aku mengawal sepupu nakalmu ke mana pun dia pergi.” “Kalau dia ke sini hanya untuk membuat masalah,” tegas Joanna. “Sebaiknya kau ajak dia pulang. Aku tidak mau dia merusak hari baha
Qeiza merasakan dadanya sesak. Dia ingin mengeluarkan semua sumpah serapahnya pada Ansel. Melampiaskan segenap rasa sakit hati yang ditanggungnya selama bertahun-tahun. Setelah dipikir-pikir, tak ada gunanya dia melakukan semua itu. Ansel telah mendapatkan balasannya. Lelaki itu sekarang mendapatkan siksa yang sama dengan apa yang dirasakannya dulu. Menanggung deraan rindu karena cinta yang bertepuk sebelah tangan. Ya, itu pun kalau apa yang diceritakan Xander tadi benar. Ansel jatuh cinta padanya. Ah, andai cinta itu tumbuh di hati Ansel empat tahun yang lalu, tentu saat ini mereka telah memiliki keluarga kecil yang sempurna. Pasti mereka sudah dikaruniai seorang malaikat kecil yang membuat hari-hari mereka lebih berwarna. Ansel membuka kotak hitam itu. Kilau cahaya berlian menyilaukan Qeiza. Dia menyipitkan mata. Samar-samar dia menyadari bahwa satu set perhiasan yang kini terpampang di depan matanya itu bukanlah mas kawinnya dulu. Perhiasan tersebut tampak jauh lebih mewah darip
Sekarang ataupun nanti, aku tak bisa berhenti mencintaimu. ~ Ansel ~ *** Suara ketukan pintu diiringi munculnya seorang lelaki usia akhir tiga puluhan membuat Chin Hwa menoleh. Lelaki itu berperawakan tinggi dan agak kurus. Dia membungkuk pada Chin Hwa. Chin Hwa menyerahkan dua tas kepada lelaki tersebut. Miliknya dan Qeiza. Setelah mengambil alih kedua tas itu dari tangan Chin Hwa, lelaki tersebut langsung balik badan dan meninggalkan ruangan kantor Chin Hwa. Chin Hwa menarik napas panjang. Melihat pada Qeiza yang masih tertidur pulas. Dengan gerakan sangat hati-hati, dia mengangkat tubuh tunangannya itu. Dia menggendongnya ala bridal style. Tiba di pelataran parkir, Chin Hwa mendapati lelaki tadi sudah membukakan pintu mobil untuknya. Dia mendudukkan Qeiza di jok belakang sopir. Gerakannya pelan sekali. Dia tidak ingin membuat Qeiza terbangun dari tidurnya. Setelah Chin Hwa berjalan memutari bagian belakang mobil dan duduk di sebelah Qeiza dari pintu yang lain, lelaki itu men
“Kau cuti kerja?” tanya Dae Hyun. “Sudah hampir jam delapan lo.” Dia melirik jam dinding. “Ah, Oppa … kenapa tidak membangunkanku lebih awal?” Qeiza buru-buru merangkak ke tepi ranjang. Nada suaranya yang terdengar manja membuat Dae Hyun tersenyum. “Ish! Dasar ceroboh!” ledek Dae Hyun. Dia menyambar lengan Qeiza. Gadis itu nyaris saja terjerembap lantaran sebelah kakinya tersangkut selimut. “Jalannya pelan-pelan saja,” saran Dae Hyun. “Tidak ada yang akan memakai kamar mandimu.” Qeiza tetap melangkah cepat. Dia malu sekali. Pipinya juga memanas. Dia mengutuk kecerobohannya. Sampai sekarang dia masih belum bisa menghilangkan kebiasaan jeleknya itu. Gara-gara hal tersebut, bibir Dae Hyun hampir saja menyapu pipi kirinya. Untung dia refleks memiringkan kepala ke kanan. Bang! Dae Hyun mengelus dada ketika Qeiza membanting pintu dan menghasilkan bunyi yang sangat keras. Sudut bibirnya menjungkit naik. Dia tahu bagaimana perasaan Qeiza saat itu. Selesai sarapan, Dae Hyun mengantar Q
Sahabat memang tidak selalu bersikap manis. Tapi setidaknya, mereka juga tidak berpura-pura baik. *** Qeiza tersenyum puas. Meja kerjanya sudah kembali rapi. Dia bisa meninggalkan ruangan tersebut tanpa khawatir akan kehilangan sebagian barangnya. Sekilas Qeiza melihat ke luar jendela. Langit tampak mendung. Cuaca pada musim gugur memang mudah sekali berubah-ubah. Hujan juga sering turun. Untung saja dia sudah janji pada Dae Hyun untuk tidak lembur. Kalau tidak, lelaki itu pasti akan sangat mengkhawatirkan dirinya. Qeiza meninggalkan ruangannya dengan perasaan ringan. Desainnya sudah selesai. Dia hanya perlu mengirimkannya besok pagi. Rasanya Qeiza sudah tidak sabar untuk mengetahui hasil seleksi lima puluh besar nanti. Drrrt! Drrrt! Ponsel Qeiza bergetar. Dia segera merogoh kantong dan mengecek sebuah pesan. “Masih mendung,” bisik Qeiza. Melihat langit dari kejauhan. Pengirim pesan mengajaknya untuk bertemu di sebuah kafe. Qeiza sangat ingin pergi ke sana. Dia sudah lama tidak
Qeiza menarik mundur tangannya dan menyembunyikannya di bawah meja. Dia tersenyum kikuk. “I–iya,” akunya. “Maaf. Aku tidak mengabari kalian.” “Waaah! Qeiza, selamat ya!” Vany heboh. Dia meninggalkan tempat duduknya. Melompat memeluk leher Qeiza. Setelah Qeiza menepuk lengannya karena merasa tercekik, Vany kembali ke kursinya. “Siapa lelaki beruntung itu, Qei?” Raut mukanya terlihat antusias untuk mendengar cerita Qeiza. “Bukan mantan suami kamu, kan?” “Akh!” Vany terpekik. Dia mengusap puncak kepalanya. “Adnan! Kenapa kamu memukuliku?” “Biar otakmu berpikir!” “Pantas saja kamu enggak laku-laku.” Vany memamerkan seringai mengejek pada Adnan. “Kamu kejam!” “Ampun deh. Kalian ini seperti Tom dan Jerry saja!” Qeiza geleng-geleng kepala melihat ulah dua sahabat lamanya itu. Sejak duduk di bangku SMA, pola pertemanan mereka berdua selalu diwarnai pertengkaran dan saling ledek. Qeiza merasa hanya dirinya yang waras di antara mereka bertiga. “Dia yang mulai duluan!” “Dia yang mulai
Manusia bisa berubah seiring waktu. Jadi, setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. *** Dae Hyun mendaratkan pandangan sudut matanya pada tangan yang mencengkeram pundak kanannya. Tatapannya terus menelusuri lengan berorot itu hingga sampai ke muka. Penglihatannya segera menangkap wajah oval dengan garis rahang nan tegas. Alis hitam dan tebal menaungi sepasang mata cokelat gelap yang menatap tajam kepadanya. Dae Hyun menyembunyikan perasaan terkejutnya di balik senyuman tipis. Dia tidak mengerti mengapa lelaki itu melihatnya dengan tatapan benci. Lelaki itu bahkan tak membalas senyumannya. “Jangan salah paham!” kata Dae Hyun. “Aku tidak melarang Anda berteman dengan Qeiza, tapi … ini hampir malam.” Dae Hyun pikir Adnan menahannya lantaran belum rela Qeiza meninggalkan kafe tersebut. Vany menarik baju Adnan dan berbisik, “Jangan gila, Ad! Semua orang melihatmu.” Adnan membuktikan perkataan Vany dengan memperhatikan sekitar. Benar saja. Semua mata di kafe itu kini tertuju