Qeiza menarik mundur tangannya dan menyembunyikannya di bawah meja. Dia tersenyum kikuk. “I–iya,” akunya. “Maaf. Aku tidak mengabari kalian.” “Waaah! Qeiza, selamat ya!” Vany heboh. Dia meninggalkan tempat duduknya. Melompat memeluk leher Qeiza. Setelah Qeiza menepuk lengannya karena merasa tercekik, Vany kembali ke kursinya. “Siapa lelaki beruntung itu, Qei?” Raut mukanya terlihat antusias untuk mendengar cerita Qeiza. “Bukan mantan suami kamu, kan?” “Akh!” Vany terpekik. Dia mengusap puncak kepalanya. “Adnan! Kenapa kamu memukuliku?” “Biar otakmu berpikir!” “Pantas saja kamu enggak laku-laku.” Vany memamerkan seringai mengejek pada Adnan. “Kamu kejam!” “Ampun deh. Kalian ini seperti Tom dan Jerry saja!” Qeiza geleng-geleng kepala melihat ulah dua sahabat lamanya itu. Sejak duduk di bangku SMA, pola pertemanan mereka berdua selalu diwarnai pertengkaran dan saling ledek. Qeiza merasa hanya dirinya yang waras di antara mereka bertiga. “Dia yang mulai duluan!” “Dia yang mulai
Manusia bisa berubah seiring waktu. Jadi, setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. *** Dae Hyun mendaratkan pandangan sudut matanya pada tangan yang mencengkeram pundak kanannya. Tatapannya terus menelusuri lengan berorot itu hingga sampai ke muka. Penglihatannya segera menangkap wajah oval dengan garis rahang nan tegas. Alis hitam dan tebal menaungi sepasang mata cokelat gelap yang menatap tajam kepadanya. Dae Hyun menyembunyikan perasaan terkejutnya di balik senyuman tipis. Dia tidak mengerti mengapa lelaki itu melihatnya dengan tatapan benci. Lelaki itu bahkan tak membalas senyumannya. “Jangan salah paham!” kata Dae Hyun. “Aku tidak melarang Anda berteman dengan Qeiza, tapi … ini hampir malam.” Dae Hyun pikir Adnan menahannya lantaran belum rela Qeiza meninggalkan kafe tersebut. Vany menarik baju Adnan dan berbisik, “Jangan gila, Ad! Semua orang melihatmu.” Adnan membuktikan perkataan Vany dengan memperhatikan sekitar. Benar saja. Semua mata di kafe itu kini tertuju
Qeiza tercengang melihat hamparan buket bunga yang berjajar di dekat pintu apartemennya. Matanya menyapu setiap buket bunga itu dengan rasa tak percaya. Sebagian sudah terlihat layu. “Untung kau pulang, Nona!” sapa seorang lelaki berusia mendekati lima puluhan. Qeiza mengenalnya sebagai salah satu penghuni apartemen di ujung lorong. Lelaki itu sepertinya baru saja pulang. Langkahnya semakin dekat pada Qeiza. “Anda tahu siapa yang menaruh bunga-bunga ini di sini, Pak?” Lelaki itu tersenyum. Dia melayangkan pandangan pada tumpukan buket bunga tersebut. “Aku tidak yakin apakah semua bunga itu datang dari orang yang sama,” kata lelaki itu. “Aku hanya memergokinya sekali. Seorang lelaki muda.” Lelaki itu menoleh pada Qeiza. “Kurasa dia pengagum beratmu.” 'Siapa dia? Ansel atau Chin Hwa?' *** “Yes! Akhirnya!” Ansel melakukan selebrasi dengan kedua tangan terkepal. Bibirnya tersenyum lebar. Rekaman Qeiza berdiri bingung di depan pintu apartemennya terpampang jelas pada layar ponselny
Lelaki yang tulus mencintaimu akan selalu menjadi malaikat pelindungmu. *** Qeiza sedang dalam perjalanan menuju kantornya dengan mengendarai mobilnya sendiri. Dia ingin tiba di kantor lebih awal lantaran ingin mengecek ulang desainnya. Hari ini merupakan hari penyerahan karyanya untuk kompetisi bergengsi itu. Tiba di kantor, Qeiza melangkah cepat menuju ruangannya. Begitu masuk, matanya membulat sempurna. Ruangan tersebut sangat berantakan. Lembaran kertas serta peralatan gambarnya berserakan di mana-mana. “Apa yang terjadi?” Bergegas Qeiza mendekati meja kerjanya. Dia memotret ruangan kacau tersebut dari berbagai sudut. Setelah mengumpulkan cukup banyak bukti berupa gambar dan rekaman video, Qeiza mulai membenahi kekacauan itu. Dia memungut perlengkapannya yang bertebaran di atas lantai. “Oh, tidak!” Qeiza terpekik ketika teringat desain yang akan dikirimnya. Dia pun meletakkan kembali barang-barang di tangannya ke atas lantai. Dia berlari menuju meja kerjanya lagi. Jari-jari
Qeiza duduk bersandar sembari menatap sayu pada mejanya yang berantakan. Sebelah tangannya bermain-main dengan lembaran buku skestanya. Dia segera menghentikan kegiatannya ketika melihat Chin Hwa berjalan dengan setengah berlari, memasuki ruangan. “Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi,” pinta Chin Hwa. Dia tegak di samping meja Qeiza. Matanya menyipit, melihat pemandangan buruk di atas meja kerja Qeiza. Qeiza duduk tegap. Dia meraih ponsel, lalu mengirimkan semua gambar dan rekaman video yang diambilnya tadi. Raut muka Chin Hwa mengeras ketika melihat apa yang dikirim Qeiza kepadanya. Giginya bergemeletuk. “Kurang ajar! Berani sekali orang itu memasuki wilayah kekuasaanku!” Bola mata Chin Hwa berkilat marah. “Data apa saja yang dicurinya dari komputermu?” tanya Chin Hwa. Qeiza membuka lagi folder di komputernya. “Hanya desain yang akan kukirim untuk kompetisi,” sahutnya. “Hari ini terakhir ya?” Qeiza mengangguk. Dia tak lagi bergairah. Perjuangannya sia-sia. Mungkin memang be
Qeiza masih belum mampu membebaskan pinggangnya dari lilitan lengan Chin Hwa. Mata mereka pun masih saling melekat satu sama lain. Menyebabkan Qeiza bertambah gusar. Irama detak jantungnya kini seperti tabuhan Tamatam. Semacam teknik pukulan pada Dol—alat musik tradisional khas Bengkulu. Temponya cepat dan konstan. Hanya saja, kecepatan itu bukan terlahir dari suasana riang, melainkan cemas. Seseorang mengetuk pintu cukup keras. Qeiza sangat bersyukur. Suara ketukan itu membuat Chin Hwa menarik lepas tangannya. Selekasnya Qeiza melangkah mundur, lalu hendak keluar dari ruangan bosnya itu. “Selamat pagi, Nona Kim!” Freud menyapa Qeiza. Dia tidak menyangka wanita itu sedang bersama bosnya. Qeiza hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Berdiri di sisi kiri meja kerja Chin Hwa. “Kau mendapatkannya?” tanya Chin Hwa. Dia mengalihkan pandangannya dari layar monitor komputer ke wajah Freud. Pintar sekali dia bersandiwara. “Ini!” Freud menyerahkan sebuah flashdisk kepada Chin Hwa. “Kau su
Ansel melayangkan tatapan beracun pada Xander. “Apa aku harus menjelaskan secara detail semua perintahku?” Xander menggaruk belakang telinganya. Dia lupa kalau di kantor dia harus bersikap patuh pada Ansel. “Baiklah. Vacuum cleaner seperti apa yang kau inginkan?” “Aku tak peduli bagaimana bentuknya,” sahut Ansel. “Tapi, aku mau barang itu mudah digunakan. Kalau perlu, cari yang bisa bekerja dengan sendirinya.” “Ada lagi?” “Kau boleh keluar sekarang!” Ansel kembali meraih penanya. “Tunggu!” Xander langsung mengerem langkahnya. Dia balik badan. Menanti instruksi berikutnya. “Pastikan bahwa kau yang mengantar langsung barang itu ke apartemen Qeiza!” “Tentu.” “Ck! Ternyata dia masih saja memburu Qeiza,” batin Xander. Dia meninggalkan ruangan Ansel sambil geleng-geleng kepala. Menjelang senja, Xander tiba di apartemen Qeiza. Dia membunyikan bel. Berdiri di depan pintu apartemen Qeiza dengan sabar. “Xander?” Qeiza menyusuri koridor dengan sapuan matanya. “Aku datang sendiri kok
Teman tak selamanya melindungimu. Adakalanya, justru merekalah yang menusukmu dari belakang. *** Qeiza sedang membersihkan wajahnya dari sisa-sisa make up. Ponselnya sedari tadi berbunyi. Dia mengabaikannya. Malas beranjak dari depan cermin, hanya untuk kembali lagi. “Siapa sih?” Qeiza bersungut-sungut. Gawainya terus bernyanyi. Terpaksa dia bangun juga. Qeiza melirik jam dinding. Sudah hampir tengah malam. Ingatannya langsung melayang pada Abbas. “Mau pinjam uang lagi?” batin Qeiza. Meraih ponselnya dengan enggan. Keningnya mengerut. Ternyata bukan nama Abbas yang muncul pada layar ponselnya. Qeiza menurunkan tangannya. Tulangnya seketika tak bertenaga. “Apa lagi sekarang?” Qeiza benar-benar frustrasi menghadapi sikap Ansel. Lelaki itu tak kenal kata menyerah dalam kamus hidupnya. Kesal lantaran ritual keperempuanannya terganggu, Qeiza melempar ponselnya ke atas kasur. Tentunya dia telah mematikan nada dering. Biar saja Ansel terus memanggilnya. Nanti dia juga akan bosan bila