Qeiza duduk bersandar sembari menatap sayu pada mejanya yang berantakan. Sebelah tangannya bermain-main dengan lembaran buku skestanya. Dia segera menghentikan kegiatannya ketika melihat Chin Hwa berjalan dengan setengah berlari, memasuki ruangan. “Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi,” pinta Chin Hwa. Dia tegak di samping meja Qeiza. Matanya menyipit, melihat pemandangan buruk di atas meja kerja Qeiza. Qeiza duduk tegap. Dia meraih ponsel, lalu mengirimkan semua gambar dan rekaman video yang diambilnya tadi. Raut muka Chin Hwa mengeras ketika melihat apa yang dikirim Qeiza kepadanya. Giginya bergemeletuk. “Kurang ajar! Berani sekali orang itu memasuki wilayah kekuasaanku!” Bola mata Chin Hwa berkilat marah. “Data apa saja yang dicurinya dari komputermu?” tanya Chin Hwa. Qeiza membuka lagi folder di komputernya. “Hanya desain yang akan kukirim untuk kompetisi,” sahutnya. “Hari ini terakhir ya?” Qeiza mengangguk. Dia tak lagi bergairah. Perjuangannya sia-sia. Mungkin memang be
Qeiza masih belum mampu membebaskan pinggangnya dari lilitan lengan Chin Hwa. Mata mereka pun masih saling melekat satu sama lain. Menyebabkan Qeiza bertambah gusar. Irama detak jantungnya kini seperti tabuhan Tamatam. Semacam teknik pukulan pada Dol—alat musik tradisional khas Bengkulu. Temponya cepat dan konstan. Hanya saja, kecepatan itu bukan terlahir dari suasana riang, melainkan cemas. Seseorang mengetuk pintu cukup keras. Qeiza sangat bersyukur. Suara ketukan itu membuat Chin Hwa menarik lepas tangannya. Selekasnya Qeiza melangkah mundur, lalu hendak keluar dari ruangan bosnya itu. “Selamat pagi, Nona Kim!” Freud menyapa Qeiza. Dia tidak menyangka wanita itu sedang bersama bosnya. Qeiza hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Berdiri di sisi kiri meja kerja Chin Hwa. “Kau mendapatkannya?” tanya Chin Hwa. Dia mengalihkan pandangannya dari layar monitor komputer ke wajah Freud. Pintar sekali dia bersandiwara. “Ini!” Freud menyerahkan sebuah flashdisk kepada Chin Hwa. “Kau su
Ansel melayangkan tatapan beracun pada Xander. “Apa aku harus menjelaskan secara detail semua perintahku?” Xander menggaruk belakang telinganya. Dia lupa kalau di kantor dia harus bersikap patuh pada Ansel. “Baiklah. Vacuum cleaner seperti apa yang kau inginkan?” “Aku tak peduli bagaimana bentuknya,” sahut Ansel. “Tapi, aku mau barang itu mudah digunakan. Kalau perlu, cari yang bisa bekerja dengan sendirinya.” “Ada lagi?” “Kau boleh keluar sekarang!” Ansel kembali meraih penanya. “Tunggu!” Xander langsung mengerem langkahnya. Dia balik badan. Menanti instruksi berikutnya. “Pastikan bahwa kau yang mengantar langsung barang itu ke apartemen Qeiza!” “Tentu.” “Ck! Ternyata dia masih saja memburu Qeiza,” batin Xander. Dia meninggalkan ruangan Ansel sambil geleng-geleng kepala. Menjelang senja, Xander tiba di apartemen Qeiza. Dia membunyikan bel. Berdiri di depan pintu apartemen Qeiza dengan sabar. “Xander?” Qeiza menyusuri koridor dengan sapuan matanya. “Aku datang sendiri kok
Teman tak selamanya melindungimu. Adakalanya, justru merekalah yang menusukmu dari belakang. *** Qeiza sedang membersihkan wajahnya dari sisa-sisa make up. Ponselnya sedari tadi berbunyi. Dia mengabaikannya. Malas beranjak dari depan cermin, hanya untuk kembali lagi. “Siapa sih?” Qeiza bersungut-sungut. Gawainya terus bernyanyi. Terpaksa dia bangun juga. Qeiza melirik jam dinding. Sudah hampir tengah malam. Ingatannya langsung melayang pada Abbas. “Mau pinjam uang lagi?” batin Qeiza. Meraih ponselnya dengan enggan. Keningnya mengerut. Ternyata bukan nama Abbas yang muncul pada layar ponselnya. Qeiza menurunkan tangannya. Tulangnya seketika tak bertenaga. “Apa lagi sekarang?” Qeiza benar-benar frustrasi menghadapi sikap Ansel. Lelaki itu tak kenal kata menyerah dalam kamus hidupnya. Kesal lantaran ritual keperempuanannya terganggu, Qeiza melempar ponselnya ke atas kasur. Tentunya dia telah mematikan nada dering. Biar saja Ansel terus memanggilnya. Nanti dia juga akan bosan bila
“Aku merasa seperti tak mengenali kalian lagi.” Adnan terkekeh mendengar keluhan Qeiza. Kendaraannya melaju kencang. Semakin jauh meninggalkan kantor Qeiza. Qeiza terduduk tegap. Dia melihat ke luar jendela. “Lo, bukannya ini salah jalan ya?” tanyanya. Seingatnya, Vany pernah memberitahu alamatnya. Itu bukan jalan yang kini Adnan tempuh. “Enggak kok. Jalannya sudah benar,” timpal Adnan. “Vany sedang menginap di rumah kerabatnya.” Kelebat resah membayang di mata Adnan. Cepat-cepat dia mengalihkan pandangannya dari kaca spion ke jalan. Khawatir akan beradu tatap dengan Qeiza. Untungnya, Qeiza tak lagi banyak bertanya. Hanya diam. Membuang pandang pada bangunan dan pepohonan di tepi jalan yang terlihat seperti sedang berlari mengejar mereka. Adnan bernapas lega. Dia tidak terlalu pandai berbohong. Jika Qeiza terus mengorek informasi darinya, bisa jadi dia akan kelepasan bicara. Qeiza kembali duduk tegap. Suara mesin mobil Adnan terdengar kasar. Jalannya pun mulai tersendat-sendat.
Laki-laki dan perempuan tidak akan pernah benar-benar bisa menjadi teman dekat hingga dewasa. Kalaupun ada, mungkin hanya satu dari seribu. *** Qeiza terjaga. Dia membuka mata, tetapi tak bisa melihat apa-apa. Dia mendapati dirinya berada dalam sebuah ruangan gelap. Terbaring di atas lantai dengan kedua tangan dan kaki terikat. Qeiza mencoba duduk. Kepalanya terasa pusing. Dia menggeleng. Berusaha mengusir sisa-sisa obat bius yang masih memengaruhi kinerja otaknya. “Di mana ini?” Qeiza membatin. Dia berdiri di atas lutut. Ruangan tersebut terasa pengap dan lembab. Seperti sudah lama tidak terpakai. “Apa ini gudang tua?” Qeiza mempertajam penglihatannya. Berharap bisa mengenali benda-benda yang mungkin ada di ruangan tersebut. Beruntung cahaya bulan merembes masuk dari bagian atas dinding sebelah kanannya. Bergegas dia melempar pandang sekeliling. Sebelum pendar bulan itu kembali menghilang di balik awan. Qeiza menyadari dirinya saat ini berada di ruang bawah tanah. Pantas saja
“Wah, wah … sepertinya aku ketinggalan,” tegur sebuah suara. Lelaki berwajah bulat itu mengurungkan niatnya untuk melangkah. “Adnan?” Sebuah harapan tebersit di hati Qeiza saat melihat siapa yang datang. Qeiza hendak membuka mulut untuk meminta bantuan kepada teman lamanya itu. “Tidak! Itu tidak mungkin!” batin Qeiza. Mulutnya kembali terkunci. Adnan melangkah tanpa hambatan untuk mendekatinya. “Halo, Qei!” sapa Adnan. Berjongkok di hadapan Qeiza. Dia mengulurkan tangan. Ingin menyentuh wajah Qeiza. “Singkirkan tangan kotormu itu dari wajahku!” Qeiza tak percaya lelaki yang selama ini dianggapnya sebagai sahabat terbaik justru sengaja menjebaknya. “Ssst! Tenanglah!” ujar Adnan. “Tidak baik marah-marah. Kau akan semakin cepat tua.” “Seharusnya kau berterima kasih padaku,” imbuh Adnan. “Aku menyelamatkanmu lagi.” “Cuih!” Qeiza meludahi wajah Adnan. “Kau sama gilanya dengan Aleta.” Adnan membersihkan mukanya. Rahangnya mengeras, tetapi dia tetap menampilkan senyuman. “No, no.”
Hampir pukul sebelas malam. Chin Hwa baru saja tiba di rumah. Dia menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan. Meregangkan otot-otot lehernya yang terasa tegang. Dia membanting diri ke atas kasur. Merentangkan kedua tangannya seperti burung terbang. Kakinya dibiarkan menjuntai di tepi ranjang. “Anin!” Ingatannya tentang Qeiza membuatnya kembali duduk. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku. Dengan senyum terkembang, dia menghubungi nomor Qeiza. Panggilan tersebut tak tersambung. Setiap kali dia memanggil ulang, tetap hanya terdengar sahutan dari operator. Tidak biasanya Qeiza mengabaikan panggilannya. Tiba-tiba Chin Hwa merasa tak tenang. Dia melepas pakaiannya yang penuh keringat dan menggantinya. Karena cuaca terasa semakin dingin, dia mengenakan jaket yang lebih tebal. Sementara di ruang bawah tanah, Qeiza masih berkutat untuk melepaskan tali yang mengikat tangannya. Matanya sesekali mengawasi dua anak buah Aleta. Mereka semakin dekat. “Minggir!” Lelaki berwajah bulat mengusir Adn