“Wah, wah … sepertinya aku ketinggalan,” tegur sebuah suara. Lelaki berwajah bulat itu mengurungkan niatnya untuk melangkah. “Adnan?” Sebuah harapan tebersit di hati Qeiza saat melihat siapa yang datang. Qeiza hendak membuka mulut untuk meminta bantuan kepada teman lamanya itu. “Tidak! Itu tidak mungkin!” batin Qeiza. Mulutnya kembali terkunci. Adnan melangkah tanpa hambatan untuk mendekatinya. “Halo, Qei!” sapa Adnan. Berjongkok di hadapan Qeiza. Dia mengulurkan tangan. Ingin menyentuh wajah Qeiza. “Singkirkan tangan kotormu itu dari wajahku!” Qeiza tak percaya lelaki yang selama ini dianggapnya sebagai sahabat terbaik justru sengaja menjebaknya. “Ssst! Tenanglah!” ujar Adnan. “Tidak baik marah-marah. Kau akan semakin cepat tua.” “Seharusnya kau berterima kasih padaku,” imbuh Adnan. “Aku menyelamatkanmu lagi.” “Cuih!” Qeiza meludahi wajah Adnan. “Kau sama gilanya dengan Aleta.” Adnan membersihkan mukanya. Rahangnya mengeras, tetapi dia tetap menampilkan senyuman. “No, no.”
Hampir pukul sebelas malam. Chin Hwa baru saja tiba di rumah. Dia menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan. Meregangkan otot-otot lehernya yang terasa tegang. Dia membanting diri ke atas kasur. Merentangkan kedua tangannya seperti burung terbang. Kakinya dibiarkan menjuntai di tepi ranjang. “Anin!” Ingatannya tentang Qeiza membuatnya kembali duduk. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku. Dengan senyum terkembang, dia menghubungi nomor Qeiza. Panggilan tersebut tak tersambung. Setiap kali dia memanggil ulang, tetap hanya terdengar sahutan dari operator. Tidak biasanya Qeiza mengabaikan panggilannya. Tiba-tiba Chin Hwa merasa tak tenang. Dia melepas pakaiannya yang penuh keringat dan menggantinya. Karena cuaca terasa semakin dingin, dia mengenakan jaket yang lebih tebal. Sementara di ruang bawah tanah, Qeiza masih berkutat untuk melepaskan tali yang mengikat tangannya. Matanya sesekali mengawasi dua anak buah Aleta. Mereka semakin dekat. “Minggir!” Lelaki berwajah bulat mengusir Adn
“Oppa?” Qeiza senang sekaligus khawatir mengetahui Chin Hwa datang untuk menyelamatkannya. Si mata biru memanfaatkan momen lengah Qeiza. Dia melompat, mengincar ulu hati Qeiza dengan tendangan berkekuatan penuh. “Anin, awas!” Chin Hwa berteriak memperingatkan Qeiza. Dia juga bergerak. Menghantam kaki si mata biru dengan lemparan sepotong kayu. Dia memungut potongan kayu tersebut di luar pintu masuk ruang bawah tanah itu. “Kurang ajar!” Si mata biru memaki kesal. Dia mengalihkan serangannya kepada Chin Hwa yang kini sudah berdiri di sisi Qeiza. “Menepilah!” Chin Hwa mendorong tubuh Qeiza menjauh. “Tapi, Oppa—” “Tinggalkan ruangan ini!” perintah Chin Hwa tegas, memotong sanggahan Qeiza. Qeiza mengangguk. Chin Hwa benar. Dia harus keluar dari tempat itu untuk meminta bantuan. “Mau ke mana, Nona?” Seorang lelaki tak dikenal Qeiza tiba-tiba mengadang jalannya ketika dia hendak menaiki tangga. Qeiza melangkah mundur. Lelaki yang baru tiba itu lebih tinggi dari dua lelaki lainnya.
Raung sirine ambulans memecah kesunyian malam. Ambulans itu melaju dengan kecepatan tinggi. Berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa Chin Hwa. Qeiza tak sedetik pun melepaskan genggamannya dari tangan Chin Hwa. Lelaki itu masih tak sadarkan diri. Dalam hening, Qeiza senantiasa memanjatkan doa semoga calon suaminya itu baik-baik saja. Tak masalah bila pernikahan mereka harus tertunda. Yang penting, Chin Hwa selamat. Ansel tiba di lokasi kejadian saat semua ketegangan itu telah berakhir. Hanya beberapa orang polisi masih terlihat memasang garis kuning. “Sial! Aku selalu saja terlambat.” Ansel meninju angin. Dia sudah memperingatkan mantan istrinya itu akan bahaya yang mengancam nyawanya. Akan tetapi, sepertinya Qeiza tak menanggapinya dengan serius. Dia juga sudah mengirim seseorang untuk mengawasi Qeiza. Sialnya, dia masih saja kalah cepat. Ansel kembali ke mobil. “Susul ambulans itu!” perintahnya pada sopir taksi yang disewanya. Taksi itu pun melaju kencang. “Lebih cepat l
Ansel berlari mendekati Qeiza yang baru hendak turun dari ranjang. “Jaga jarak, Bung!” Dae Hyun menahan tangan Ansel yang sudah terulur. Dia ingin merangkul Qeiza. “Maaf!” Ansel bergerak mundur. Dae Hyun ternganga. Tidak salah? Seorang Ansel minta maaf? Apa tadi pagi matahari terbit dari Barat? Dae Hyun membantu Qeiza turun dari ranjang. “Aku tidak mau pulang, Oppa,” rengek Qeiza. “Aku mau tetap di sini. Aku … aku mau menunggunya.” Qeiza memandang Dae Hyun dengan tatapan penuh harap. Dia tak peduli dengan rasa sakit yang mulai menyerang sekujur tubuhnya. Dia hanya ingin menjadi orang pertama yang berada di sisi Chin Hwa saat lelaki itu bangun. “Baiklah.” Dae Hyun mengalah. Ansel hanya bisa melihat keakraban Dae Hyun dan Qeiza dengan perasaan tak menentu. Antara iri dan juga cemburu. Kalau dia tidak menceraikan Qeiza, wanita itu pasti akan menggelayut manja di lengannya. Andai waktu bisa diputar mundur, dia ingin kembali ke masa empat tahun silam. Dia akan mengubah kisah cintan
“Oppa …,” lirih Qeiza seraya membuka mata. Dia tergugu ketika tak menemukan Dae Hyun di sampingnya. “Kau sudah sadar, Nak,” seru Alina. “Syukurlah.” “Tante … kenapa Tante di sini?” Seingat Qeiza, sebelum dia kehilangan kesadaran, dia sedang bersama Dae Hyun. “Itu tidak penting, Sayang,” tukas Alina. “Bagaimana keadaanmu?” Qeiza merasakan sekujur tubuhnya nyilu. Tulang-belulangnya seperti remuk redam. Sulit untuk digerakkan. “Syukurlah kau sudah bangun, Qei,” ujar Ansel. Dia baru saja masuk ke ruangan itu. Qeiza semakin heran. Kenapa mantan suami dan mertuanya yang menemaninya. Ke mana Dae Hyun? Ansel menepi ketika dokter dan perawat ingin memeriksa Qeiza. Memberi ruang kepada tenaga medis tersebut untuk melaksanakan tugas mereka. “Anda hanya butuh istirahat, Nona,” kata dokter. “Dalam dua hari Anda boleh pulang.” “Tapi, Dok—” “Itu untuk kebaikanmu, Qei,” potong Ansel. “Jangan membantah!” Dokter dan perawat meninggalkan ruangan tersebut setelah meresepkan obat untuk Qeiza.
“Ada apa?” tanya Ansel. Dia menangkap kegelisahan Qeiza setelah menaruh tabletnya di atas meja. Qeiza menatap ragu pada Ansel. “Kau butuh sesuatu?” Ansel mengernyit. Dia tahu Qeiza mungkin segan untuk mengatakan keinginannya. “Kau mau membantuku?” Qeiza merasa seperti baru saja menemukan setitik cahaya di tengah kegelapan. Tawaran Ansel memunculkan sebuah ide gila di kepalanya. “Tentu saja. Kau mau apa?” “Aku … um … kau bisa mencarikan sari kurma?” “Apa? Ini Paris, Qei!” kaget Ansel. “Kau bisa menemukan sirup maple dengan mudah, tapi … entah dengan sari kurma.” “Ya sudah kalau tidak mau!” Qeiza melengos. “Eit, tunggu!” Ansel sadar dia telah salah bicara. Ini adalah kesempatannya untuk menarik hati Qeiza. Dia tidak boleh melewatkannya. “Aku tidak bilang aku tidak mau,” ralat Ansel. “Tapi … bagaimana kalau seandainya aku tak bisa mendapatkan apa yang kau inginkan?” Ansel menatap lekat wajah Qeiza. “Apa kau punya alternatif lain?” Hati Qeiza kembali menyemai harap. Dia sengaja m
Saat hidup memberimu penderitaan, dia juga akan menyiapkan kejutan yang membahagiakan. Bersabarlah hingga waktu itu tiba. *** “Bisa lebih cepat enggak sih?” Ansel mendumel di jok belakang. Xander melirik tampang kusut Ansel dari kaca spion. “Ini sudah kecepatan maksimal yang disarankan pemerintah.” Ansel menggerutu tak jelas. Membuat Xander tersenyum mengejek sambil mengalihkan fokus perhatiannya kembali ke jalanan. “Memangnya kau tahu di mana rumah pamannya Chin Hwa?” tanya Xander. “Sudah terlambat untuk mencari tahu sekarang,” sahut Ansel. “Langsung saja ke pemakaman muslim. Aku yakin dia akan dikubur di sana.” Xander memacu mobilnya menuju pemakaman muslim terdekat dengan wilayah pusat bisnis itu. Saat mereka tiba di sana, sebagian besar pelayat sudah pulang. Ansel berjalan cepat memasuki kompleks pemakaman tersebut. Matanya bergerak liar mencari-cari sosok Qeiza di antara kerumunan orang yang beranjak meninggalkan tempat itu. Dia tidak menyadari bahwa Qeiza sedang berjala