Saat hidup memberimu penderitaan, dia juga akan menyiapkan kejutan yang membahagiakan. Bersabarlah hingga waktu itu tiba. *** “Bisa lebih cepat enggak sih?” Ansel mendumel di jok belakang. Xander melirik tampang kusut Ansel dari kaca spion. “Ini sudah kecepatan maksimal yang disarankan pemerintah.” Ansel menggerutu tak jelas. Membuat Xander tersenyum mengejek sambil mengalihkan fokus perhatiannya kembali ke jalanan. “Memangnya kau tahu di mana rumah pamannya Chin Hwa?” tanya Xander. “Sudah terlambat untuk mencari tahu sekarang,” sahut Ansel. “Langsung saja ke pemakaman muslim. Aku yakin dia akan dikubur di sana.” Xander memacu mobilnya menuju pemakaman muslim terdekat dengan wilayah pusat bisnis itu. Saat mereka tiba di sana, sebagian besar pelayat sudah pulang. Ansel berjalan cepat memasuki kompleks pemakaman tersebut. Matanya bergerak liar mencari-cari sosok Qeiza di antara kerumunan orang yang beranjak meninggalkan tempat itu. Dia tidak menyadari bahwa Qeiza sedang berjala
Qeiza duduk di depan meja rias. Memandangi cincin pertunangan yang masih melingkar di jari manisnya. Tiga hari telah berlalu semenjak kematian Chin Hwa. Dia pernah mengembalikan cincin itu kepada Nyonya Song, tetapi wanita paruh baya itu menolak. “Kau pakai saja,” ujar Nyonya Song. Menatap Qeiza dengan mata berkaca-kaca. “Kalau suatu hari nanti kau mendapatkan pengganti anakku ….” Nyonya Song membelai wajah Qeiza. “Kau boleh melepas dan menyimpannya.” “Nyonya ….” Lidah Qeiza terasa kelu. Dia ingin mengatakan bahwa lebih baik dia mengembalikan saja cincin pemberian Chin Hwa. Akan tetapi, melihat wanita itu menyeka air mata, Qeiza menelan kembali kata-kata yang sudah berada di ujung lidah. Nyonya Song mengusap cincin di jari Qeiza. “Anggap saja anakku selalu mendampingimu!” Qeiza menghela napas panjang. Penggalan obrolan itu menyesakkan dada. Dia tak percaya Chin Hwa meninggalkannya sehari menjelang pernikahan mereka. Qeiza berjalan ke lemari pakaian dan membukanya. Sebuah gaun pen
Orang-orang akan melupakan seribu kebaikanmu hanya karena satu kesalahan yang kau lakukan. Maka, teruslah berbuat baik. *** Dae Hyun berdiri di puncak tangga. Melihat ke bawah. Mengawasi Qeiza beserta sepasang suami istri yang berbincang di ruang tamu. Dia ingin mendengar percakapan mereka. Sayang, jaraknya terlalu jauh. Dia hanya bisa mereka-reka dari raut wajah dua orang tamu tersebut. Sepertinya mereka kecewa. Setelah mereka pergi, Dae Hyun menghampiri Qeiza. “Jadi, kau menolak permintaan mereka?” tanya Dae Hyun. Ia duduk berseberangan dengan Qeiza. Qeiza mengangguk. “Tapi, aku akan mengantar mereka ke bandara,” ujarnya. “Kau tak keberatan, kan?” “Kapan?” “Nanti malam.” “Kalau begitu, aku akan ikut denganmu.” “Enggak perlu, Oppa,” tolak Qeiza. “Aku akan baik-baik saja.” “Ini Paris, Ae,” sanggah Dae Hyun. “Tidak terlalu aman untuk wanita.” Dae Hyun bangkit. “Kalau kau tidak membolehkan aku untuk ikut denganmu, sebaiknya kau batalkan saja niatmu itu.” Dae Hyun menatap ser
Ansel melihat Qeiza dan Dae Hyun bergantian. Dia tak percaya pada penjelasan Dae Hyun. “Enggak mau. Aku ikut ke mana pun kalian pergi.” Dae Hyun membuang napas jengkel. Dia tahu Ansel tidak akan berubah pikiran. Lelaki itu sangat keras kepala. “Pindah ke depan!” “Kenapa harus pindah? Di sini sudah nyaman kok.” “Pindah … atau turun!” “Ya ampun, Dae Hyun … kenapa sih ribet banget.” Qeiza mendelik pada Ansel. Dia mulai dongkol. Hampir lima menit waktu mereka terbuang percuma gara-gara perdebatan lelaki itu dengan Dae Hyun. “Ya, ya. Aku pindah.” Ansel mengalah pada tatapan garang Qeiza. Daripada wanita itu mengusirnya, lebih baik dia menuruti perintah Dae Hyun. Setibanya di bandara, Tuan dan Nyonya Song sudah bersiap untuk memasuki boarding room. Nyonya Song memberikan pelukan hangat pada Qeiza. “Meski kau tak jadi menikah dengan anakku,” ujar Nyonya Song. “Aku akan tetap menganggapmu sebagai menantu. Mampirlah kalau kau pulang ke Seoul.” “Benar, Ae Ri,” imbuh Tuan Song. “Pintu
“Dapat dari mana?” Qeiza mengamati benda yang berada di telapak tangan Dae Hyun. Matanya membesar saat mengenali benda itu. Dia mengulurkan tangan dan ingin mengambilnya. “Aku memungutnya dari lantai rumah sakit.” Dae Hyun segera mengepalkan jari-jarinya. Dia melipat tangannya sehingga benda itu tetap berada dalam genggamannya. “Itu brosku, Oppa!” Qeiza menadahkan tangan. Berharap Dae Hyun akan menyerahkannya secara sukarela. Dae Hyun kembali mengembang jari-jarinya. “Kau tahu ini apa?” Dia membolak-balik bros itu. Memperhatikan dengan saksama. Qeiza merampas bros itu dari tangan Dae Hyun. Dia ikut mengamati bros itu dengan kening berkerut. “Cuma bros biasa,” komentarnya. “Beli di mana?” Qeiza menatap lekat pada Dae Hyun. Merasa aneh dengan pertanyaan kakak angkatnya itu. “Itu hadiah dari Chin … Hwa.” Kerongkongannya terasa tercekat saat menyebutkan nama Chin Hwa. Raut mukanya berubah sendu. Dae Hyun menarik napas panjang. Dia mengusap puncak kepala Qeiza. “Dia sudah tidur
“Nona Esther sudah mendapatkan hukumannya,” beritahu Boss Song. “Kau mungkin tidak berniat untuk membesuknya di penjara.” “Memang tidak.” “Aku juga tidak akan memintamu untuk melakukan itu,” sanggah Boss Song. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa … keponakanku benar-benar mencintaimu. Dia selalu melindungimu.” Suara Boss Song sedikit bergetar. Qeiza dapat melihat mata lelaki itu berkaca-kaca. “Dia … dia bahkan juga melindungimu dengan nyawanya.” “Aku tahu.” Qeiza semakin merasa bersalah. “Maafkan aku.” Qeiza membungkuk dalam-dalam. “Tidak, tidak!” tukas Boss Song. “Bukan begitu maksudku. Aku … aku hanya ingin kau mengenang Chin Hwa sebagai lelaki yang baik.” Qeiza menegakkan kepala. “Tentu. Dia lelaki terbaik yang pernah kutemui.” Boss Song merasa lega mendengar pengakuan Qeiza. “Kuharap kau akan segera menemukan kebahagiaanmu.” Qeiza tersenyum kecut. Dia tidak yakin apakah dia memang pantas untuk berbahagia. Karena sepertinya, kebahagiaan itu selalu pergi menjauh saat dia nyaris m
Berdiri di tepi pagar balkon, Qeiza dapat melihat sebuah kolam renang mini mengikuti bentuk balkon itu. “Waah!” Qeiza semakin terkesima. Dia pernah bilang bahwa dia ingin melihat kolam renang jika berdiri di balkon kamarnya. Tak disangka Dae Hyun mengingat semua itu dan mewujudkannya. Sebuah taman kaktus juga memanjakan matanya. “Kau bisa terjun bebas dari sini,” goda Dae Hyun sambil melongokkan kepala ke bawah. “Sepertinya aku harus mencobanya suatu hari nanti.” Qeiza ikut melihat ke bawah. “Akh!” Qeiza terpekik. Dae Hyun menjitak kepalanya. “Kenapa sih suka sekali menjitak kepalaku?” Qeiza bersungut-sungut. Mengusap bekas jitakan Dae Hyun. “Kelihatannya kau butuh bel peringatan.” Dae Hyun tersenyum geli melihat mimik muka Qeiza yang memberengut. “Sebaiknya sekarang kau istirahat,” kata Dae Hyun. “Aku mau mandi. Tubuhku terasa lengket.” Qeiza mengibaskan kedua tangannya. Mengusir Dae Hyun agar segera menghilang dari hadapannya. Lelaki itu selalu saja mengusilinya. “Kalau k
“Aku akan mempertimbangkannya, Paman.” Akhirnya Qeiza memberi lampu hijau kepada Abbas. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita bertemu malam ini?” Hening. Qeiza tak menyahuti pertanyaan Abbas. “Kau tidak perlu datang ke rumahku kalau kau tidak mau,” lanjut Abbas. “Kita bertemu di restoran saja. Bagaimana?” Abbas bergegas memberikan penawaran kepada Qeiza sebelum gadis itu menjawab tidak. Dia sudah sepakat dengan Santoso untuk memperkenalkan Raditya dan Qeiza. Dia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan itu. “Baiklah. Restoran mana?” Qeiza menyetujui permintaan Abbas dengan helaan napas berat. Dia pikir lebih baik dia cepat-cepat memenuhi keinginan pamannya itu. Dengan begitu, lelaki tersebut tidak akan terus-terusan menghubunginya. Qeiza mendengkus. Sepertinya semesta memang tidak akan pernah membiarkan dirinya bernapas dengan lega. Baru saja dia terhindar dari rongrongan Ansel, sekarang malah dihadapkan pada kelicikan pamannya. Selepas senja, Qeiza sudah selesai dengan dandanan simp