“Qeiza! Jangan keterlaluan bercandanya!” Amira menegur Qeiza. “Nanti kalau Om dan Tante Santoso jantungan bagaimana?” “Oh, hahaha ….” Santoso kembali tertawa. “Jadi, itu tadi cuma bercanda?” Nyonya Santoso hanya geleng-geleng kepala sambil mengelus dada. Raditya mengulas senyum. Qeiza mendesah. “Terserah kalau tak percaya,” ujarnya. “Qei!” hardik Abbas. Dia melayangkan tatapan mematikan kepada Qeiza. Qeiza menatap serius pada Raditya. “Jangan bilang aku tidak pernah mengatakannya!” Qeiza bangkit. Dia membungkuk pada Tuan dan Nyonya Santoso. “Maaf Om, Tante … saya tidak bisa berlama-lama di sini,” pamit Qeiza. Abbas ikut tegak. Dia menekan pundak Qeiza. Memaksa gadis itu untuk duduk kembali. “Apa yang kau lakukan, Qei?” tanyanya. “Makan malamnya baru saja dimulai. Tidak sopan pergi begitu saja.” Abbas menekan suaranya. Berusaha menutupi amarah yang menggelegak dalam dada. Ternyata memanfaatkan Qeiza tak semudah dugaannya. “Maaf, Paman! Aku juga ada janji yang lain,” tolak Qeiz
Langit Jakarta sedang bermuram durja. Awan hitam menggumpal di mana-mana. Qeiza menatap bumantara dengan resah. Dalam hati dia berdoa agar hujan menahan peluru cairnya selama beberapa jam ke depan. “Berhenti di depot bunga dulu ya!” Qeiza menunjuk toko bunga di sisi jalan. Dia ingin membeli buket bunga lili putih kesukaan mamanya. Dae Hyun memarkir mobilnya di depan kios bunga. Dia tetap menunggu di mobil karena Qeiza tidak mengizinkannya untuk turun. Saat mereka tiba di pemakaman, gerimis mulai jatuh. Dae Hyun berlari kembali ke mobil. Mengambil payung untuk menaungi Qeiza dari hujan. Qeiza meletakkan buket bunga yang dibawanya di dekat batu nisan kedua orang tuanya. Dia mengelus kedua nisan tersebut bergantian. Kristal bening meluruh di pipinya. Menyaingi rintik hujan. “Ma, Pa … maaf … sudah lama sekali aku tidak ke sini.” Qeiza menumpukan tangannya pada masing-masing nisan orang tuanya. “Aku baik-baik saja.” Qeiza menyeka air matanya dengan ujung hijab. “Semoga kalian di sana
“Ada apa?” tanya Qeiza. Dae Hyun baru saja menutup ponselnya. “Appa dirawat di rumah sakit.” “Innalillah … sudah berapa lama?” “Sejak kemarin.” Dae Hyun meraih tangan Qeiza. “Apa kau keberatan kalau kita langsung terbang ke Seoul dari Bengkulu nanti?” “Apa? Kau gila?” Dae Hyun tersenyum kecut. Dia terlalu cepat mengajukan pertanyaan itu pada Qeiza. “Batalkan saja liburannya! Kita pulang sekarang.” “Hah! Ae … kau … bilang apa?” “Kenapa kau mendadak bodoh, Oppa?” Qeiza mendelik. “Kita bisa menikmati liburan kapan-kapan.” Dae Hyun masih terperangah. “Kau serius?” “Sangat. Membesuk appa lebih penting. Kita tidak tahu berapa lama appa akan bertahan hidup.” “Terima kasih, Ae!” Dae Hyun terharu dengan keputusan Qeiza. “Aku janji. Aku akan menebusnya lain hari.” Sesaat kemudian, dia menghubungi seseorang. “Kita akan terbang dua jam lagi,” beritahu Dae Hyun pada Qeiza setelah mengakhiri panggilannya. “Putar balik, Tuan?” tanya sopir yang menguping pembicaraan Dae Hyun dan Qeiza.
“Berbaring saja, Appa!” kata Qeiza, membungkuk di sisi kiri ranjang. Dae Hyun juga menahan tubuh ayahnya agar tidak memaksakan diri untuk bangkit. “Iya, Appa. Istirahat saja!” ujar Dae Hyun dari sisi kanan ranjang. Nyonya Kim tegak di samping Qeiza. Tersenyum menatap wajah lelah anak gadisnya itu seraya mengusap pundaknya. “Kami turut bersedih atas kematian Chin Hwa,” kata Nyonya Kim. “Maaf, kami tidak bisa terbang ke sana.” “Tidak apa-apa, Eomma.” Qeiza mengusap punggung tangan Nyonya Kim yang masih mengelus bahunya. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Tuan Kim. “Apa para penjahat itu menyakitimu?” Qeiza tersenyum kepada Tuan Kim. “Aku baik-baik saja, Appa,” sahutnya. “Tidak mudah bagi mereka untuk melukaiku.” “Syukurlah!” Tuan dan Nyonya Kim serentak mengungkapkan kelegaan mereka. Dae Hyun menarik kursi agar Qeiza dan ibunya bisa duduk. Kemudian, dia mengambil kursi lain untuk dirinya sendiri. “Apa yang Appa rasakan?” tanya Qeiza. Dia benar-benar sudah menganggap orang tua Dae Hy
Ansel mengepak pakaiannya dengan terburu-buru. Berulang kali dia melirik jam di dinding, seakan takut jarum jam itu bergerak cepat meninggalkannya. “Apa yang kau lakukan, Sel?” Alina berjalan mendekati Ansel. Keningnya mengerut melihat putra semata wayangnya sedang berkemas, seperti ingin minggat. “Aku harus menyusul Qeiza secepatnya, Ma.” Ansel menjawab tanpa menghentikan gerakan tangannya, menyusun baju-baju itu ke dalam koper. Matanya pun tak beralih pada Alina. “Lo, memangnya Qeiza balik ke Indonesia?” Alina kaget. Dia tidak mendengar kabar apa pun tentang Qeiza semenjak beberapa hari yang lalu. Ansel tegak. Kopernya sudah terisi penuh. Dia menghampiri mamanya. Meremas lembut kedua bahu wanita paruh baya itu. “Doakan aku, Ma! Aku sedang berjuang keras untuk mewujudkan impian Mama.” Alina mengelus lengan Ansel. “Jadi … dia benar-benar pulang?” “Tidak, Ma. Dia … dia melarikan diri ke Seoul ….” Ansel mempererat remasan tangannya pada pundak Alina. Dia memaksakan bibirnya unt
Tuan Kim masih ingat dengan sangat jelas bagaimana dia mengenal Qeiza pertama kalinya. Saat itu, dia baru saja keluar dari supermarket, tidak jauh dari kampus Qeiza. Tiba-tiba perutnya terasa sangat sakit. Dia membungkuk seraya memegangi perutnya. Langkahnya terhuyung. “Anda baik-baik saja, Tuan?” Sepasang tangan halus menyambar lengan atasnya tatkala dia nyaris terjatuh. Penglihatannya mendadak lamur. Dengan sisa-sisa kesadaran yang dimilikinya, dia mengeluarkan kunci mobil dari kantong dan memberikan kunci tersebut kepada Qeiza. “Ru–rumah … sa–sakit ….” Semuanya kemudian terlihat gelap. Ketika dia membuka mata, dia sudah terbaring di ranjang rumah sakit, ditemani istrinya. “Ke mana dia?” tanyanya pada Nyonya Kim. “Siapa?” “Gadis itu.” Nyonya Kim tersenyum. “Tunggu sebentar! Dia akan segera datang. Dia sedang ke kampus.” Dua puluh menit kemudian, Qeiza muncul dengan senyuman ramahnya. “Bagaimana kabar Anda, Ahjussi?” tanya Qeiza. Dia menyerahkan buah yang dibawanya kepada Ny
Bintang bertaburan di langit malam. Bekerlip indah seolah-olah mengajak bercanda kemilau pijar lampu di sepanjang aliran Sungai Han. Saling berlomba memamerkan pesona pada dunia. Qeiza berdiri di balkon kamarnya. Memeluk kedua tangannya. Sesekali dia mengelus lengan atasnya agar udara dingin terasa sedikit berkurang. Dia menarik napas panjang. Menumpukan telapak tangannya pada pagar pembatas balkon. Matanya berkelana, menikmati keindahan tepian Sungai Han. Ya. Kediaman orang tua angkatnya memang berada di salah satu kawasan perumahan elit dengan pemandangan yang spektakuler, berupa aliran Sungai dan Gunung Namsan. Dari kamarnya, Dae Hyun dapat melihat Qeiza berdiri seorang diri di balkon. Dia menaruh majalah bisnis yang dibacanya. Kamar mereka memang bersebelahan. Bahkan, balkon mereka hanya terhalang sebuah pagar besi setinggi kurang dari satu meter. Di sinilah Dae Hyun sekarang. Dia melompati pagar rendah itu. Dalam sekejap, dia sudah tegak di samping Qeiza. Ikut memanjakan mata
“Sepertinya aku sudah terlalu lama tidak olahraga,” ujar Qeiza. Masih dengan napas yang terputus-putus. Dia tak menampik ketika Dae Hyun mengulurkan tangan untuk membimbingnya. Setibanya di bangku itu, Qeiza langsung menghempaskan pantat. Dia merentangkan kedua tangannya pada sandaran bangku. Kakinya dibiarkan melunjur lurus sambil terus digoyang-goyang. “Tunggu di sini!” Dae Hyun bangkit dari duduknya. Beberapa menit kemudian, dia datang lagi dengan membawa dua botol air mineral. Dia menyerahkan salah satu botol itu kepada Qeiza setelah membuka tutupnya. Dae Hyun duduk lagi di samping kiri Qeiza. Membasahi kerongkongannya yang kering dengan air yang tadi dibelinya. Embusan angin pagi di tepian Sungai Han menghadirkan kesejukan pada raga mereka yang kepanasan akibat berlari. “Apa rencanamu setelah mengundurkan diri?” tanya Dae Hyun. “Entahlah.” Qeiza menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya dari permukaan air sungai yang beriak. “Yang jelas, tuk saat ini aku harus menyelesaikan