Tuan Kim masih ingat dengan sangat jelas bagaimana dia mengenal Qeiza pertama kalinya. Saat itu, dia baru saja keluar dari supermarket, tidak jauh dari kampus Qeiza. Tiba-tiba perutnya terasa sangat sakit. Dia membungkuk seraya memegangi perutnya. Langkahnya terhuyung. “Anda baik-baik saja, Tuan?” Sepasang tangan halus menyambar lengan atasnya tatkala dia nyaris terjatuh. Penglihatannya mendadak lamur. Dengan sisa-sisa kesadaran yang dimilikinya, dia mengeluarkan kunci mobil dari kantong dan memberikan kunci tersebut kepada Qeiza. “Ru–rumah … sa–sakit ….” Semuanya kemudian terlihat gelap. Ketika dia membuka mata, dia sudah terbaring di ranjang rumah sakit, ditemani istrinya. “Ke mana dia?” tanyanya pada Nyonya Kim. “Siapa?” “Gadis itu.” Nyonya Kim tersenyum. “Tunggu sebentar! Dia akan segera datang. Dia sedang ke kampus.” Dua puluh menit kemudian, Qeiza muncul dengan senyuman ramahnya. “Bagaimana kabar Anda, Ahjussi?” tanya Qeiza. Dia menyerahkan buah yang dibawanya kepada Ny
Bintang bertaburan di langit malam. Bekerlip indah seolah-olah mengajak bercanda kemilau pijar lampu di sepanjang aliran Sungai Han. Saling berlomba memamerkan pesona pada dunia. Qeiza berdiri di balkon kamarnya. Memeluk kedua tangannya. Sesekali dia mengelus lengan atasnya agar udara dingin terasa sedikit berkurang. Dia menarik napas panjang. Menumpukan telapak tangannya pada pagar pembatas balkon. Matanya berkelana, menikmati keindahan tepian Sungai Han. Ya. Kediaman orang tua angkatnya memang berada di salah satu kawasan perumahan elit dengan pemandangan yang spektakuler, berupa aliran Sungai dan Gunung Namsan. Dari kamarnya, Dae Hyun dapat melihat Qeiza berdiri seorang diri di balkon. Dia menaruh majalah bisnis yang dibacanya. Kamar mereka memang bersebelahan. Bahkan, balkon mereka hanya terhalang sebuah pagar besi setinggi kurang dari satu meter. Di sinilah Dae Hyun sekarang. Dia melompati pagar rendah itu. Dalam sekejap, dia sudah tegak di samping Qeiza. Ikut memanjakan mata
“Sepertinya aku sudah terlalu lama tidak olahraga,” ujar Qeiza. Masih dengan napas yang terputus-putus. Dia tak menampik ketika Dae Hyun mengulurkan tangan untuk membimbingnya. Setibanya di bangku itu, Qeiza langsung menghempaskan pantat. Dia merentangkan kedua tangannya pada sandaran bangku. Kakinya dibiarkan melunjur lurus sambil terus digoyang-goyang. “Tunggu di sini!” Dae Hyun bangkit dari duduknya. Beberapa menit kemudian, dia datang lagi dengan membawa dua botol air mineral. Dia menyerahkan salah satu botol itu kepada Qeiza setelah membuka tutupnya. Dae Hyun duduk lagi di samping kiri Qeiza. Membasahi kerongkongannya yang kering dengan air yang tadi dibelinya. Embusan angin pagi di tepian Sungai Han menghadirkan kesejukan pada raga mereka yang kepanasan akibat berlari. “Apa rencanamu setelah mengundurkan diri?” tanya Dae Hyun. “Entahlah.” Qeiza menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya dari permukaan air sungai yang beriak. “Yang jelas, tuk saat ini aku harus menyelesaikan
Ansel langsung tegak lurus. Darahnya mendidih melihat Dae Hyun membawa Qeiza. Terlebih saat dari jauh dia melihat keduanya saling lempar senyum. “Apa dia sudah tidak bisa jalan sampai kau harus menggendongnya sehabis olahraga?” Ansel bertanya dengan nada dingin. Tatapannya seperti ingin menguliti Dae Hyun hidup-hidup. “Ayo masuk, Oppa!” Qeiza berbisik di telinga Dae Hyun. Dia malas lama-lama berada di dekat Ansel. Dae Hyun menaikkan posisi Qeiza yang sedikit melorot dari punggungnya. Detik berikutknya, dia melangkah ke pintu gerbang. Menuruti kemauan Qeiza. “Hei!” Ansel berteriak ketika penjaga pintu menutup pagar tanpa membiarkannya ikut masuk. “Biarkan saja dia masuk!” ujar Dae Hyun ketika penjaga rumahnya bertanya lewat tatapan matanya. “Sepertinya dia tersesat.” Ansel mengepalkan tangan. Perkataan Dae Hyun seakan sengaja merendahkan dirinya. Apa boleh buat. Demi tak kehilangan Qeiza, dia harus menelan rasa jengkel itu. Dia mengikuti langkah Dae Hyun masuk ke rumah. “Kau bo
Qeiza terlonjak duduk. Dia berpegangan pada kedua lengan kursi lantaran kaget mendengar suara gelegar pintu didorong dengan kasar. Mulutnya ternganga ketika melihat Ansel muncul di kamarnya. Roman muka Ansel yang semula memerah karena marah, mendadak berubah risau tatkala melihat Qeiza meringis kesakitan. “K–kakimu kenapa?” Ansel mendatangi Qeiza. Matanya terpaku pada pergelangan kaki Qeiza yang terbalut perban elastis. Qeiza menyandarkan lagi punggungnya. Dia mendesah seraya memejamkan mata. “Sebaiknya kau keluar sekarang!” Ansel tak menggubris perintah Qeiza. Dia berjongkok di samping meja. “Jangan sentuh!” larang Qeiza ketika Ansel mengulurkan tangan untuk meraih kakinya. “Kenapa? Sakit sekali ya?” Ansel menoleh pada Qeiza. “Kalau kau sudah tahu, harusnya kau membiarkan aku istirahat.” Qeiza menjawab acuh tak acuh. Meskipun dia tak lagi membenci mantan suaminya itu, dia juga tidak berharap untuk bertemu kembali dengannya. Alih-alih menuruti pergi dari kamar itu, Ansel mal
Ansel berjalan dengan mengendap-endap, keluar dari tempat persembunyiannya menuju pintu masuk rumah Dae Hyun. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan tak seorang pun memergoki aksinya. Ujung jari Ansel baru saja hendak menyentuh gagang pintu ketika dia merasakan sebuah tangan kekar menarik kerah bajunya dari belakang. Ansel memutar kepala ke kanan. Penjaga rumah Dae Hyun langsung menyambutnya dengan tatapan garang. “Bukankah seharusnya Anda sudah pulang?” Ansel tersenyum kecut. “Aku belum pamit sama Ae Ri,” sahutnya. “Tuan Muda Kim meminta saya untuk tidak membolehkan siapa pun masuk rumah sebelum dia pulang,” balas penjaga rumah itu, masih dengan wajah tak bersahabat. “Jadi, silakan pulang sekarang!” Ansel memasang wajah memelas. “Sebentar saja … biarkan aku ketemu Ae Ri sebelum pergi.” “Nona Muda Kim butuh istirahat. Dia tidak boleh diganggu.” Air muka Ansel berubah keruh karena putus asa. Penjaga rumah itu tidak mempan dirayu. Dia hanya bisa menoleh ke lantai atas saat
Qeiza menepuk kedua pundak Dae Hyun. “Turunkan aku di sini!” pintanya ketika tiba di depan pintu kamar orang tua angkatnya. Dia tidak mau Nyonya dan Tuan Kim melihat Dae Hyun menggendongnya. Dae Hyun segera berjongkok memenuhi permintaan Qeiza. Dia membimbing wanita itu masuk ke kamar orang tuanya. Nyonya Kim bergegas menyongsong Qeiza. “Kau tidak harus datang ke sini,” ujarnya. “Kau juga perlu istirahat.” Qeiza mengangkat kakinya sedikit. “Ini hanya cedera ringan, Eomma,” sahutnya. “Akan segera membaik.” Qeiza berjalan dengan sebelah kaki mendekati kursi yang disediakan Dae Hyun di dekat tempat tidur ayahnya. “Wajah Appa tampak lebih cerah setelah tiba di rumah.” Qeiza mencandai Tuan Kim yang melayangkan senyum kepadanya. “Tentu saja! Tak ada tempat yang lebih nyaman daripada rumah sendiri.” “Aigoo … kalau begitu, kau harus menjaga kesehatanmu dengan baik,” timpal Nyonya Kim. “Benar, Appa!” sambut Qeiza. “Sudah saatnya Appa bersantai di rumah.” Tuan Kim melirik Dae Hyun. “It
Mendengar gumaman Qeiza, Nyonya Kim menarik album foto tersebut dari tangan Qeiza. Dia juga ingin melihat foto yang menyebabkan air mata Qeiza semakin membanjiri wajahnya. “Jangan ambil, Eomma!” Qeiza berusaha merebut kembali album itu dari tangan Nyonya Kim. “Aku sangat merindukan mama sama papa.” Nyonya Kim memandangi wajah gadis kecil di foto tersebut, lalu beralih pada muka Qeiza. Membandingkan keduanya. Tiba-tiba, dia menghambur memeluk Qeiza. “Anakku ….” Cairan hangat membanjiri pipinya. “Maafkan aku! Ternyata kau sangat dekat selama ini, tapi … aku tak mengenalimu.” Setelah cukup lama berpelukan dalam tangis, Nyonya Kim mengangkat wajah Qeiza. Dia menyeka air mata gadis itu dengan jari. “Terima kasih kau kembali pada kami, Sayang!” Nyonya Kim mengecup kening Qeiza. Tuan Kim juga menyeka air matanya. Dae Hyun tertegun. Dia kehilangan kata-kata. Perasaannya campur aduk—antara senang dan haru. Entah berapa lama Qeiza terus memandangi wajah kedua orang tuanya dengan tatapan