“Dapat dari mana?” Qeiza mengamati benda yang berada di telapak tangan Dae Hyun. Matanya membesar saat mengenali benda itu. Dia mengulurkan tangan dan ingin mengambilnya. “Aku memungutnya dari lantai rumah sakit.” Dae Hyun segera mengepalkan jari-jarinya. Dia melipat tangannya sehingga benda itu tetap berada dalam genggamannya. “Itu brosku, Oppa!” Qeiza menadahkan tangan. Berharap Dae Hyun akan menyerahkannya secara sukarela. Dae Hyun kembali mengembang jari-jarinya. “Kau tahu ini apa?” Dia membolak-balik bros itu. Memperhatikan dengan saksama. Qeiza merampas bros itu dari tangan Dae Hyun. Dia ikut mengamati bros itu dengan kening berkerut. “Cuma bros biasa,” komentarnya. “Beli di mana?” Qeiza menatap lekat pada Dae Hyun. Merasa aneh dengan pertanyaan kakak angkatnya itu. “Itu hadiah dari Chin … Hwa.” Kerongkongannya terasa tercekat saat menyebutkan nama Chin Hwa. Raut mukanya berubah sendu. Dae Hyun menarik napas panjang. Dia mengusap puncak kepala Qeiza. “Dia sudah tidur
“Nona Esther sudah mendapatkan hukumannya,” beritahu Boss Song. “Kau mungkin tidak berniat untuk membesuknya di penjara.” “Memang tidak.” “Aku juga tidak akan memintamu untuk melakukan itu,” sanggah Boss Song. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa … keponakanku benar-benar mencintaimu. Dia selalu melindungimu.” Suara Boss Song sedikit bergetar. Qeiza dapat melihat mata lelaki itu berkaca-kaca. “Dia … dia bahkan juga melindungimu dengan nyawanya.” “Aku tahu.” Qeiza semakin merasa bersalah. “Maafkan aku.” Qeiza membungkuk dalam-dalam. “Tidak, tidak!” tukas Boss Song. “Bukan begitu maksudku. Aku … aku hanya ingin kau mengenang Chin Hwa sebagai lelaki yang baik.” Qeiza menegakkan kepala. “Tentu. Dia lelaki terbaik yang pernah kutemui.” Boss Song merasa lega mendengar pengakuan Qeiza. “Kuharap kau akan segera menemukan kebahagiaanmu.” Qeiza tersenyum kecut. Dia tidak yakin apakah dia memang pantas untuk berbahagia. Karena sepertinya, kebahagiaan itu selalu pergi menjauh saat dia nyaris m
Berdiri di tepi pagar balkon, Qeiza dapat melihat sebuah kolam renang mini mengikuti bentuk balkon itu. “Waah!” Qeiza semakin terkesima. Dia pernah bilang bahwa dia ingin melihat kolam renang jika berdiri di balkon kamarnya. Tak disangka Dae Hyun mengingat semua itu dan mewujudkannya. Sebuah taman kaktus juga memanjakan matanya. “Kau bisa terjun bebas dari sini,” goda Dae Hyun sambil melongokkan kepala ke bawah. “Sepertinya aku harus mencobanya suatu hari nanti.” Qeiza ikut melihat ke bawah. “Akh!” Qeiza terpekik. Dae Hyun menjitak kepalanya. “Kenapa sih suka sekali menjitak kepalaku?” Qeiza bersungut-sungut. Mengusap bekas jitakan Dae Hyun. “Kelihatannya kau butuh bel peringatan.” Dae Hyun tersenyum geli melihat mimik muka Qeiza yang memberengut. “Sebaiknya sekarang kau istirahat,” kata Dae Hyun. “Aku mau mandi. Tubuhku terasa lengket.” Qeiza mengibaskan kedua tangannya. Mengusir Dae Hyun agar segera menghilang dari hadapannya. Lelaki itu selalu saja mengusilinya. “Kalau k
“Aku akan mempertimbangkannya, Paman.” Akhirnya Qeiza memberi lampu hijau kepada Abbas. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita bertemu malam ini?” Hening. Qeiza tak menyahuti pertanyaan Abbas. “Kau tidak perlu datang ke rumahku kalau kau tidak mau,” lanjut Abbas. “Kita bertemu di restoran saja. Bagaimana?” Abbas bergegas memberikan penawaran kepada Qeiza sebelum gadis itu menjawab tidak. Dia sudah sepakat dengan Santoso untuk memperkenalkan Raditya dan Qeiza. Dia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan itu. “Baiklah. Restoran mana?” Qeiza menyetujui permintaan Abbas dengan helaan napas berat. Dia pikir lebih baik dia cepat-cepat memenuhi keinginan pamannya itu. Dengan begitu, lelaki tersebut tidak akan terus-terusan menghubunginya. Qeiza mendengkus. Sepertinya semesta memang tidak akan pernah membiarkan dirinya bernapas dengan lega. Baru saja dia terhindar dari rongrongan Ansel, sekarang malah dihadapkan pada kelicikan pamannya. Selepas senja, Qeiza sudah selesai dengan dandanan simp
“Qeiza! Jangan keterlaluan bercandanya!” Amira menegur Qeiza. “Nanti kalau Om dan Tante Santoso jantungan bagaimana?” “Oh, hahaha ….” Santoso kembali tertawa. “Jadi, itu tadi cuma bercanda?” Nyonya Santoso hanya geleng-geleng kepala sambil mengelus dada. Raditya mengulas senyum. Qeiza mendesah. “Terserah kalau tak percaya,” ujarnya. “Qei!” hardik Abbas. Dia melayangkan tatapan mematikan kepada Qeiza. Qeiza menatap serius pada Raditya. “Jangan bilang aku tidak pernah mengatakannya!” Qeiza bangkit. Dia membungkuk pada Tuan dan Nyonya Santoso. “Maaf Om, Tante … saya tidak bisa berlama-lama di sini,” pamit Qeiza. Abbas ikut tegak. Dia menekan pundak Qeiza. Memaksa gadis itu untuk duduk kembali. “Apa yang kau lakukan, Qei?” tanyanya. “Makan malamnya baru saja dimulai. Tidak sopan pergi begitu saja.” Abbas menekan suaranya. Berusaha menutupi amarah yang menggelegak dalam dada. Ternyata memanfaatkan Qeiza tak semudah dugaannya. “Maaf, Paman! Aku juga ada janji yang lain,” tolak Qeiz
Langit Jakarta sedang bermuram durja. Awan hitam menggumpal di mana-mana. Qeiza menatap bumantara dengan resah. Dalam hati dia berdoa agar hujan menahan peluru cairnya selama beberapa jam ke depan. “Berhenti di depot bunga dulu ya!” Qeiza menunjuk toko bunga di sisi jalan. Dia ingin membeli buket bunga lili putih kesukaan mamanya. Dae Hyun memarkir mobilnya di depan kios bunga. Dia tetap menunggu di mobil karena Qeiza tidak mengizinkannya untuk turun. Saat mereka tiba di pemakaman, gerimis mulai jatuh. Dae Hyun berlari kembali ke mobil. Mengambil payung untuk menaungi Qeiza dari hujan. Qeiza meletakkan buket bunga yang dibawanya di dekat batu nisan kedua orang tuanya. Dia mengelus kedua nisan tersebut bergantian. Kristal bening meluruh di pipinya. Menyaingi rintik hujan. “Ma, Pa … maaf … sudah lama sekali aku tidak ke sini.” Qeiza menumpukan tangannya pada masing-masing nisan orang tuanya. “Aku baik-baik saja.” Qeiza menyeka air matanya dengan ujung hijab. “Semoga kalian di sana
“Ada apa?” tanya Qeiza. Dae Hyun baru saja menutup ponselnya. “Appa dirawat di rumah sakit.” “Innalillah … sudah berapa lama?” “Sejak kemarin.” Dae Hyun meraih tangan Qeiza. “Apa kau keberatan kalau kita langsung terbang ke Seoul dari Bengkulu nanti?” “Apa? Kau gila?” Dae Hyun tersenyum kecut. Dia terlalu cepat mengajukan pertanyaan itu pada Qeiza. “Batalkan saja liburannya! Kita pulang sekarang.” “Hah! Ae … kau … bilang apa?” “Kenapa kau mendadak bodoh, Oppa?” Qeiza mendelik. “Kita bisa menikmati liburan kapan-kapan.” Dae Hyun masih terperangah. “Kau serius?” “Sangat. Membesuk appa lebih penting. Kita tidak tahu berapa lama appa akan bertahan hidup.” “Terima kasih, Ae!” Dae Hyun terharu dengan keputusan Qeiza. “Aku janji. Aku akan menebusnya lain hari.” Sesaat kemudian, dia menghubungi seseorang. “Kita akan terbang dua jam lagi,” beritahu Dae Hyun pada Qeiza setelah mengakhiri panggilannya. “Putar balik, Tuan?” tanya sopir yang menguping pembicaraan Dae Hyun dan Qeiza.
“Berbaring saja, Appa!” kata Qeiza, membungkuk di sisi kiri ranjang. Dae Hyun juga menahan tubuh ayahnya agar tidak memaksakan diri untuk bangkit. “Iya, Appa. Istirahat saja!” ujar Dae Hyun dari sisi kanan ranjang. Nyonya Kim tegak di samping Qeiza. Tersenyum menatap wajah lelah anak gadisnya itu seraya mengusap pundaknya. “Kami turut bersedih atas kematian Chin Hwa,” kata Nyonya Kim. “Maaf, kami tidak bisa terbang ke sana.” “Tidak apa-apa, Eomma.” Qeiza mengusap punggung tangan Nyonya Kim yang masih mengelus bahunya. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Tuan Kim. “Apa para penjahat itu menyakitimu?” Qeiza tersenyum kepada Tuan Kim. “Aku baik-baik saja, Appa,” sahutnya. “Tidak mudah bagi mereka untuk melukaiku.” “Syukurlah!” Tuan dan Nyonya Kim serentak mengungkapkan kelegaan mereka. Dae Hyun menarik kursi agar Qeiza dan ibunya bisa duduk. Kemudian, dia mengambil kursi lain untuk dirinya sendiri. “Apa yang Appa rasakan?” tanya Qeiza. Dia benar-benar sudah menganggap orang tua Dae Hy