Qeiza tercengang melihat hamparan buket bunga yang berjajar di dekat pintu apartemennya. Matanya menyapu setiap buket bunga itu dengan rasa tak percaya. Sebagian sudah terlihat layu. “Untung kau pulang, Nona!” sapa seorang lelaki berusia mendekati lima puluhan. Qeiza mengenalnya sebagai salah satu penghuni apartemen di ujung lorong. Lelaki itu sepertinya baru saja pulang. Langkahnya semakin dekat pada Qeiza. “Anda tahu siapa yang menaruh bunga-bunga ini di sini, Pak?” Lelaki itu tersenyum. Dia melayangkan pandangan pada tumpukan buket bunga tersebut. “Aku tidak yakin apakah semua bunga itu datang dari orang yang sama,” kata lelaki itu. “Aku hanya memergokinya sekali. Seorang lelaki muda.” Lelaki itu menoleh pada Qeiza. “Kurasa dia pengagum beratmu.” 'Siapa dia? Ansel atau Chin Hwa?' *** “Yes! Akhirnya!” Ansel melakukan selebrasi dengan kedua tangan terkepal. Bibirnya tersenyum lebar. Rekaman Qeiza berdiri bingung di depan pintu apartemennya terpampang jelas pada layar ponselny
Lelaki yang tulus mencintaimu akan selalu menjadi malaikat pelindungmu. *** Qeiza sedang dalam perjalanan menuju kantornya dengan mengendarai mobilnya sendiri. Dia ingin tiba di kantor lebih awal lantaran ingin mengecek ulang desainnya. Hari ini merupakan hari penyerahan karyanya untuk kompetisi bergengsi itu. Tiba di kantor, Qeiza melangkah cepat menuju ruangannya. Begitu masuk, matanya membulat sempurna. Ruangan tersebut sangat berantakan. Lembaran kertas serta peralatan gambarnya berserakan di mana-mana. “Apa yang terjadi?” Bergegas Qeiza mendekati meja kerjanya. Dia memotret ruangan kacau tersebut dari berbagai sudut. Setelah mengumpulkan cukup banyak bukti berupa gambar dan rekaman video, Qeiza mulai membenahi kekacauan itu. Dia memungut perlengkapannya yang bertebaran di atas lantai. “Oh, tidak!” Qeiza terpekik ketika teringat desain yang akan dikirimnya. Dia pun meletakkan kembali barang-barang di tangannya ke atas lantai. Dia berlari menuju meja kerjanya lagi. Jari-jari
Qeiza duduk bersandar sembari menatap sayu pada mejanya yang berantakan. Sebelah tangannya bermain-main dengan lembaran buku skestanya. Dia segera menghentikan kegiatannya ketika melihat Chin Hwa berjalan dengan setengah berlari, memasuki ruangan. “Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi,” pinta Chin Hwa. Dia tegak di samping meja Qeiza. Matanya menyipit, melihat pemandangan buruk di atas meja kerja Qeiza. Qeiza duduk tegap. Dia meraih ponsel, lalu mengirimkan semua gambar dan rekaman video yang diambilnya tadi. Raut muka Chin Hwa mengeras ketika melihat apa yang dikirim Qeiza kepadanya. Giginya bergemeletuk. “Kurang ajar! Berani sekali orang itu memasuki wilayah kekuasaanku!” Bola mata Chin Hwa berkilat marah. “Data apa saja yang dicurinya dari komputermu?” tanya Chin Hwa. Qeiza membuka lagi folder di komputernya. “Hanya desain yang akan kukirim untuk kompetisi,” sahutnya. “Hari ini terakhir ya?” Qeiza mengangguk. Dia tak lagi bergairah. Perjuangannya sia-sia. Mungkin memang be
Qeiza masih belum mampu membebaskan pinggangnya dari lilitan lengan Chin Hwa. Mata mereka pun masih saling melekat satu sama lain. Menyebabkan Qeiza bertambah gusar. Irama detak jantungnya kini seperti tabuhan Tamatam. Semacam teknik pukulan pada Dol—alat musik tradisional khas Bengkulu. Temponya cepat dan konstan. Hanya saja, kecepatan itu bukan terlahir dari suasana riang, melainkan cemas. Seseorang mengetuk pintu cukup keras. Qeiza sangat bersyukur. Suara ketukan itu membuat Chin Hwa menarik lepas tangannya. Selekasnya Qeiza melangkah mundur, lalu hendak keluar dari ruangan bosnya itu. “Selamat pagi, Nona Kim!” Freud menyapa Qeiza. Dia tidak menyangka wanita itu sedang bersama bosnya. Qeiza hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Berdiri di sisi kiri meja kerja Chin Hwa. “Kau mendapatkannya?” tanya Chin Hwa. Dia mengalihkan pandangannya dari layar monitor komputer ke wajah Freud. Pintar sekali dia bersandiwara. “Ini!” Freud menyerahkan sebuah flashdisk kepada Chin Hwa. “Kau su
Ansel melayangkan tatapan beracun pada Xander. “Apa aku harus menjelaskan secara detail semua perintahku?” Xander menggaruk belakang telinganya. Dia lupa kalau di kantor dia harus bersikap patuh pada Ansel. “Baiklah. Vacuum cleaner seperti apa yang kau inginkan?” “Aku tak peduli bagaimana bentuknya,” sahut Ansel. “Tapi, aku mau barang itu mudah digunakan. Kalau perlu, cari yang bisa bekerja dengan sendirinya.” “Ada lagi?” “Kau boleh keluar sekarang!” Ansel kembali meraih penanya. “Tunggu!” Xander langsung mengerem langkahnya. Dia balik badan. Menanti instruksi berikutnya. “Pastikan bahwa kau yang mengantar langsung barang itu ke apartemen Qeiza!” “Tentu.” “Ck! Ternyata dia masih saja memburu Qeiza,” batin Xander. Dia meninggalkan ruangan Ansel sambil geleng-geleng kepala. Menjelang senja, Xander tiba di apartemen Qeiza. Dia membunyikan bel. Berdiri di depan pintu apartemen Qeiza dengan sabar. “Xander?” Qeiza menyusuri koridor dengan sapuan matanya. “Aku datang sendiri kok
Teman tak selamanya melindungimu. Adakalanya, justru merekalah yang menusukmu dari belakang. *** Qeiza sedang membersihkan wajahnya dari sisa-sisa make up. Ponselnya sedari tadi berbunyi. Dia mengabaikannya. Malas beranjak dari depan cermin, hanya untuk kembali lagi. “Siapa sih?” Qeiza bersungut-sungut. Gawainya terus bernyanyi. Terpaksa dia bangun juga. Qeiza melirik jam dinding. Sudah hampir tengah malam. Ingatannya langsung melayang pada Abbas. “Mau pinjam uang lagi?” batin Qeiza. Meraih ponselnya dengan enggan. Keningnya mengerut. Ternyata bukan nama Abbas yang muncul pada layar ponselnya. Qeiza menurunkan tangannya. Tulangnya seketika tak bertenaga. “Apa lagi sekarang?” Qeiza benar-benar frustrasi menghadapi sikap Ansel. Lelaki itu tak kenal kata menyerah dalam kamus hidupnya. Kesal lantaran ritual keperempuanannya terganggu, Qeiza melempar ponselnya ke atas kasur. Tentunya dia telah mematikan nada dering. Biar saja Ansel terus memanggilnya. Nanti dia juga akan bosan bila
“Aku merasa seperti tak mengenali kalian lagi.” Adnan terkekeh mendengar keluhan Qeiza. Kendaraannya melaju kencang. Semakin jauh meninggalkan kantor Qeiza. Qeiza terduduk tegap. Dia melihat ke luar jendela. “Lo, bukannya ini salah jalan ya?” tanyanya. Seingatnya, Vany pernah memberitahu alamatnya. Itu bukan jalan yang kini Adnan tempuh. “Enggak kok. Jalannya sudah benar,” timpal Adnan. “Vany sedang menginap di rumah kerabatnya.” Kelebat resah membayang di mata Adnan. Cepat-cepat dia mengalihkan pandangannya dari kaca spion ke jalan. Khawatir akan beradu tatap dengan Qeiza. Untungnya, Qeiza tak lagi banyak bertanya. Hanya diam. Membuang pandang pada bangunan dan pepohonan di tepi jalan yang terlihat seperti sedang berlari mengejar mereka. Adnan bernapas lega. Dia tidak terlalu pandai berbohong. Jika Qeiza terus mengorek informasi darinya, bisa jadi dia akan kelepasan bicara. Qeiza kembali duduk tegap. Suara mesin mobil Adnan terdengar kasar. Jalannya pun mulai tersendat-sendat.
Laki-laki dan perempuan tidak akan pernah benar-benar bisa menjadi teman dekat hingga dewasa. Kalaupun ada, mungkin hanya satu dari seribu. *** Qeiza terjaga. Dia membuka mata, tetapi tak bisa melihat apa-apa. Dia mendapati dirinya berada dalam sebuah ruangan gelap. Terbaring di atas lantai dengan kedua tangan dan kaki terikat. Qeiza mencoba duduk. Kepalanya terasa pusing. Dia menggeleng. Berusaha mengusir sisa-sisa obat bius yang masih memengaruhi kinerja otaknya. “Di mana ini?” Qeiza membatin. Dia berdiri di atas lutut. Ruangan tersebut terasa pengap dan lembab. Seperti sudah lama tidak terpakai. “Apa ini gudang tua?” Qeiza mempertajam penglihatannya. Berharap bisa mengenali benda-benda yang mungkin ada di ruangan tersebut. Beruntung cahaya bulan merembes masuk dari bagian atas dinding sebelah kanannya. Bergegas dia melempar pandang sekeliling. Sebelum pendar bulan itu kembali menghilang di balik awan. Qeiza menyadari dirinya saat ini berada di ruang bawah tanah. Pantas saja