Tara menatap ke bawah, meratap pada pupus pohon tapak kepyar di sana. Dari lantai tiga, gadis itu bisa melihat jalan raya di mana hiruk-pikuk jalan Ibukota tersaji. Ia mengembuskan napas panjang, segalanya terasa sangat pelik saat ini.
Papa tahu kalau ia menggunakan obat-obatan untuk menunjang hidupnya yang tentu saja terkadang terasa sangat pekat dan sakit, tersekat masa lalu yang mencekat.
Lalu masih, dia harus menerima kenyataan bahwa dia dan Juna memang tak seharusnya bersama. Ada banyak hal dan bukti kuat yang membuat Tara menyimpulkan; pertama, Nabastawala adalah marga mendiang mamanya, Nabastawala adalah marga Juna.
Kedua, Tara menemukan foto mama di rumah Keluarga Nabastawala kemudian Tara melihat wajah yang sama dalam foto ber-pigura di gudang belakang.
Tiga, semuanya semakin jelas saat Tara mengingat cerita bahwa papa dan mama menikah tanpa restu dari pihak keluarga
Sudah dua hari, Teressa tidak pulang. Taharja tentu harus khawatir, sebagai seorang suami dia tak mau ada apa-apa dengan istrinya. Bertanya pada teman-teman si wanita pun sudah dilakoninya, namun tak hendak laki-laki mendapat pencerahan tentang keberadaan Sang hawa.Taharja menatap khawatir pada telepon rumahnya. Barusan ia selesai bertelepon dengan seorang kawannya yang juga kawan Teressa, namun tak tahu juga jawaban yang diberikan kawan itu."Papa," seorang gadis kecil berada di belakangnya, menarik ujung kaos laki-laki itu dengan kuat. Taharja menoleh dan mendapatkan Tara sedang menatapnya dengan mata bulat polos itu, mau tak mau, ia tersenyum. Karena sungguh, Tara sangat menggemaskan."Kenapa?""Kakak ambil boneka aku terus masukin ke watafel." Gadis itu mengadu dengan wajah sendu yang membuat ia tampak lebih menggemaskan lagi. "Marahin Kakak!" ucapnya sambil menunjuk Tirt
Tara menatap lembaran penuh tulisan kecil yang mungkin saja tak akan dapat dibaca oleh penderita rabun dekat. Di halte bus, di samping pohon oak yang mulai mengugurkan daun-daun hingga pada semilir angin yang membuat nyeri di hatinya merambat kesana-kemari, berjalan-jalan di antara danau dirinya yang membeku dan dingin.Lembaran itu membawa sakit yang terasa semakin nyata saat ia terseret ke beberapa waktu yang lalu, di sebuah ruangan yang ia ketahui namanya dengan baik yang ia kunjungi setiap merasa segalanya terasa pelik dan sakit."Tinggalkan dia secepatnya, Tara."Mulutnya kontan ternganga selebar lima sentimeter, lalu dengan tatapan skeptis gadis itu bertanya, "memangnya kenapa? Ada apa?"Dokter paruh baya yang masih saja memancarkan gurat cantik di wajahnya itu menghela sebelum akhirnya mendorong secarik kertas dengan ujung-ujung jemari lentik berhiaskan kutek bening.&nb
Benar perkataan Jaymie, tak lama setelah bus melenggang pergi berserta umpatan tertahan di dalam hati Si Supir, Jeno datang dengan motor Vespa kesayangannya. Aduh, siapa ya namanya? Tara benar-benar lupa."Hati-hati di jalan." Jay memperingati saat Jeno dan Tara mulai mengenakan helm di kepala masing-masing.Jeno bukannya terharu, malah memandang sahabat karibnya itu penuh kengerian. "Dih, udah belok lo? Ngapain lo bilang ati-ati sama gue? Amit-amit dah, kalau mau belok boleh-boleh aja, asalkan jangan suka sama gue.""Ndiasmu!" Jaymie melayangkan pukulan cukup kuat di kepala ber-helm Jeno, yang mampu membuat Sang Empu sedikit terhuyung."Gue bilang ati-ati karena lo sedang membawa bidadari cantik ini, nanti kalau dia kenapa-kenapa populasi cewek cantik di kota ini kan berkurang." Pandangan Jay beralih pada Tara, lalu mengedipkan matanya nakal yang sontak dibalas sebuah pukulan
Tara tahu, menginap di rumah Jeno adalah pilihan yang kurang tepat. Sebab ia paham, nenek Astuti tak pernah benar-benar menyukai dirinya sejak berkawan dengan Jeno dari zaman SMA.Tapi apa boleh buat. Lebih baik tidur di rumah Jeno daripada harus bersedih sendirian di rumah. Karena, di rumah dia punya Papa, Kakak dan Paman tapi dia memilih untuk memeluk diri sendiri.Di sini juga sama, Tara masih memeluk diri sendiri. Namun yang membuat berbeda adalah, Jeno selalu punya cara sendiri untuk menenangkan Tara. Jeno selalu punya cara untuk tahu, tanpa diberi tahu.Tara memang bercerita tentang kuliahnya yang akhir-akhir ini terasa semakin memusingkan. Tapi, gadis itu tak akan pernah bercerita; tentang betapa sulit tidurnya setiap malam, atau tentang bagaimana sakitnya ia harus menelan obat-obatan pahit hanya agar bisa tertidur nyenyak sampai pagi. Tentang Juna dan obsesinya. Tentang dia, yang sebenarnya lebi
Embun belum sepenuhnya menghilang dari atas dedaunan tatkala Somad (nama motor Jeno) merayap di jalan menuju rumah Keluarga Taharja.Tak ada lagi percakapan pendek yang biasa dimulai oleh laki-laki itu, sebab baginya, ada sesuatu yang sangat menyebalkan; tentang bagaimana bisa Tara selalu berhasil menyembunyikan segala lukanya sendirian berhasil membuat Jeno merasa patah semalaman."Turun," titah Jeno tegas seraya melepas helm di kepalanya.Tara bergeming. Sejak sarapan tadi, rasa bersalah memenuhi dirinya. Namun daripada itu, Tara lebih takut kalau apa yang ia duga benar-benar Jeno lakukan hari ini."Jen, lo abis ini pergi 'kan?" Gadis itu bertanya memastikan sembari tetap duduk di atas jok motor Jeno."Pergi ke mana?!" Jeno bertanya sengak. Hanya dengan begitu saja, Tara segera turun dari motor Jeno.Jangan kira Jeno laki
Setiap hari Juna datang ke kediaman Keluarga Taharja, namun setiap hari pula, kedatangannya tidak diterima dengan layak. Sekalipun Taharja, Sang Kepala Keluarga memperlakukan ia seperti manusia pada umunya, hal itu tidak berlaku bagi Tirta dan Karen. Apa lagi Tara.Kau tahu? Juna rasanya sudah hampir gila. Bahkan ia mulai meminum obat tidur agar setidaknya bisa terlelap kala malam menjemput. Dia lupa mengonsumsi karbohidrat dan lebih memilih caramel macchiato-nya sebagai ganjal perut pagi, siang maupun malam.Laki-laki itu selalu bertanya, namun tak ada siapa-siapa yang memiliki jawaban atas pertanyaan itu. Juna yakin, satu-satunya orang yang dapat memberikan ia jawaban hanyalah Tara. Tapi gadi itu ... seolah-olah pergi dan menghilang begitu saja.Kabar gembira datang di kala sore mulai menjemput. Merah muda kelabu tertata di atas biru yang mulai ungu. Nabastala berganti warna dari kelabu menjadi jingga
"Teressa adalah mama saya." Gadis itu menatap tajam. Wajahnya yang awalnya terkesan polos dan naif tiba-tiba berubah jadi agak tidak menyenangkan untuk dipandang. Setidaknya bagi Tiffany.Namun, wanita itu tak mengatakan apa-apa. Suara tepuk tangan terdengar agak keras hingga pengunjung lain berusaha mencuri-curi pandang ke arah mereka. Tiffany bertepuk tiga kali."Marvelous." katanya sambil tersenyum lebar. Tapi benar, Tara bisa menemukan sesuatu yang berbeda dari sinar matanya. Seperti sinar campur aduk antara benci, cinta, cemooh dan rindu. Seperti tatapan seorang ibu yang mengutuk anaknya secara terpaksa."Saya nggak menyangka dunia memang selebar daun kelor. Sebab saya terlalu sering berkeliling dunia, dan nyatanya dunia itu lebar. Tapi begitu saya menyadari bertemu 'cucu saya' di sini, dunia tiba-tiba menyempit." Tiffany terbahak. Dengan gaya sosialita kelas atas, wanita itu mengusap
"Nyonya, ada tamu," kata seorang pelayan.Tiffany menoleh sebentar. "Oh ya? Siapa namanya?""Nona Satara."Lalu setelah mendengar hal itu, Tiffany segera beranjak diri dari bathtub. Wanita itu meraih handuknya dan memakai benda itu secara gusar."Siapkan teh chamomile dan cemilan kecil," titahnya. "Saya mau ganti baju dulu.""Baik.""Jadi, apa lagi tujuan kamu menemui saya?" Tiffany datang dengan pakaian santai yang namun, terlihat masih mahal. "Nggak ada janjian lagi. Kamu tahu, itu nggak sopan namanya.""M-maaf." gumam gadis itu sambil menatap teh yang disediakan oleh para pelayan mulai mendingin."Kalau ngobrol, tatap lawan bicaramu." Tiffany berkata tegas.Mata Tara berlarian, lalu pelan menatap wanita itu. "Maaf." Maaf lagi katanya.