Deru bising motor sport hitam yang dikendarai seorang gadis berseragam SMA terdengar nyaring memekik telinga.Suasana jalan di ibukota yang padat merayap tak menghentikan aksi si gadis untuk melajukan kendaraan roda duanya dengan kecepatan di atas rata-rata.Kendaraan itu meliuk-liuk tajam di antara padatnya kendaraan di jalan, bahkan tanpa dia memperdulikan suara klakson dan caci maki orang.Hari ini, Sitta datang pagi-pagi ke sekolahnya untuk mengambil Surat Keterangan Lulus agar bisa mendaftar ke perguruan tinggi.Setelah kejadian dirinya mengerjai Kahfi seminggu yang lalu, sampai detik ini, Sitta dan Kahfi memang tak saling berhubungan apalagi bertemu.Sitta lebih sering menghabiskan waktunya di rumah dengan menyendiri di kamarnya untuk kemudian bermain game di komputer, atau sekadar berbalas chat dengan Bulan.Saat ini, Sitta baru saja sampai di lapangan parkir sekolah dan hendak melepas helm full face nya ketika sebuah motor sport lain muncul di sisi kendaraannya. Mengesah berat
Usai pengambilan SKL di sekolah, Sitta yang kini sedang dalam masa perpindahan status dari pelajar ke mahasiswa, sama sekali tak memiliki kegiatan yang berarti kecuali dia mengurung diri di kamar seharian.Mau pergi ke basecamp genk motornya pun pagi-pagi begini pasti sepi. Lagian, Sitta memang malas kumpul-kumpul lagi dengan mereka karena tak mau lagi berurusan dengan Arka, awalnya begitu.Namun kini, setelah Sitta mengetahui kebusukan Dinda di belakang Arka, Sitta tak mau tinggal diam dan membiarkan Arka dipermainkan oleh Dinda.Hingga akhirnya, Sitta yang saat itu sedang gabut sendirian, melihat kendaraan Arka yang baru saja melintas di hadapannya dan membawa Dinda di boncengan pun, reflek menguntit kemana kedua sejoli itu pergi.Jarak keduanya cukup dekat kala itu, tapi Arka malah pergi begitu saja tanpa menoleh apalagi menyapa Sitta yang masih asik melamun di parkiran. Dan Sitta, memaklumi hal itu. Pastinya Arka tersinggung dengan apa yang sudah dia ucapkan pada lelaki itu di tam
"Oh, jadi bener ini yang namanya Kevan?" Ucap Sitta memotong kalimat Kahfi dan dengan cepat lalu mengulurkan tangan ke arah Kevan, "kenalin, saya Sitta, calon istri Kahfi," tambah gadis berhijab syari itu lagi."Oh, saya Kevan," balas Kevan dengan senyum sumringahnya.Suasana di meja tersebut seketika berubah menjadi sangat canggung.Kahfi yang merasa malu atas pengakuan Sitta.Fahri yang jadi senyam-senyum sendiri karena merasa lucu dengan tingkah polos wanita bernama Sitta itu.Sementara Dinda dengan tatapan penuh ketidaksukaannya terhadap sikap Sitta pada Kevan yang dianggapnya SKSD."Kamu kenal dia, Beb?" Tanya Dinda setengah berbisik, meski ucapannya itu tetap saja di dengar oleh yang lain, termasuk Sitta sendiri."Kamu kan liat, aku baru berkenalan tadi sama Sitta, ya berarti kita belum saling kenal sebelumnya," jawab Kevan menjelaskan, yang disusul kembali dengan suara Sitta di sana."Saya sama Dinda kan satu sekolah, Kev. Di sekolah itu Dinda jadi rebutan banyak lelaki tau. Sa
Entah nasib sial apa yang sedang mengikuti Kahfi kali ini.Setelah dirinya berhasil membawa Sitta ke dalam mobil pribadinya di basement untuk kemudian meledakkan amarahnya di sana, namun tak juga dia lakukan saat Sitta yang duduk di sisinya malah menangis tersedu-sedu.Mirip seperti anak kecil yang tak diberi jajan.Dan menjadi kelemahan paling besar bagi Kahfi saat dirinya harus berhadapan dengan wanita yang sedang menangis. Hingga akhirnya, amarah yang tadinya sudah mencapai ubun-ubun pun sirna dalam sekejap mata.Pada akhirnya, Kahfi hanya bisa terdiam di bangku kemudi sambil sesekali menoleh ke arah Sitta yang terus sesenggukan.Tak tahan mendengar suara Sitta yang terus menarik ingusnya di dalam hidung, Kahfi pun menyodorkan tempat tissue pada Sitta yang langsung mengambil isinya untuk kemudian mengeluarkan len*dir yang menumpuk di hidungnya.Melempar asal tissue kotornya ke bawah mobil, membuat amarah Kahfi yang tadinya mereda kembali naik."Ini ada tempat sampah, buang yang ben
"Gimana rencana lo Bar, jadi nggak? Sitta ama Arka udah nggak pernah lagi keliatan gabung di genk kita. Denger kabar sih mereka berantem ya?" Ucap seorang lelaki bertubuh jangkung yang duduk di atas motor.Seorang lelaki lain yang bernama Bari, yang duduk tak jauh dari lelaki jangkung tadi menyesap rokok di tangannya. Kepulan asap berpolusi itu menguar ke area sekitar begitu si lelaki berbicara. "Gue nggak yakin sih Arka bener-bener ninggalin Sitta gitu aja kalo dia nggak punya mata-mata di sini, buktinya waktu di gunung sewaktu Doni mau ngerjain Sitta, gagal, kan?""Iya sih, bener juga. Tapi kira-kira siapa ya mata-matanya Arka di genk kita?" Sambung lelaki jangkung itu lagi."Gue sih curiga, Bang Keling sendiri yang jadi mata-mata Arka," balas Bari seraya melempar puntung rokok di tangannya ke tanah dan menginjaknya."Iya, bener Lang, pasti Arka udah bayar mahal ke Bang Keling buat jagain Sitta, secara Arka itu care banget sama Sitta, kan?" Sahut anggota lain membenarkan perkataan G
Suara derum motor saling bersahut-sahutan.Asap mengepul dari knalpot dua motor peserta balapan liar malam ini.Axen dari Genk Bang Keling, sementara Rayyen dari Genk Andalas.Sebuah kerlingan pengingat apa yang harus Axen lakukan dalam balapan motor kali ini terlihat dari kedua bola mata Bari. Axen pun mengerti. Lelaki itu mulai menutup helm full facenya."Semangat Axen! Lo pasti bisa!" Teriak Andi menyemangati."Gue sih nggak yakin kita bakal menang! Genk Andalas tarik anggota baru yang sebelumnya anggota Genk Mars, kalian taukan Genk Mars?" Ucap Dion saat itu.Siapa yang tidak mengenal Genk Mars, mengingat kemampuan yang dimiliki pemimpin Genk Motor Mars sejauh ini tak ada yang mampu menandingi, jadilah taruhan tertinggi malam itu di pasang untuk memilih genk Andalas sebagai pemenang. Dan lagi, balapan pinggiran ini, hanya balapan kelas teri bagi Genk Mars yang telah berkecimpung di dunia balap liar dalam tingkatan kelas yang lebih tinggi.Jadilah sebuah pertanyaan besar saat anggo
Entah sudah berapa puluh kali Sitta mencoba untuk menghubungi Arka, namun teleponnya tak juga diangkat, bahkan puluhan pesan yang dia kirim pun tak juga dibalas oleh Arka.Bolak-balik di dalam kamar seperti setrikaan rusak, Sitta akhirnya menyerah juga.Huft, Arka lagi ngapain sih? Kenapa dia nggak mau angkat telepon gue?Apa jangan-jangan dia lagi sama Dinda sekarang?Umpat Sitta kesal dalam hati.Berdiri berkacak pinggang menghadap jendela kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap ke arah jalanan, Sitta terus berpikir, apakah Arka marah padanya akibat ucapannya di sekolah pagi ini?Itulah sebabnya, Arka jadi tak mau mengangkat telepon dan membalas pesan yang dia kirim?Kembali mengingat-ingat kejadian pagi ini di taman belakang sekolah, Sitta pun sadar bahwa apa yang sudah dia katakan pada Arka hari ini memang keterlaluan.Jadi, wajar saja jika sekarang Arka marah padanya.Menoleh kembali layar ponselnya, sekelebat ingatan tentang percakapannya dengan Kahfi barusan di telepon,
"Kata Ranti, kamu diterima di Universitas Negeri ya Sitta? Ih hebat," puji Laras saat dirinya, Wisnu dan juga Sitta sudah berkumpul di ruang keluarga. Menikmati teh manis hangat dan pisang goreng buatan si Mbok."Iya Tante," jawab Sitta dengan gayanya yang dibuat-buat lugu, ayu dan feminin."Kalau boleh tau, kamu ambil jurusan apa?" sambung Wisnu kemudian."Tekhnik informatika, Om," jawab Sitta lagi.Laras dan Wisnu saling pandang penuh kekaguman."Wah, itu jurusan tekhnik paling sulit kan? Kalau bisa masuk berarti otak kamu memang encer ya, Sit?" puji Wisnu setelahnya."Memang cita-cita mau jadi apa Sitta? Nggak pusing pilih jurusan itu?" Tambah Laras."Niatnya mau jadi programmer, Tante, tapi ya dijalani aja dulu, yang penting kan Sitta nya suka dan nyaman dulu.""Iya, ya. Betul itu," jawab Laras dan Wisnu berbarengan sambil menganggukkan kepala.Mereka kembali menawarkan hidangan di meja pada Sitta ketika di waktu yang bersamaan, Kahfi turun setelah mengganti celana pendeknya denga