“Kalau rumah di kampung dijual terus ibu mau tinggal di mana, Jimy? Tega kamu bikin ibu jadi gelandangan, hiks.”
Lagi-lagi ibu terisak, bahkan sekarang terdengar sangat memilukan. Ia memang paling pandai menarik simpati orang lain. Mungkin saja sekarang baik Hamzah maupun polisi menjadi kasihan.
“Mereka yang minta ibu buat jual angkot, Jim. Ibu juga tadinya mah enggak mau.”
“Ibu ‘kan orang tua, bukan anak kecil. Mereka juga anak-anak ibu. Ibu harusnya bisa nolak, kalau butuh uang kenapa enggak jual emas atau rumah aja sekalian? Kenapa malah jual barang-barang punya aku?”
Entahlah aku bahkan tidak bisa mempercayainya lagi. Tak peduli dia berkata jujur atau tidak aku akan tetap meminta ganti rugi apa-apa yang telah mereka ambil. Setidaknya meski mereka juga tak akan menggantinya secara utuh, minimal ini akan jadi teguran keras agar ke depannya mereka tidak sembarangan merampas hak orang lain. Apa lagi hanya kar
“Ibu nggak perlu sungkan apalagi merasa malu. Aku juga udah tahu kok, bagaimana perlakuan ibu sama anak-anakku. Ayolah, enggak usah melarikan diri lagi. Banyak barang yang aku harus bawa, sebelum kita pulang ke Sukabumi."Saat itu aku menarik pergelangan tangan ibu, demi bisa menahannya agar ia tidak melarikan diri. Namun, sekali lagi ibu malah menangis. Membuat kami jadi pusat perhatian para pengguna jalan yang saat itu melintas. Bukan ibu namanya, jika tidak mencari perhatian.Entah perasaanku saja atau memang benar, semakin ke sini ibu selalu saja ingin jadi pusat perhatian semua orang. Ia tidak suka jika ada orang lain yang jadi pusat perhatian. Termasuk jika aku lebih memperhatikan Lara daripada dirinya."Ibu mau pulang pakai apa emangnya, kalau nggak sama aku? Bukannya Ibu juga nggak punya uang?"Setahuku berdasarkan keterangan ibu di kantor polisi, Tia dan Ari turut mengambil dompet yang berisi kartu debit milik ibu. Di mana di dalamnya saldo
Tanpa pikir panjang aku langsung melakukan pertolongan pertama padanya. Untung saja ibu cepat sadar, hanya dengan mendekatkan minyak angin ke hidungnya. Namun, ia juga masih diam saja begitu mendapatkan kesadarannya kembali.Seperti orang yang linglung, ibu hanya menatap kosong ke arah dinding rumah kami.“Kita ke dokter ya? Ibu minum dulu aja, ini aku udah bikin teh manis.”“Ibu mau puasa Jim, hiks.”“Sudah, enggak perlu diteruskan. Orang udah pingsan, enggak apa-apa buka aja. Jangan menyiksa diri, ibu mungkin kaget, karena baru puasa lagi.”“Ibu bilang ibu mau puasa. Kenapa kamu malah maksa ibu buat buka?”“Ya, karena emang ibu enggak kuat. Kalau, kuat mah ngapain Jimy nyuruh ibu batal, padahal nanggung udah sore. Hayu diminum aja. Habis ini kita ke dokter. Periksain takut ibu kenapa-kenapa?”“Kenapa kamu masih perhatian sama ibu? Kenapa kamu ajak ibu ke dokter? Engga
Bukannya aku tak mendengar. Hanya saja ini sedikit tidak masuk akal. Bukankah dulu ibu ikut bersekongkol dengan mereka. Lantas, atas dasar apa dia tiba-tiba membongkar tempat persembunyian mereka. Meski, aku sedikit tenang, karena pada akhirnya Tia dan Ari telah ditemukan. Namun, tetap saja aku masih sedikit kesal, karena itu artinya selama ini ibu tahu keberadaan mereka, tetapi memilih untuk diam saja.Aku yang saat itu sudah bersiap untuk pulang, lantas dikejutkan dengan keberadaan ibu yang kini berada tepat di depan ambang pintu kamar.“Cuma itu yang bisa ibu lakuin. Ibu udah enggak tahu lagi bagaimana cara minta maaf sama kamu.”Saat itu aku juga tidak tahu harus berkata apa. Kenyataannya bukan hanya aku yang tersakiti.“Ibu sebenarnya sengaja ya menyembunyikan semua ini dari aku?”“Enggak Jim, ibu sebenarnya baru dikabarin waktu di bis. Ibu kaget dengar Ari yang bilang kalau dia dipukuli sama Kang Yana.&rdqu
“Jelas-jelas kamu masih cinta, kenapa malah pisah sih? Percaya sama aku Ra, hubungan kalian itu masih bisa diperbaiki. Cuma kurang komunikasi aja sebenarnya.”“Aku udah pernah melakukan berbagai cara, supaya Akang ngerti, tapi kenyataannya mau berapa kali pun Akang janji buat memperbaiki diri ujungnya dia akan tetap luluh sama permintaan ibu. Udahlah, emang udah saatnya aku pergi. Lagian kamu tahu sendiri, cinta aja enggak akan cukup buat mempertahankan rumah tangga, bukan?"“Sekarang, aku tanya kalau tiba-tiba suami kamu nikah sama perempuan lain bagaimana? Emangnya kamu udah siap nerima hal itu? ‘Kan bisa aja Ra, namanya laki-laki itu langkahnya panjang. Siapa tahu pisah dari kamu langsung nyari perempuan lain.”“Terserah Akang. Bukannya itu bagus. Setidaknya Akang akan sibuk sama keluarga barunya, enggak akan mikirin anak-anak lagi. Aku jadi bisa bawa mereka pergi jauh.”“Pergi ke mana?”
“Kita pulang pakai mobil ya, nanti biarin motor Musa yang ambil sama temannya.”“Iya.”Aku memang tidak punya kendaraan roda empat, jadi kami menggunakan taxy online untuk mengantar kami pulang.“Aku mau ketemu sama bayi kita dulu.”“Boleh, kita belum kasih nama loh. Mau kamu kasih nama siapa?”“Hafsah.”“Udah itu aja.”“Terserah Akang mau tambahin apa.”“Hm, Hafsah Mahira?”“Bagus.”“Kalau boleh tahu arti Hafsah itu apa?”“Adil.”“Kamu nyindir Akang.”“Enggak.”Sudah jelas sekali dia menyindirku lewat nama. Ah, wanita memang suka sekali mengungkapkan kemarahannya lewat teka-teki. Kaum kami dipaksa mengerti, hanya dengan kode-kode yang membingungkan.Untung saja Lara diperbolehkan untuk menggendong Hafsah, padah
Saat itu kami berusaha untuk mengetuk pintu sambil setengah berteriak, karena memang Lara tak kunjung membuka, meski kami sudah berada di depan kamarnya sejak 10 menit yang lalu. Rasanya mustahil jika dia tidak mendengar suara kami yang begitu keras. Bukan apa-apa, Lara menguncinya dari dalam. Kami jadi kesulitan untuk masuk. Ditambah lagi Musa juga tak kunjung menemukan kunci cadangannya.“Yah, kayaknya Bunda sengaja deh ambil kunci cadangannya. Biasanya juga disatuin di sini.”“Aduh. Dobrak aja atuh!”“Hayu! Hitungan ketiga maju ya!”“Oke.”“123.”Brak!Sayangnya mendobrak pintu memang tak semudah yang aku bayangkan. Bahkan butuh 7 kali percobaan, baru pintu itu terbuka. Saat itu pintu itu bakal sudah jatuh ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras, tetapi hal itu tak kunjung membangunkan Lara dari tidurnya.“Ra, bangun! Sayang! Hey!”
“Jadi, beban kamu itu aku?”“Aku cuma enggak tahu lagi bagaimana caranya lepas dari kamu. Jadi, aku pikir dengan begini, mungkin satu-satunya solusi.”“Kamu tahu enggak, ada banyak banget orang yang sudah meninggal, memohon untuk dihidupkan kembali. Hanya karena ingin memperbaiki kesalahannya semasa dia hidup di dunia. Lalu, kenapa bisa-bisanya, kamu malah ingin mendahului garis takdir yang sudah ditetapkan? Aku yakin pemahaman agamamu jauh lebih baik dariku. Memangnya ada jaminan kalau udah meninggal, kamu bisa mendapatkan apa yang kamu cari selama ini?”Jelas-jelas ia tahu bagaimana hukumnya orang yang melakukan bunuh diri menurut islam, tetapi masih saja ia bertekat untuk mengulang perbuatan ini.“Dunia ini aja udah kayak neraka buat aku, Kang. Jadi, apa bedanya. Aku udah capek terus pura-pura baik-baik aja di depan anak-anak. Padahal, kenyataannya rumah tangga ini bahkan sudah tidak sehat sejak lama. Andai saj
“Ibu, kok ke sini enggak bilang-bilang?”“Iya, Jim. Ibu dapat informasi katanya Tia dan Ari sudah akan dibawa ke Bogor.”“Dari siapa?”“Kepolisian yang kasih kabar ke ibu.”“Iya, tapi aku akan menemui mereka nanti agak sorean aja.”“Kenapa, enggak sekarang? Bukannya mereka juga sudah sampai.”“Duduk aja dulu, Bu! Baru sampai ‘kan?” ucap Lara.Ah, ternyata dia juga sama gemasnya denganku. Bagaimana tidak ia jauh-jauh datang dari Sukabumi ke Bogor, hanya untuk anak-anak kesayangannya. Ia bahkan datang ke rumahku, tanpa bertanya bagaimana keadaanku. Setidaknya, meski hanya sekedar basa-basi itu sudah cukup membuatku merasa dianggap ada.Sepertinya, aku memang harus sadar posisi, karena selamanya di mata ibu aku tak ubahnya seperti ATM berjalan. Di mana ia hanya akan menghubungi, jika butuh uang.“Lara, kamu….”