“Kita pulang pakai mobil ya, nanti biarin motor Musa yang ambil sama temannya.”
“Iya.”
Aku memang tidak punya kendaraan roda empat, jadi kami menggunakan taxy online untuk mengantar kami pulang.
“Aku mau ketemu sama bayi kita dulu.”
“Boleh, kita belum kasih nama loh. Mau kamu kasih nama siapa?”
“Hafsah.”
“Udah itu aja.”
“Terserah Akang mau tambahin apa.”
“Hm, Hafsah Mahira?”
“Bagus.”
“Kalau boleh tahu arti Hafsah itu apa?”
“Adil.”
“Kamu nyindir Akang.”
“Enggak.”
Sudah jelas sekali dia menyindirku lewat nama. Ah, wanita memang suka sekali mengungkapkan kemarahannya lewat teka-teki. Kaum kami dipaksa mengerti, hanya dengan kode-kode yang membingungkan.
Untung saja Lara diperbolehkan untuk menggendong Hafsah, padah
Saat itu kami berusaha untuk mengetuk pintu sambil setengah berteriak, karena memang Lara tak kunjung membuka, meski kami sudah berada di depan kamarnya sejak 10 menit yang lalu. Rasanya mustahil jika dia tidak mendengar suara kami yang begitu keras. Bukan apa-apa, Lara menguncinya dari dalam. Kami jadi kesulitan untuk masuk. Ditambah lagi Musa juga tak kunjung menemukan kunci cadangannya.“Yah, kayaknya Bunda sengaja deh ambil kunci cadangannya. Biasanya juga disatuin di sini.”“Aduh. Dobrak aja atuh!”“Hayu! Hitungan ketiga maju ya!”“Oke.”“123.”Brak!Sayangnya mendobrak pintu memang tak semudah yang aku bayangkan. Bahkan butuh 7 kali percobaan, baru pintu itu terbuka. Saat itu pintu itu bakal sudah jatuh ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras, tetapi hal itu tak kunjung membangunkan Lara dari tidurnya.“Ra, bangun! Sayang! Hey!”
“Jadi, beban kamu itu aku?”“Aku cuma enggak tahu lagi bagaimana caranya lepas dari kamu. Jadi, aku pikir dengan begini, mungkin satu-satunya solusi.”“Kamu tahu enggak, ada banyak banget orang yang sudah meninggal, memohon untuk dihidupkan kembali. Hanya karena ingin memperbaiki kesalahannya semasa dia hidup di dunia. Lalu, kenapa bisa-bisanya, kamu malah ingin mendahului garis takdir yang sudah ditetapkan? Aku yakin pemahaman agamamu jauh lebih baik dariku. Memangnya ada jaminan kalau udah meninggal, kamu bisa mendapatkan apa yang kamu cari selama ini?”Jelas-jelas ia tahu bagaimana hukumnya orang yang melakukan bunuh diri menurut islam, tetapi masih saja ia bertekat untuk mengulang perbuatan ini.“Dunia ini aja udah kayak neraka buat aku, Kang. Jadi, apa bedanya. Aku udah capek terus pura-pura baik-baik aja di depan anak-anak. Padahal, kenyataannya rumah tangga ini bahkan sudah tidak sehat sejak lama. Andai saj
“Ibu, kok ke sini enggak bilang-bilang?”“Iya, Jim. Ibu dapat informasi katanya Tia dan Ari sudah akan dibawa ke Bogor.”“Dari siapa?”“Kepolisian yang kasih kabar ke ibu.”“Iya, tapi aku akan menemui mereka nanti agak sorean aja.”“Kenapa, enggak sekarang? Bukannya mereka juga sudah sampai.”“Duduk aja dulu, Bu! Baru sampai ‘kan?” ucap Lara.Ah, ternyata dia juga sama gemasnya denganku. Bagaimana tidak ia jauh-jauh datang dari Sukabumi ke Bogor, hanya untuk anak-anak kesayangannya. Ia bahkan datang ke rumahku, tanpa bertanya bagaimana keadaanku. Setidaknya, meski hanya sekedar basa-basi itu sudah cukup membuatku merasa dianggap ada.Sepertinya, aku memang harus sadar posisi, karena selamanya di mata ibu aku tak ubahnya seperti ATM berjalan. Di mana ia hanya akan menghubungi, jika butuh uang.“Lara, kamu….”
"Bunda, kenapa nenek ke sini?"Saat itu aku memilih untuk masuk ke kamar anak-anak diam-diam. Sebenarnya aku juga tidak sengaja untuk mencuri dengar pembicaraan mereka. Niatku sebenarnya hanya untuk meminta bantuan Musa agar mengantarkan Ibu ke kantor polisi. Kedatangannya kali ini bukannya membuat, senang malah membuat sakit kepala. Aku pikir Lara juga begitu.Namun, satu kemajuan bagiku melihat Lara begitu berani mengungkapkan kekesalannya. Menurut artikel yang aku baca, itu akan lebih baik untuk kestabilan emosinya. Lagi pula ibu memang keras kepala, jika tidak diutarakan dengan baik dan gamblang ia tidak akan pernah mengerti, kalau yang ia lakukannya adalah sebuah kesalahan yang fatal."Bunda aja nggak tahu, mungkin Ayah yang undang ke sini.""Ayah mah ada-ada aja, aku pikir udah berubah.""Sudahlah jangan terlalu berharap, sama yang enggak pasti! Emang dari dulu ayam begitu 'kan? Makanya, Bunda susah buat percaya lagi.""Sabar ya Bun, t
"Jadi kamu juga sama? Kekeh, enggak mau nolong ibu buat bujuk Jimmy, supaya bebasin adik-adiknya di polisi?""Sebagai sorang Istri saya hanya bisa menuruti apa yang suami saya katakan."“Tapi, keputusan suami kamu ini salah. Kamu juga sebagai istri harus bisa mengarahkan dong, Lara! Kalay begini malah jadi perpecahan keluarga. Kakak adik sudah pasti akan bermusuhan. Jangan-jangan Jimy kayak begini atas permintaan kamu, ya?”“Kenapa juga saya harus meminta Akang memenjarakan adiknya sendiri? Saya enggak pernah ikut campur masalah keluarga Akang.”“Dulu, Jimy enggak kayak begini. Sekarang-sekarang aja dia jadi berani melawan.”“Kalau aku diam aja dan malah membiarkan ketidakadilan jelas aku yang salah. Sudahlah Bu, masalah ini itu enggak ada kaitannya sama sekali sama Lara. Salah banget kalau ibu melimpahkan kesalahan sama dia. Kalau memang ibu khawatir, ayo diantar Musa. Dia udah siap tuh dari tadi?”
“Segitu enggak percayanya kamu sama Akang?”“Kalau ada niat berubah, kita aja udah hampir 20 tahun menikah, tapi ini apa? Masih begini-begini aja. Sudahlah Kang, aku juga capek debat terus. Mungkin emang sampai kapan pun kita enggak akan pernah sejalan. Biar aku yang ngalah, kalau kita pisah nanti, tenang saja aku enggak akan melarang Akang buat ketemu anak-anak. Kita masih bisa jadi orang tua buat mereka.”“Akang enggak mau cuma jadi orang tua, kalau kamu sekeras ini buat pisah. Jadi ayo bertarung, doa siapa yang lebih didengar Tuhan. Istri yang selalu minta pisah atau suami yang ingin mempertahankan pernikahan. Pernikahan itu ‘kan ibadah terlama, tolong jangan terlalu mengedepankan nafsu Lara. Enggak semua hal yang diputuskan saat emosi itu adalah benar. Bisa jadi saat emosi kita mulai mereda, disanalah kita mulai menyesali keputusan yang terlanjur dibuat.”“Enggak ada orang yang bercerai lantas bahagia, se
“Mau Akang temani ke psikiater? Kayaknya apa yang kamu rasakan udah enggak bisa dianggap sepele, Ra.”“Aku mendapatkan obat-obatan itu juga dari psikiater.”“Kenapa enggak bilang dari awal sih?”“Aku pikir bisa menangani ini sendirian.”“Hal sebesar ini kamu tutupi. Namanya menikah ‘kan harus saling terbuka. Bagaimana Akang bisa mengerti kamu, kalau kamu selalu memendam semuanya sendiri?”“Kenyataannya pernikahan kita enggak sesederhana itu. Dulu Akang juga enggak seperhatian itu, sampai mau bertanya tentang keadaanku.”“Maafin Akang, ya.”“Sayangnya kata maaf juga enggak akan menyelesaikan masalah.”“Akang sudah tawarkan kamu dulu buat pulang, kamunya enggak mau.”“Aku ini seorang ibu, enggak ada jaminan anak-anakku akan baik-baik saja di sini, kalau enggak ada bundanya.”“Kamu engga
Dasar anak manja! Timbang nyamuk saja dipermasalahkan, kalau harimau wajar dia merengek. Bukannya kasihan mendengarnya bicara seperti itu malah membuatku makin naik pitam. Bisa-bisanya anak usia 20 tahun merengek hanya, karena nyamuk yang tak seberapa. Aku yang sudah mengantuk pun sampai mendadak segar kembali karenanya.Saat itu aku memilih keluar demi menghilangkan amarahku. Siang itu aku memilih untuk ke ruangan olahraga, beberapa pukulan pada samsak yang menggantung di sana mungkin bisa meredakan emosiku yang terlanjur memuncak.Setengah jam berlalu aku mulai berkeringat. Ini masih siang, tetapi aku bahkan sangat haus karena nekat berolahraga saat puasa. Ini tidak akan benar jika diteruskan. Saat itu aku memilih menyudahi aktivitas ini. Sedang haus-hausnya, aroma sup ikan yang khas mendadak tercium, sungguh menggoda.Saat itu kebetulan sekali Lara sedang menyantap makan siangnya. Makanan yang aku pesan rupanya sudah datang. Bukannya menyantapnya di ruang mak