Sungguh aku benar-benar tak menyangka, jika Musa akan bicara selantang itu. Hanya, karena ia bisa menghasilkan uang lima ratus ribu rupiah saja, seolah-olah ia sudah mencukupi semua kehidupan hidup. Memang benar selama ini, aku yang mengatur keuangan rumah tangga. Bukan tanpa alasan aku melakukannya, aku hanya berkaca pada saudara-saudaraku di kampung yang mana keuangannya di pegang istri. Kebanyakan mereka sampai hari ini hidupnya hanya begitu-begitu saja. Tak banyak perubahan.
Bahkan, banyak teman-temanku yang belum memiliki rumah, padahal usia pernikahan mereka sudah berjalan 20 tahun. Namun, lihatlah aku sekarang, mobil angkutan umum ada 3 tanah ada rumah juga ada di kota. Bisa-bisanya Musa mengatakan usahaku ini tak jadi apa-apa.
“Kamu tahu apa hah? Kamu enggak lihat tanah kita di kampung sama mobil angkot? Itu yang kamu bilang enggak jadi apa-apa?”
“Ya kalau di sini kelaparan, buat apa juga punya banyak mobil sama tanah. Da enggak ngenyangin!”
“Hidup itu enggak cuma tentang makan Musa, kamu tuh harus punya masa depan! Makan mah enak enggak enak ujung-ujungnya dibuang. Mending juga mikirin investasi. Coba kamu pikir harga tanah setiap tahunnya bakal naik terus! Dibandingkan makanan, dimakan ya ujungnya jadi kotoran juga!”
Aku bisa melihat tangan Musa mengepal. Jelas ia marah, tetapi masih ditahan, apa lagi saat itu suara anak-anak melantunkan salawat di musala sudah terdengar, karena jarak musala dan rumah yang dekat. Bicara di saat seperti ini hanya sia-sia belaka. Suara kami akan kalah.
“Akang udahlah, enggak usah diterusin! Mau maghrib, malah ribut,” ucap Lara yang mencoba menengahi.
“Ada Arfan juga loh, enggak enak dia jadi takut dengar aa sama ayahnya berantem,” tambahnya.
“Ajarin anak kamu, Lara! Udah pinter melawan sekarang, ya! Makanya jangan kamu ajarin masak terus biar dia enggak lupa kalau dia laki-laki.”
“Kalau bukan aku yang bantuin emang siapa lagi? Orang Bunda juga enggak punya anak perempuan.”
Entah kenapa aku kesal sekali dengan anak ini, kalau saja tidak ada Arfan yang saat itu tengah mengintip di balik minibar dapur kami. Aku sudah ingin sekali menamparnya. Suatu hari kamu juga akan merasakan kok, saat berumah tangga. Masa ia, kita yang bekerja keras, harus memberikan semua hasilnya pada pasangan. Sungguh tidak adil.
Seakan tak mendengar perintahku. Musa malah melanjutkan memasak di dapur tepat saat Lara pergi ke kamar, karena Sean anak ketiga kami menangis. Umurnya 4 tahun. Saat itu ia memang sedang tertidur.
Aku hanya teringat akan Rubi temanku di kampung yang berakhir menjadi pria jadi-jadian, karena ibunya sering kali memperlakukannya selayaknya anak perempuan. Aku memang sedikit tegas, tentang hal ini. Semua karena aku menyayanginya dan tak ingin anak-anakku terjerumus pada hal-hal yang negative.
Akhirnya azan maghrib berkumandang. Walaupun makanan yang tersaji di hadapanku cukup lezat, rasanya aku mendadak kehilangan selera karena kesombongan Musa.
“Ayah enggak makan?” tanya Arfan.
“Enggak lapar!”
“Oh.”
“Gengsi ya Yah, makan dari uang Musa.”
“KAMU YA! BERANI KAMU SAMA ORANG TUA!”
“Pukul aja Yah, Musa terima kok.”
Entah kenapa anak ini jadi sangat berani padaku.
“Musa, bisa ‘kan dilanjut lain kali. Kasihan adik-adik kamu mau makan.”
“Enggak bisa Bun, Ayah itu harus disadarin. Kita mau sampai begini terus Bun, masa ia selama sebulan ini Ayah cuma biarin kami makan sama tahu tempe terus. Arfan juga lagi masa pertumbuhan, kasihan dia mana udah mau belajar puasa. Masa ia dia makan enggak ada gizinya.”
“Kamu tuh tahu apa tentang gizi? Ayah juga makan tahu tempe dari kecil enggak ada riwayat kurang gizi.”
“Ya, karena enggak bisa periksa.”
“KAMU YA!”
“Ayah lihat aja Sean di antara teman-temannya dia yang paling kecil sendiri. Aku kemarin sampai periksa ke puskesmas buat mastiin dia kurang gizi enggak dan ternyata emang bener!”
“Lara! Benar begitu?”
“Iya.”
Saat itu ketika kami sedang serius membahas topik ini, tiba-tiba saja pintu rumah kami diketuk. Lara lantas membukakan pintunya. Teryata yang datang adalah Mbak Yuni tetangga kami.
“Ini Bu, ada susu buat dede Sean. Ada ini juga camilan.”
Suara Mbak Yuni bahkan terdengar jelas sampai ke ruang makan. Aku yang penasaran lantas mendekat untuk tahu apa yang terjadi, kenapa juga dia memberikan makanan pada Lara. Sayangnya, saat aku menghampirinya wanita itu malah buru-buru pergi. Sepertinya sengaja menghindar dariku.
“Maksudnya apa? kok kamu dikasih susu sama biscuit gini? Tadi kata apanya buat Sean?”
“Iya. Mbak Yuni ‘kan kerja di puskesmas. Jadi, dia tahu.”
“Terus kamu mau-maunya terima?”
“Ya terus? Aku harus buang? Enggaklah. Orang anakku butuh kok.”
“Ya kenapa kamu enggak minta sama aku. ‘Kan kamu juga masih punya suami, ngapain juga minta belas kasihan sama tetangga.”
“Aku enggak minta belas kasihan ya Kang. Aku dikasih. Aku juga enggak tahu kalau Mbak Yuni bakal seperhatian ini.”
“Perhatian kamu bilang?”
“Iyalah, dia baru tahu anakku kurang gizi. Langsung gerak cepat, enggak pakai tanya kenapa alasannya dia kasih-kasih aja makanan sehat.”
“Kamu nyindir Akang?”
“Enggak, aku hanya menjelaskan apa yang terjadi.”
“Kembalikan makanan itu! Akang juga sanggup buat beli begituan!”
“Akang beli begini sekarang, besok Akang enggak kasih kami jatah belanja. Yang ada kami sekeluarga kelaparan. Sudahlah aku capek enggak pengen debat. Gengsi kamu enggak akan bikin kami kenyang.”
Sungguh ini benar-benar tamparan keras bagiku, bagaimana bisa Sean kami kurang gizi.
“Semua orang tahu kalau Sean kurang gizi?”
“Kenapa Akang malu? Akang lebih peduli penilaian orang-orang ya, dari pada kondisi Sean?”
“Ya, Akang peduli, ‘kan cuma nanya.”
“Satu RT juga tahu.”
“Loh, kok bisa? Emang kamu ngomongin ke mana-mana masalah begini.”
“Ya, ‘kan tiap bulan Sean ikut posyandu.”
Di tengah perdebatan kami tiba-tiba saja seseorang malah datang lagi.
“Mamah Musa! Assalamualaikum!”
“Ya Bu, waalaikumsalam. Masuk aja! gerbangnya gak dikunci!” sahut Lara.
“Siapa lagi itu? Kenapa jadi banyak tamu sekarang?” tanyaku.
Biasanya aku memang tak pernah pulang sore. Lebih sering pulang malam, karena mengambil lembur. Namun, sekalinya pulang di jam normal kenapa malah banyak sekali hal yang baru aku ketahui. Seperti kali ini Lara malah membawa sekeranjang pakaian kotor, belum lagi aroma pesing yang menyengat. Hampir muntah aku dibuatnya.
“Kamu kenapa lagi, pakaian orang dibawa-bawa?”
“Mau dicuci?”
“Kenapa kamu yang nyuci, emangnya kamu tukang cuci?”
“Iya.”
“Ya Tuhan, Lara!”
Saat itu tiba-tiba saja Musa menarik keranjang dari tangan Lara.
“Aku yang cuci aja, Bunda makan aja! Dari tadi aku perhatiin kayaknya Bunda belum makan sama sekali.”
Musa dengan tanpa beban sedikit pun berjalan dengan membawa setumpuk cucian kotor beraroma busuk itu.
“Kenapa sih? Bisa-bisanya kamu nerima cucian orang enggak izin dulu? Harga diriku mau ditaruh di mana?”
“Harga diri laki-laki itu menafkahi perempuan! Andai aja Akang bisa menuhin itu aku enggak akan melakukan pekerjaan yang Akang anggap hina ini.”
“Ya kamu mau-maunya bersihin kotoran orang.”
“Aku lebih baik bersihin kotoran apa dari pada harus meminta uang sama Akang. Bukannya dapat malah dikatain boros. Jadi tukang cuci juga halal kok, setidaknya anakku enggak akan kekurangan gizi lagi.”
“Sean anak Akang juga!”
“Kalau aja Akang adil, aku juga enggak mau Kang. Capek, ngurus anak 3 aja udah kewalahan. Belum lagi bayi diperut aku! Aku harus bagaimana sih jadi istri, kalau aku enggak kayak gini! Emangnya Akang mau lihat anak-anak kita mati kelaparan?”
“Ya enggak akan kelaparan kalau kamu pinter ngurusnya.”“Ngurus anak juga butuh uang Akang, yang selama ini belanja buat kebutuhan makan siapa?”Lara malah menatapku dengan pandangan kesal. Memang aku, hanya saja aku masih tak percaya dengan pernyataan petugas puskesmas tentang anakku yang kurang gizi. Kala itu Lara malah meninggalkanku begitu saja. Dia malah sibuk dengan cucian tetangga yang teramat busuk.“Kamu kok malah nyuci. Orang anak lagi gini?”“Ya, kalau aku enggak nyuci, memangnya mau dapat uang dari mana? Suami?”“Aku kasih uang.”“Berapa 10 ribu atau 100 ribu sebulan? Mending enggaknya sekalian. Dari pada ngasih, tapi jadi pembahasan di mana-mana. Aku enggak perlu, simpan aja uang Akang sendiri.”Deg.“Ya, mau 10 atau 100 ribu juga uang, kenapa kamu enggak mau nerima? Hanya karena kamu udah bisa menghasilkan sendiri jadi begini?”“Kalau aja Akang ngasihnya ikhlas, ya terima-terima aja. Istri mana yang enggak mau dikasih uang.”“Ya kamu bilang butuhnya berapa?”“Udahlah Aka
Entah kenapa harga diriku seperti diinjak-injak. Baik sebagai laki-laki maupun seorang ayah.“Kalau masih mau marah sama Bunda, mending tahan dulu deh. Jangan rusak momen bahagia adik-adik yang jarang makan enak!”Musa tampak begitu santai mengatakan hal itu. Memang nada bicaranya juga tidak kasar, hanya saja entah kenapa terasa begitu menusuk ke hati. Ia seperti menaruh banyak kebencian dalam setiap ucapannya. Aku hanya memikirkan masa depan mereka. Apa lagi saat anak-anak sudah menikah dan memiliki keluarga masing-masing. Kalau tidak dipersiapkan dengan matang sejak sekarang, bagaimana nanti kita akan melewati masa tua.1001 anak yang mau mengurus anaknya saat sudah sepuh. Namun, bukan berarti aku tidak peduli dengan mereka.“Ayah itu begini juga buat kalian?”“Apanya yang buat kami? Buat keluarga ayah doang kok.”“Ya, ‘kan Ayah juga harus mikirin sekolah adik-adik kamu. Biaya lahirran Bunda juga, terus kuliah kamu. Itu butuh biaya yang enggak sedikit.”“Ayah enggak salah ngomong gi
“Ya, kenapa angkot? ‘Kan itu bisa jadi sumber penghasilan buat kita?”“Kita?”“Ya, ‘kan itu uangnya ditabung. Sama aja ujungnya buat kita juga nanti.”“Emangnya Akang yakin kita bakal terus sama-sama?”“Kenapa kamu ngomong gitu?”“Enggak apa-apa.”Sejenak kami saling pandang, tetapi beberapa detik kemudian, Lara langsung mengalihkan wajahnya ke arah lain.“Aku sibuk, kasihan Musa nyuci sendirian.”“Aku enggak bisa kalau jual angkot Ra, ‘kan lumayan. Bisa buat tambahan, kalau dijual semua. Emangnya mau kalau kita enggak ada pemasukan lain.”“Ada atau enggak ada pemasukan, emang aku peduli?”“Ya, harus peduli dong Ra. Itu juga harta kita.”“Kalau harta kita, harusnya aku ikut menikmati ‘kan? Ini aku lagi hamil besar aja, masi harus nyuci pakaian tetangga. Apa untungnya buat aku punya atau enggak punya mobil angkot, buat aku sama aja. Kalau enggak kerja, ya enggak akan kenyang.”“Oke, mulai sekarang penghasilan angkot biar kamu yang pegang.”“Penghasilan apa? Bukannya selama ini penghasi
“Kamu jangan bicara sembarangan. Lagi pula mana mungkin ibu jual angkot tanpa bilang ke Ayah dulu.”“Susah, ya! Segitu enggak percayanya Ayah sama kami. Udah bener Ayah dinas di luar kota aja. Enggak usah pulang-pulang. Sekalinya pulang malah bikin suasana di rumah jadi enggak enak.”Musa lantas pergi ke kamar Lara, padahal azan isya sudah berkumandang, tetapi anak-anak sepertinya tak berniat untuk segera beranjak pergi ke musala.“Kamu enggak salat?”“Kalau, aku salat. Bisa jadi Bunda malah dipukulin Ayah.”“Ya, enggaklah sejak kapan Ayah tega main fisik.”“Kamu salat aja, Ayah perlu bicara sama Bunda! Bawa adik-adikmu sekalian.”Saat itu Musa yang hendak menaiki tangga mendadak menghentikan langkahnya ia menatapku dengan pandangan menelisik. Seolah tak percaya, jika aku tidak akan berbuat kasar. Lagi pula semur berumah tangga dengan Lara, mana pernah aku memukulnya. Apa lagi sekarang Lara juga sedang hamil besar. Aku tidak sekejam itu.“Awas kalau aku lihat Bunda kenapa-kenapa?”“Ka
“Kang Firman kira-kira masih di sini enggak, ya?” tanyaku. “Enggak tahu. Mungkin masih, kata Musa, proyeknya masih lama. Mungkin masih di sekitar sini!” “Kamu udah enggak sakit kakinya?” “Kalau sakit, memangnya kenapa?” “Ya, Akang mau pijitin.” “Enggak usah! Haram!” “Kan Akang enggak ngadu. Musa yang update status di whats app.” “Begini aja, malam ini kamu mau makan apa? Akang belikan di luar, sambil cari Kang Firman.” “Enggak usah.” “Biasanya ‘kan ibu hamil ngidam, kenapa hamil sekarang kamu enggak pernah minta dibelikan apa pun.” Aku baru ingat sejak awal hingga hamil 7 bulan. Lara tak pernah meminta apa pun padaku, bahkan untuk pakaian bayi saja. Dia tidak memintanya. Padahal, kata dokter bayinya perempuan. “Oh, ya, bukannya kamu juga belum beli pakaian?” “Sudah.” “Siapa yang belikan?” “Di kasih Bu Aisyah?” “Di kasih bekasan?” “Baru, mana ada bekasan. Memangnya ibuya Akang?” Sungguh saat itu meski Lara mengatakannya dengan nada yang biasa. Entah kenapa di hatiku te
“Kamu enggak inget ya, sampai kapan pun, enggak peduli kamu mau bilang pisah berapa kali lagi, talak itu hanya jatuh saat diucapkan suami. Aku enggak suka ya Ra, kamu bicara sembarangan begini. Kamu tahu enggak istri yang gampang mengucap cerai, itu enggak akan mencium wangi surga?” Entahlah baru kali ini aku melihat Lara seberani ini. Aku tidak menyangka bisa-bisanya dia punya pikiran sejauh itu. “Lalu, bagaimana hukumnya suami yang enggak bertanggungjawab? Membiarkan anak-anaknya kelaparan, bahkan sampai malnutrisi. Akang pikir rumah tangga ini hanya tentang rumah, kendaraan dan tabungan aja? Akang itu terlalu sombong, Akang yakin banget bakal hidup sampai tua nanti, kalau enggak siapa yang kelak nikmatin kerja kerasmu? Akang terlalu memikirkan masa depan, padahal kita hidup di masa sekarang. Akang membiarkan kami sedemikian berhematnya, sampai aku muak.” “Akang minta maaf. Kemarin itu benar-benar lupa. Lagi pula kenapa kamu enggak menghubungi Akang coba?‘Kan bisa kamu telepon Ak
“Saya ke sana agak maleman ya Kang, satu jam lagi mungkin. Mau anter istri ke Bidan dulu.”“Oh, siap-siap. Teh Lara lagi ngisi lagi?”“Oh, iya Kang, alhamdulillah sudah 7 bulan.”“Ya sudah, kalau begitu.”Akhirnya telepon pun di matikan, kebetulan cucian juga sudah selesai di bilas. Hanya tinggal dijemur besok pagi jika sudah ada panas matahari. Aku berinisiatif untuk memanggil Lara ke atas.“Dek, ayo ke bidan sekarang aja!”“Besok aja, Adek capek pengen tiduran dulu.”“Jangan ditunda dulu, mumpung Akang ada di rumah?”“Sejak kapan sih Akang jadi peduli gini. Biasanya juga masa bodo ‘kan?”“Ya, karena Akang sayang sama kamu, makanya enggak mau sampai kamu kenapa-kenapa.”“Gak mau kenapa-kenapa, apa takut ditinggal pergi.”“Ya, dua-duanya. Akang mau ngapain coba kalau di rumah enggak ada kalian.”“Ya, kerjalah. Akang ‘kan selama ini juga lebih banyak kerja, ketimbang di rumahnya. Lagian ada keluarga Akang, bisa pulang ke sana kapan aja!”“Ya, bedalah Dek. Namanya orang tua sama kalian.
“Jangan pisah juga dong Ra, kamu boleh marah sama Akang. Enggak apa-apa Akang terima. Kamu mau pukul Akang pun enggak apa-apa Akang ikhlas. Sok pukul sampai kamu puas!”Saat itu aku sampai menggenggam tangan Lara, hanya demi menyalurkan emosinya. Entahlah aku hanya berpikir jika ia marah, setidaknya itu akan jauh lebih baik dari pada aku harus benar-benar kehilangannya. Namun, bukannya memukul seperti kebanyakan perempuan lainnya saat emosi. Lara malah menghempaskan lengannya dengan begitu keras.“Mukul itu enggak akan menyelesaikan masalah.”“Ya, tapi Akang enggak mau pisah sama kamu. Dari tadi loh, kamu bilang mau pisah terus. Siapa yang enggak panik. Belasan tahun kita rumah tangga, baru kali ini kamu begini, Ra! Akang ‘kan udah janji mau berubah, tolonglah beri Akang kesempatan, jangan pisah-pisah terus. Semua juga perlu waktu, Akang juga masih shock dengar mobil udah dijual 3 sama ibu. Tolonglah mengerti posisi Akang juga, Ra.”“Akang tuh dari dulu emang egosi, cuma pengen dimeng