Share

Bab 2

Sungguh aku benar-benar tak menyangka, jika Musa akan bicara selantang itu. Hanya, karena ia bisa menghasilkan uang lima ratus ribu rupiah saja, seolah-olah ia sudah mencukupi semua kehidupan hidup. Memang benar selama ini, aku yang mengatur keuangan rumah tangga. Bukan tanpa alasan aku melakukannya, aku hanya berkaca pada saudara-saudaraku di kampung yang mana keuangannya di pegang istri. Kebanyakan mereka sampai hari ini hidupnya hanya begitu-begitu saja. Tak banyak perubahan.

Bahkan, banyak teman-temanku yang belum memiliki rumah, padahal usia pernikahan mereka sudah berjalan 20 tahun. Namun, lihatlah aku sekarang, mobil angkutan umum ada 3 tanah ada rumah juga ada di kota. Bisa-bisanya Musa mengatakan usahaku ini tak jadi apa-apa.

“Kamu tahu apa hah? Kamu enggak lihat tanah kita di kampung sama mobil angkot? Itu yang kamu bilang enggak jadi apa-apa?”

“Ya kalau di sini kelaparan, buat apa juga punya banyak mobil sama tanah. Da enggak ngenyangin!”

“Hidup itu enggak cuma tentang makan Musa, kamu tuh harus punya masa depan! Makan mah enak enggak enak ujung-ujungnya dibuang. Mending juga mikirin investasi. Coba kamu pikir harga tanah setiap tahunnya bakal naik terus! Dibandingkan makanan, dimakan ya ujungnya jadi kotoran juga!”

Aku bisa melihat tangan Musa mengepal. Jelas ia marah, tetapi masih ditahan, apa lagi saat itu suara anak-anak melantunkan salawat di musala sudah terdengar, karena jarak musala dan rumah yang dekat. Bicara di saat seperti ini hanya sia-sia belaka. Suara kami akan kalah.

“Akang udahlah, enggak usah diterusin! Mau maghrib, malah ribut,” ucap Lara yang mencoba menengahi.

“Ada Arfan juga loh, enggak enak dia jadi takut dengar aa sama ayahnya berantem,” tambahnya.

“Ajarin anak kamu, Lara! Udah pinter melawan sekarang, ya! Makanya jangan kamu ajarin masak terus biar dia enggak lupa kalau dia laki-laki.”

“Kalau bukan aku yang bantuin emang siapa lagi? Orang Bunda juga enggak punya anak perempuan.”

Entah kenapa aku kesal sekali dengan anak ini, kalau saja tidak ada Arfan yang saat itu tengah mengintip di balik minibar dapur kami. Aku sudah ingin sekali menamparnya. Suatu hari kamu juga akan merasakan kok, saat berumah tangga. Masa ia, kita yang bekerja keras, harus memberikan semua hasilnya pada pasangan. Sungguh tidak adil.

Seakan tak mendengar perintahku. Musa malah melanjutkan memasak di dapur tepat saat Lara pergi ke kamar, karena Sean anak ketiga kami menangis. Umurnya 4 tahun. Saat itu ia memang sedang tertidur.

Aku hanya teringat akan Rubi temanku di kampung yang berakhir menjadi pria jadi-jadian, karena ibunya sering kali memperlakukannya selayaknya anak perempuan. Aku memang sedikit tegas, tentang hal ini. Semua karena aku menyayanginya dan tak ingin anak-anakku terjerumus pada hal-hal yang negative.

Akhirnya azan maghrib berkumandang. Walaupun makanan yang tersaji di hadapanku cukup lezat, rasanya aku mendadak kehilangan selera karena kesombongan Musa.

“Ayah enggak makan?” tanya Arfan.

“Enggak lapar!”

“Oh.”

“Gengsi ya Yah, makan dari uang Musa.”

“KAMU YA! BERANI KAMU SAMA ORANG TUA!”

“Pukul aja Yah, Musa terima kok.”

Entah kenapa anak ini jadi sangat berani padaku.

“Musa, bisa ‘kan dilanjut lain kali. Kasihan adik-adik kamu mau makan.”

“Enggak bisa Bun, Ayah itu harus disadarin. Kita mau sampai begini terus Bun, masa ia selama sebulan ini Ayah cuma biarin kami makan sama tahu tempe terus. Arfan juga lagi masa pertumbuhan, kasihan dia mana udah mau belajar puasa. Masa ia dia makan enggak ada gizinya.”

“Kamu tuh tahu apa tentang gizi? Ayah juga makan tahu tempe dari kecil enggak ada riwayat kurang gizi.”

“Ya, karena enggak bisa periksa.”

“KAMU YA!”

“Ayah lihat aja Sean di antara teman-temannya dia yang paling kecil sendiri. Aku kemarin sampai periksa ke puskesmas buat mastiin dia kurang gizi enggak dan ternyata emang bener!”

“Lara! Benar begitu?”

“Iya.”

Saat itu ketika kami sedang serius membahas topik ini, tiba-tiba saja pintu rumah kami diketuk. Lara lantas membukakan pintunya. Teryata yang datang adalah Mbak Yuni tetangga kami.

“Ini Bu, ada susu buat dede Sean. Ada ini juga camilan.”

Suara Mbak Yuni bahkan terdengar jelas sampai ke ruang makan. Aku yang penasaran lantas mendekat untuk tahu apa yang terjadi, kenapa juga dia memberikan makanan pada Lara. Sayangnya, saat aku menghampirinya wanita itu malah buru-buru pergi. Sepertinya sengaja menghindar dariku.

“Maksudnya apa? kok kamu dikasih susu sama biscuit gini? Tadi kata apanya buat Sean?”

“Iya. Mbak Yuni ‘kan kerja di puskesmas. Jadi, dia tahu.”

“Terus kamu mau-maunya terima?”

“Ya terus? Aku harus buang? Enggaklah. Orang anakku butuh kok.”

“Ya kenapa kamu enggak minta sama aku. ‘Kan kamu juga masih punya suami, ngapain juga minta belas kasihan sama tetangga.”

“Aku enggak minta belas kasihan ya Kang. Aku dikasih. Aku juga enggak tahu kalau Mbak Yuni bakal seperhatian ini.”

“Perhatian kamu bilang?”

“Iyalah, dia baru tahu anakku kurang gizi. Langsung gerak cepat, enggak pakai tanya kenapa alasannya dia kasih-kasih aja makanan sehat.”

“Kamu nyindir Akang?”

“Enggak, aku hanya menjelaskan apa yang terjadi.”

“Kembalikan makanan itu! Akang juga sanggup buat beli begituan!”

“Akang beli begini sekarang, besok Akang enggak kasih kami jatah belanja. Yang ada kami sekeluarga kelaparan. Sudahlah aku capek enggak pengen debat. Gengsi kamu enggak akan bikin kami kenyang.”

Sungguh ini benar-benar tamparan keras bagiku, bagaimana bisa Sean kami kurang gizi.

“Semua orang tahu kalau Sean kurang gizi?”

“Kenapa Akang malu? Akang lebih peduli penilaian orang-orang ya, dari pada kondisi Sean?”

“Ya, Akang peduli, ‘kan cuma nanya.”

“Satu RT juga tahu.”

“Loh, kok bisa? Emang kamu ngomongin ke mana-mana masalah begini.”

“Ya, ‘kan tiap bulan Sean ikut posyandu.”

Di tengah perdebatan kami tiba-tiba saja seseorang malah datang lagi.

“Mamah Musa! Assalamualaikum!”

“Ya Bu, waalaikumsalam. Masuk aja! gerbangnya gak dikunci!” sahut Lara.

“Siapa lagi itu? Kenapa jadi banyak tamu sekarang?” tanyaku.

Biasanya aku memang tak pernah pulang sore. Lebih sering pulang malam, karena mengambil lembur. Namun, sekalinya pulang di jam normal kenapa malah banyak sekali hal yang baru aku ketahui. Seperti kali ini Lara malah membawa sekeranjang pakaian kotor, belum lagi aroma pesing yang menyengat. Hampir muntah aku dibuatnya.

“Kamu kenapa lagi, pakaian orang dibawa-bawa?”

“Mau dicuci?”

“Kenapa kamu yang nyuci, emangnya kamu tukang cuci?”

“Iya.”

“Ya Tuhan, Lara!”

Saat itu tiba-tiba saja Musa menarik keranjang dari tangan Lara.

“Aku yang cuci aja, Bunda makan aja! Dari tadi aku perhatiin kayaknya Bunda belum makan sama sekali.”

Musa dengan tanpa beban sedikit pun berjalan dengan membawa setumpuk cucian kotor beraroma busuk itu.

“Kenapa sih? Bisa-bisanya kamu nerima cucian orang enggak izin dulu? Harga diriku mau ditaruh di mana?”

“Harga diri laki-laki itu menafkahi perempuan! Andai aja Akang bisa menuhin itu aku enggak akan melakukan pekerjaan yang Akang anggap hina ini.”

“Ya kamu mau-maunya bersihin kotoran orang.”

“Aku lebih baik bersihin kotoran apa dari pada harus meminta uang sama Akang. Bukannya dapat malah dikatain boros. Jadi tukang cuci juga halal kok, setidaknya anakku enggak akan kekurangan gizi lagi.”

“Sean anak Akang juga!”

“Kalau aja Akang adil, aku juga enggak mau Kang. Capek, ngurus anak 3 aja udah kewalahan. Belum lagi bayi diperut aku! Aku harus bagaimana sih jadi istri, kalau aku enggak kayak gini! Emangnya Akang mau lihat anak-anak kita mati kelaparan?”

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Dasar suami zolim
goodnovel comment avatar
Isabella
ceritanya benar" berfaedah dan mengandung kehidupan rumah tangga. bukan cerita selingkuh aja .
goodnovel comment avatar
Martha Tampubolon
enak ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status